Mabadi Asyroh : Awal
Kerangka Berfikir dalam Mempelajari Ilmu
Kerangka Berfikir dalam Mempelajari Ilmu
Oleh : Bana Fatahillah
’Mukaddimah
Ketika ilmu diibaratkan sebagai sebuah alat atau perantara (wasiilah)
kepada tujuannya yaitu Ma’rifatullah,
maka memahaminya secara komprehensif adalah cara terkuat untuk sampai kepada
tujuan tersebut. Dan semua jalan menuju pemahaman tersebut haruslah pas dan
tepat agar tidak terjadi pemetaan yang salah dalam mempelajari sebuah ilmu,
khususnya diawal memasukinya.
Ketika ilmu diibaratkan sebagai sebuah alat atau perantara (wasiilah)
kepada tujuannya yaitu Ma’rifatullah,
maka memahaminya secara komprehensif adalah cara terkuat untuk sampai kepada
tujuan tersebut. Dan semua jalan menuju pemahaman tersebut haruslah pas dan
tepat agar tidak terjadi pemetaan yang salah dalam mempelajari sebuah ilmu,
khususnya diawal memasukinya.
Kata “ilmu” dalam setiap pengertian disiplin ilmu apapun mempunyai
tiga makna; (i) baik itu menjadi sebuah kepemilikan
(malakah), (ii) pengetahuan (idrok), dan (iii) pembahasan atau permasalahan
(masaail). Setiap pemaknaan tersebut akan relevan sesuai siapa yang mendefinisikannya
disetiap zaman yang berbeda. Ilmu para sahabat terdahulu, misalnya, karena
hidup bersama Rasulullah, maka itu semua sudah menjadi kepemilikan dalam diri
mereka. Itulah mengapa pada zaman tersebut tidak ada berbagai disiplin ilmu,
seperti ilmu tafsir, ushul fiqih, hadist, nahwu dan lainnya, karena “ilmu” bagi
mereka adalah sebuah kepemilikian yang nyata.
tiga makna; (i) baik itu menjadi sebuah kepemilikan
(malakah), (ii) pengetahuan (idrok), dan (iii) pembahasan atau permasalahan
(masaail). Setiap pemaknaan tersebut akan relevan sesuai siapa yang mendefinisikannya
disetiap zaman yang berbeda. Ilmu para sahabat terdahulu, misalnya, karena
hidup bersama Rasulullah, maka itu semua sudah menjadi kepemilikan dalam diri
mereka. Itulah mengapa pada zaman tersebut tidak ada berbagai disiplin ilmu,
seperti ilmu tafsir, ushul fiqih, hadist, nahwu dan lainnya, karena “ilmu” bagi
mereka adalah sebuah kepemilikian yang nyata.
Pada masa setelah para sahabat hadirlah generasi selanjutnya yaitu
para tabi’in. Imam Sibaweih misalnya,
sebagai Imam al-Nuhaat dengan al-Kitabnya, ilmu nahwu bukanlah sebuah pembahasan
baginya, melainkan pengetahuan
tersendiri dari pemikirannya, yang lalu di bentuk (tadwin) menjadi permasalahan-permasalahan bagi
kita semua. Maka muncullah bab i’rob, bab rofa’, nashab, jar, dan lainnya yang
membentuk ilmu nahwu.
Gambaran kecilnya adalah: ia sudah menyimpan
itu semua di kepala, yang lalu diaplikasikan melalui tulisan dan menjadi sebuah
disiplin ilmu. Dan menginjak zaman ini,
ilmu mejadi sebuah permasalahan dan pembahasan (masaail) bagi para
penuntut ilmu pada saat ini.
para tabi’in. Imam Sibaweih misalnya,
sebagai Imam al-Nuhaat dengan al-Kitabnya, ilmu nahwu bukanlah sebuah pembahasan
baginya, melainkan pengetahuan
tersendiri dari pemikirannya, yang lalu di bentuk (tadwin) menjadi permasalahan-permasalahan bagi
kita semua. Maka muncullah bab i’rob, bab rofa’, nashab, jar, dan lainnya yang
membentuk ilmu nahwu.
Gambaran kecilnya adalah: ia sudah menyimpan
itu semua di kepala, yang lalu diaplikasikan melalui tulisan dan menjadi sebuah
disiplin ilmu. Dan menginjak zaman ini,
ilmu mejadi sebuah permasalahan dan pembahasan (masaail) bagi para
penuntut ilmu pada saat ini.
