Asra Wijaya

[MEDIA] MENGALAMI “BUNGA RAMPAI FILM DOKUMENTER TENTANG PEREMPUAN PEJUANG TANAH AIR”


Oleh : Asra Wijaya

Film berada di antara seni dan kehidupan (Jean Luc Godard)
Sineas Perancis, Godard melihat fenomena teknologi film kini hadir dalam keseharian dalam genggaman di layar ponsel dan tidak lagi sekedar hiburan semata. Film kini digunakan sebagai komunikasi sosial, iklan, kampanye, ritual keagamaan, kuliah atau seminar akademis, hingga lain-lainnya. Kemungkinan inilah yang kemudian menciptakan ilusi yang semakin tipis selaput pembedanya antara fiksi dan kenyataan. Godard pun menelurkan pernyataan yang dikutip oleh penulis di awal tulisan ini.
Dalam Sejarah Sinema Dunia, dikenal beberapa mazhab atau style film. Misalnya Avant garde, cinema verite, neo-realisme italia, cinema novo, nouvelle vague, german expressionism, sampai soviet sinema. Dua hal yang terkait dengan tema tulisan ini adalah neo-realisme italia dan cinema novo brazil. 
Neo-realisme Italia

Neo-realisme Italia ialah mazhab film di Italia yang berkembang pasca keruntuhan diktator Mussolini. Kedok munafik dari pemerintahan yang fasis penting untuk dibuka. Seniman film kala itu ingin membuka kenyataan sosial Italia yang riil yaitu kondisi melarat dan getir kaum urban, terutama kaum buruhnya. Beberapa prinsip kerja neo-realisme italia:

1. Film harus menampilkan sepotong kehidupan nyata
2. Ia harus memotret kenyataan yang sebenarnya, terutama kenyataan sosial yang buruk dan pahit
3. Dialog dan bahasa senatural mungkin, kalau perlu gunakan pemain non-aktor
4. Gaya syuting sebaiknya ala dokumenter.
Beberapa tokoh dalam neo-realisme Italia : Luchino Visconti, Roberto Rosselini, Vittorio de Sica.
Cinema novo
Cinema novo berkembang di Brazil tahun 1950-an dan kelak menjadi gelombang baru di Eropa kemudian. Situasi Brazil tahun 60-an diwarnai kemiskinan, kelaparan, dan kekerasan. Sineas Brazil kemudian menyadarkan masyarakat dengan cara lantang menyerukan slogan macam estetika kelaparan, atau estetika kekerasan. Film Terra em Trase (tanah derita) karya Rocha (1967) menunjukkan keterbelakangan dan ketidakberdayaan di bawah rezim militer 1964. Film ini juga disebut Tropikalis, hendak menampilkan bagaimana Dunia Ketiga sesungguhnya makan dan hidup dari remah-remah atau sampah kapitalisme dunia pertama.
Waktu sekolah dasar, penulis pernah mendapat cerita dari ibunya. Di desa sebelah, para ibu-ibu berada di garis depan ketika demo berhadapan dengan tentara. Konflik tanah antara warga dengan pemilik perkebunan di pedalaman Sumatera Barat. Waktu itu Ibu menambahkan: Mereka pikir, para warga itu, dengan memasang badan ibu-ibu para tentara itu tidak berani  apa, jelas saja, mereka jadi bulan-bulanan. Penulis yang kala itu belum punya nalar tidak bisa berargumen. Anggap saja tulisan ini adalah argumen yang tertunda untuk peristiwa masa silam itu.
Ternyata peristiwa macam demikian terulang lagi. Sejarah mengulang-ulang kemalangan. Menciptakan cerita perjuangan dan melahirkan pejuang serta pahlawan. Lewat film bunga rampai ini penulis menyaksikan ibu-ibu memperjuangkan haknya, hak atas tanah airnya.
Mama Aleta dari Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, memimpin perlawanan  terhadap 4 tambang marmer.
Screenshot “Bunga Rampai Film Dokumenter Tentang Perempuan Pejuang Tanah Air” – Mama Aleta berbagi pengalaman pengorganisasian masyarakat di Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.
Mama Aleta mengungkapkan filosofi warga Mollo dalam berkehidupan. Konsep filosofis itu menganalogikan alam dengan manusia. Hutan adalah rambut dan pori-pori. Tanah adalah daging. Batu adalah tulang sementara Air adalah darah. Jika salah satu tidak dipunyai maka manusia bukan manusia lagi namanya. Itulah awal cerita perlawanannya dengan tambang marmer. Batu yang mulanya dianggap kosong dan bebas ditambang kemudian oleh Mama Aleta dikembalikan ke filosofi alam. Sederhana memang kedengarannya, akan tetapi konsep keseimbangan ekologis yang menganggap alam sebagai subjek yang berkesadaran layaknya manusia ini lantas diperjuangkan oleh Mama Aleta. Agar alam tetap lestari.
Bukan tanpa halangan dan rintangan Mama Aleta menjalani perjuangannya. Sudah melawan tambang, perempuan pula. Sebuah kenyataan ironi dalam melawan pola pikir patriarkis yang demikian mengakar dalam kehidupan kini. Tambang marmer yang beroperasi demi kemajuan, demi pembangunan dilawan keberadaannya oleh perempuan. Perempuan yang menjadi lembah berkumpulnya penindasan dalam budaya patriarkis. Perempuan di Mollo tidak punya suara untuk mengambil keputusan. Namun segala perbuatan dengan niatan Tulus ternyata didukung oleh alam, diuji juga oleh alam.