Sebagai generasi yang menjadikan ilmu sebagai pembahasan, maka sebelum
memasuki disiplin dalam setiap ilmu, ada yang harus diketahui para penuntut
ilmu terkait ilmu tersebut dan tujuan
dari mempelajarinya. Pengetahuan ini bertujuan untuk menghindari ketidaktahuan (jahalah) dan kesia-siaan
(‘Abas) dalam menuntut ilmu. Ketidaktahuan
dan kesia-siaan tersebut tebagi dalam
dua bagian , yaitu mahdoh dan ‘urfiyyah. Dan Ini semua akan bermanfaat
bukan hanya pada ilmu syar’i, namun pada seluruh ilmu, seperti matematika,
fisika, geografi, dan lainnya yang termasuk ilmu pengetahuan.
memasuki disiplin dalam setiap ilmu, ada yang harus diketahui para penuntut
ilmu terkait ilmu tersebut dan tujuan
dari mempelajarinya. Pengetahuan ini bertujuan untuk menghindari ketidaktahuan (jahalah) dan kesia-siaan
(‘Abas) dalam menuntut ilmu. Ketidaktahuan
dan kesia-siaan tersebut tebagi dalam
dua bagian , yaitu mahdoh dan ‘urfiyyah. Dan Ini semua akan bermanfaat
bukan hanya pada ilmu syar’i, namun pada seluruh ilmu, seperti matematika,
fisika, geografi, dan lainnya yang termasuk ilmu pengetahuan.
Jahalah
mahdoh adalah suatu ketidaktahuan seseorang akan ilmu yang akan
dipelajarinya, yang mana ketidaktahuan ini benar benar kholis atau
benar-benar tidak tau. Orang yang belum pernah mendegar ilmu nahwu dan tidak
tau apa itu ilmu nahwu mislanya, ia berarti
telah masuk dalam kategori jahalah
mahdoh.
mahdoh adalah suatu ketidaktahuan seseorang akan ilmu yang akan
dipelajarinya, yang mana ketidaktahuan ini benar benar kholis atau
benar-benar tidak tau. Orang yang belum pernah mendegar ilmu nahwu dan tidak
tau apa itu ilmu nahwu mislanya, ia berarti
telah masuk dalam kategori jahalah
mahdoh.
Berbeda dengan Jahalah
urfiyyah, yaitu ketidaktauan seseorang akan pembahasan-pembahasan yang
akan dipelajarinya, disamping ia sudah mengetahui adanya ilmu tersebut. Seseorang
yang sudah mengetahui ilmu nahwu
misalnya, ia hanya sekedar tau dengan adanya ilmu nahwu, namun tidak tau
apa-apa saja pembahasan yang membentuk ilmu nahwu tersebut. Contoh kecilnya mereka yang termasuk dalam
kategori ini adalah ketika ditanya, “tau ilmu nahwu?”, “ya saya pernah dengar”,
“apa saja hal-hal yang terkait ilmu nahwu?”, “kalau itu, saya belum tau”.
urfiyyah, yaitu ketidaktauan seseorang akan pembahasan-pembahasan yang
akan dipelajarinya, disamping ia sudah mengetahui adanya ilmu tersebut. Seseorang
yang sudah mengetahui ilmu nahwu
misalnya, ia hanya sekedar tau dengan adanya ilmu nahwu, namun tidak tau
apa-apa saja pembahasan yang membentuk ilmu nahwu tersebut. Contoh kecilnya mereka yang termasuk dalam
kategori ini adalah ketika ditanya, “tau ilmu nahwu?”, “ya saya pernah dengar”,
“apa saja hal-hal yang terkait ilmu nahwu?”, “kalau itu, saya belum tau”.
Adapun ‘abas mahdoh adalah adanya sifat kesia-siaan
seseorang karena tidak tau akan adanya tujuan mempelajari suatu ilmu. seorang
pelajar ilmu mustolah hadis misalnya, ketika ia hanya tau apa itu ilmu mustolah hadist serta apa saja yang
menjadi pembahasannya dalam ilmu tersebut, tanpa mengetahui adanya faidah atau
tujuan darinya, maka orang itu disifati dalam kategori abas mahdoh.
seseorang karena tidak tau akan adanya tujuan mempelajari suatu ilmu. seorang
pelajar ilmu mustolah hadis misalnya, ketika ia hanya tau apa itu ilmu mustolah hadist serta apa saja yang
menjadi pembahasannya dalam ilmu tersebut, tanpa mengetahui adanya faidah atau
tujuan darinya, maka orang itu disifati dalam kategori abas mahdoh.
Berbeda dengan lawannya ,‘abas
‘urfiyyah yaitu kesia-siaan seseorang dalam mempelajari suatu
disiplin ilmu karena tidak bisa mengambil faidah dari ilmu yang sedang
dipelajarinya. Seorang pelajar yang sudah tau dari segi bentuk ilmu,
pembahasannya, dan adanya faidah darinya, namun tidak bisa mengambil apa yang
harus diambil dari ilmu tersebut, maka ia disifati dalam kategori abas ‘urfiyyah.