Eva Bande di Banggai, Sulawesi Tengah memimpin perjuangan petani merebut kembali lahan pertanian yang dirampas perusahaan sawit. Beliau dipenjara karena dituduh memprovokasi petani.
Nissa Wargadipura, Deklarator Serikat Petani Pasundan, Pemimpin Pesantren Agroekologis Ath-Thariq Garut-Jawa Barat memperjuangkan pertanian yang diklaim oleh PTPN.
Opung Putra, pemimpin perempuan yang berjuang menyelamatkan hutan kemenyan yang dirampas perusahaan PT Toba Pulp Lestari di Padumaan Sipituhuta, Sumatera Utara.
Panggilan Tanah Air
Noer Fauzi Rachman, Ph.D.-Sajogyo Institute Bogor mengawali film ini dengan diskusi buku yang baru beliau rilis. Lewat diskusi Noer membeberkan fakta-fakta tentang konflik agraria. Mulai dari pasar yang bergeser menjadi pemaksa kebutuhan yang memproduksi terus menerus kebutuhan semu demi kemajuan. Sampai pengurangan jumlah rumah tangga tani dan pengurangan lahan. Fakta tentang rumah tangga tani yang berkurang sebanyak 5 juta dalam kurun waktu 10 tahun, atau 1 rumah tangga tani per menit beralih profesi. Bukan karena apa melainkan karena  lahan pertanian yang beralih 1/4 hektar per menit dll. Beralih menjadi perumahan, perkebunan PT, pabrik dan tambang.

Screenshot video “Bunga Rampai Film Dokumenter tentang Perempuan Pejuang Tanah Air – Noer Fauzi Rahman membahas “Panggilan Tanah Air”
Istilah tanah air yang dulu diciptakan oleh para pejuang kemerdekaan demi mempersatukan rasa cinta kepada Indonesia kini sudah usang. Oleh karena itu, Noer lewat “Panggilan Tanah Air”-nya ingin mengembalikan rasa cinta terhadap ibu pertiwi. Lewat perjuangan melalui jalur agraria.
Hal menarik lainnya untuk disoroti adalah peran wanita dalam konflik agraria. Tubuh wanita yang dianggap sebagai tempat segala ketidakadilan bersarang. Mulai dari ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan seksual, serta ketidakadilan lainnya yang berasal dari pola pikir patriarkis.
Kapitalisme lanjut yang berakibat kepada rusaknya alam, terbunuhnya manusia-manusia petani demi mempertahankan tanahnya dirasa oleh sang moderator kurang radikal dan mendalam. Pola pikir patriarkis-lah yang mengakibatkan semua itu. Maka dari itu perlawanan perempuan pejuang ini adalah perjuangan yang menyasar akar patriarkis itu sendiri.
Di dalam Panggilan Tanah Air, sang penulis memiliki tujuan agar masalah agraria lebih mudah untuk dilihat. Lantas memulihkan kondisi tanah air yang tengah porak poranda. Sebab hidup di zaman semua serba dipandang sebagai komoditas yang mesti diperdagangkan. Terjadi reorganisasi ruang oleh pasar yang sedemikian rupa besarnya bahkan didukung oleh negara.
Gerakan Sosial Baru
Gerakan Sosial Baru atau disingkat GSB (New Social Movement) terbentuk lewat aksi kolektif yang berdasarkan pengalaman individual. Seorang petani yang kemudian mengalami pendefinisian ulang identitasnya di tengah konflik agraria. Lantas muncullah aspek solidaritas bersama para petani pada keterlibatan dalam konflik dan menjadi aksi kolektif demi menembus batas dengan kesesuaian sistem. Demikianlah kerangka konseptual Gerakan Sosial Baru ala Melucci.
Gerakan ini bisa terangkat menjadi objek tunggal yang memiliki ruangnya sendiri sebagai aksi kolektif di era masyarakat kontemporer karena tidak lagi dipandang sebagai hasil dari pertentangan basis produksi, tetapi sebuah hasil dari produksi sosial dan kultural. (Okie:2017)
Dalam Bunga Rampai Film Dokumenter ini, potret GSB nyata terlihat lewat penuturan pengalaman Mama Aleta dkk. dalam bergerak bersama mempertahankan nilai-nilai sosial yang mereka miliki. Nilai-nilai yang berujung demi membela tanah air tempat mereka hidup dan melestarikan kehidupan itu sendiri.
Ekofeminisme dan Perlawanan Simbolik
Penggunaan beberapa simbol yang berusaha merepresentasikan oposisi biner dari apa yang mereka perjuangkan merupakan bentuk perlawanan simbolik. Nilai-nilai tersebut misalnya penolakan terhadap pabrik atau tambang yang dikontruksi sehingga menjadi tindakan moral atau pihak politik yang baik. Tentu saja dengan melakukan upaya serupa terhadap tindakan pembangunan pabrik atau tambang dikontruksi sebagai tindakan yang tidak adil.
Nah, hal menarik dari aksi simbolik untuk mempertahankan tanah air tidak hanya pada simbol atau konstruksi yang dilakukan, akan tetapi penggunaan simbol perempuan dalam aksinya. Lima perempuan perkasa ini : Eva, Nissa, Opung, Mama Aleta, Gunarti.

Screenshot video “Bunga Rampai Film Dokumenter tentang Perempuan Pejuang Tanah Air” – Barikade Perempuan menolak PT.TPL di Pandumaan Sumut
 Konflik ini kemudian diangkat bukan hanya sebagai penjaga alam (petani) versus perusak alam (tambang dan pabrik), namun juga penindasan oleh nilai maskulin terhadap nilai feminin.
Adalah Vandana Shiva seorang ahli ekofeminisme yang berpendapat bahwa eksploitasi terhadap alam yang seringkali menghasilkan penindasan terhadap manusia lain dan alam berakar pada pertentangan antara dua ideologi, yaitu ideologi maskulin dan ideologi feminin. (Shiva:1993)
Ideologi maskulin berakar dari zaman pencerahan dan teori kemajuan yang direpresentasikan melalui dua konsep yang diperkenalkan di seluruh dunia : Ilmu pengetahuan modern dan pembangunan ekonomi. Kedua konsep ini diperkenalkan di dunia melalui proses penjajahan oleh Barat dan diklaim sebagai kunci kesejahteraan bagi semua negara di bumi.
Bagi Shiva (1997), klaim bahwa proyek pembangunan model Barat yang diilhami oleh proyek ilmu pengetahuan modern akan membawa kesejahteraan bagi semua negara dan dengan demikian bersifat universal tidak lebih merupakan sebuah mitos belaka. Baginya, proyek-proyek pembangunan tersebut pada hakikatnya tidak lebih dari proyek-proyek khusus yang bersumber dari model patriarki Barat modern.
Pada kenyataannya, pembangunan model Barat tersebut malah menimbulkan kerusakan yang parah pada alam-alam di negara-negara bekas jajahan perang (khususnya yang memilki sumber daya alam) menyingkirkan konsep kesejahteraan yang selama ini dipegang oleh masyarakat di pedalaman bumi selatan.
Kenyataannya, pembangunan model itu malah menimbulkan kerusakan parah pada alam di negara-negara bekas jajahan Barat. Pembangunan tersebut juga menyingkirkan konsep kesejahateraan a la negara-negara  poskolonial ini.
Sedangkan Ilmu pengetahuan modern yang dikalim bersifat universal ternyata bersifat reduksionis dan menyingkirkan berbagai pengetahuan lokal masyarakat selatan yang memiliki konsep bahwa semua hal di dunia ini, termasuk manusia dan alam adalah terkoneksi.
Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh perempuan-perempuan ini sudah bisa dilihat hasil positifnya. Upaya untuk bebas dari cengkeraman pabrik dan tambang yang amat patriarkis berhasil menegaskan posisi perempuan itu sendiri.
Representasi nilai ibu-ibu yang polos dan memiliki niatan baik menjaga alam dihadapkan dengan aparat dan tentara yang dominan dengan segala maskulinitasnya. Simbol afeksi dan non-kekerasan yang dimunculkan oleh perempuan-perempuan ini juga menegaskan siapa sebenarnya yang menggunakan kekerasan dan memelihara ketidakadilan.

Screenshot video “Bunga Rampai Film Dokumenter tentang Perempuan Pejuang Tanah Air” – Aksi Semen Kaki Ibu-ibu dari Gerakan Kendeng Lestari Menolak PT Semen
Simbol pengetahuan yang feminin bernapaskan spirit ekofeminisme sudah tercetak jelas dalam masyarakat mereka masing-masing. Nilai kultural yang berupa aksi perlawanan simbolik kemudian bermunculan di daerah-daerah yang mengalami konflik agraria. Terakhir, penyampaian segala investigasi, aksi dalam film Bunga Rampai Film Dokumenter ini tentu akan menjadi realitas yang hadir ke hadapan masyarakat dengan lebih cepat dan lebih luas.
Referensi:
Fauzi R, Okie. (2016). Perempuan dan Pegunungan Kendeng: Ekofeminisme dalam Gerakan Sosial Baru di Indonesia. Jakarta: Konferensi internasional feminisme: Persilangan identitas, agensi dan Politik (20 tahun Jurnal PeremPuan)
Melucci, A (1996). Challenging codes: Collective Action in the Information Age. Cambridge: Cambridge University Press.
Shiva V, Mies M. (1993). Ecofeminism. New York: Zed Books.
Shiva, V. (1997) Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India; Penerjemah: Hira Jhamtani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top