‘urfiyyah yaitu kesia-siaan seseorang dalam mempelajari suatu
disiplin ilmu karena tidak bisa mengambil faidah dari ilmu yang sedang
dipelajarinya. Seorang pelajar yang sudah tau dari segi bentuk ilmu,
pembahasannya, dan adanya faidah darinya, namun tidak bisa mengambil apa yang
harus diambil dari ilmu tersebut, maka ia disifati dalam kategori abas ‘urfiyyah.
Awal Pencetusan Mabadi Asyroh
Melihat dua permasalahan ini, dari ketidaktahuan (jahalah)
dan kesia-siaan (‘abas) maka para ulama berfikir dan mencari “solusi”
yang tepat agar tidak terjebak pada itu semua. Dan pada akhirnya mereka
berhenti pada solusi permasalahan pertama, yaitu pada ketidaktahuan ( jahalah), baik itu mahdoh ataupun
urfiyyah,adalah kita harus mengetahui akan
adanya sebuah ilmu, lalu mencari tau apa saja pembahasan-pembahasan yang membentuk
dalam ilmu tersebut. Selanjutnya solusi agar tidak terjerumus pada kesia-siaan
atau abas, baik mahdoh ataupun urfiyyah, kita haruslah
mengetahui tujuan serta faidah yang akan diambil ketika mempelajari suatu
disiplin ilmu. Penjelasan singkat ini termaktub dalam sebuah kalimat bahasa
arab yang berbunyi :
dan kesia-siaan (‘abas) maka para ulama berfikir dan mencari “solusi”
yang tepat agar tidak terjebak pada itu semua. Dan pada akhirnya mereka
berhenti pada solusi permasalahan pertama, yaitu pada ketidaktahuan ( jahalah), baik itu mahdoh ataupun
urfiyyah,adalah kita harus mengetahui akan
adanya sebuah ilmu, lalu mencari tau apa saja pembahasan-pembahasan yang membentuk
dalam ilmu tersebut. Selanjutnya solusi agar tidak terjerumus pada kesia-siaan
atau abas, baik mahdoh ataupun urfiyyah, kita haruslah
mengetahui tujuan serta faidah yang akan diambil ketika mempelajari suatu
disiplin ilmu. Penjelasan singkat ini termaktub dalam sebuah kalimat bahasa
arab yang berbunyi :
معرفة العلم بحده ترفع الجهالتين و معرفته بفائدته المواجية لعناته ومشقته
ترفع العبثين
ترفع العبثين
“Mengetahui ilmu beserta definisinya mengangkat dua
ketidaktahuan. Dan mengetahui ilmu tersebut beserta faidah-faidahnya dan segala
permasalahan yang bisa membantunya dalam pemahamannya mengangkat dua kesia-siaan”.
ketidaktahuan. Dan mengetahui ilmu tersebut beserta faidah-faidahnya dan segala
permasalahan yang bisa membantunya dalam pemahamannya mengangkat dua kesia-siaan”.
Tidak berhenti
sampai sini, menindaklanjuti permasalahan tersebut, maka para ulama pun kerap memikirkan
tindak lanjut solusi yang harus diberikan terhadap para penuntut ilmu agar bisa
memudahkannya dalam tahap awal memasuki pelajaran. Berarti harus ada sesuatu
yang mengikat itu semua layaknya pintu pertama menuju sebuah ilmu. Kemudian
munculah sebuah kaidah yang mana menyimpulkan itu semua, yang berbunyi, “Labudda
likullu syaari’in an yatashowwarohaa bi wahdatin ma”. Maka hendaknya
seorang penuntut ilmu untuk memikirkan (akan ilmu-ilmu tersebut) dengan suatu
yang mengikatnya.
sampai sini, menindaklanjuti permasalahan tersebut, maka para ulama pun kerap memikirkan
tindak lanjut solusi yang harus diberikan terhadap para penuntut ilmu agar bisa
memudahkannya dalam tahap awal memasuki pelajaran. Berarti harus ada sesuatu
yang mengikat itu semua layaknya pintu pertama menuju sebuah ilmu. Kemudian
munculah sebuah kaidah yang mana menyimpulkan itu semua, yang berbunyi, “Labudda
likullu syaari’in an yatashowwarohaa bi wahdatin ma”. Maka hendaknya
seorang penuntut ilmu untuk memikirkan (akan ilmu-ilmu tersebut) dengan suatu
yang mengikatnya.
Dari itu semua,
terciptalah sebuah pembahasan pendahuluan sebelum memasuki ilmu tertentu.
Pembahasan itu termaktub dalam suatu bab khusus bernama muqoddimat al-Ilmi dan
muqoddimat al-Kitab. Keduanya adalah pintu-pintu yang harus dilewati oleh para
pelajar sebelum memasuki sebuah disiplin ilmu. Muqoddimatul ilmi yang
juga biasa disebut mabaadi al-Asyroh fi al-Ilm adalah sesuatu
yang harus diketahui sebelum mengetahui ilmu yang akan dipelajarinya (maa
yatawaqqofu alaihi qobla syuru’ fi al-Ilmi). Penggagas pertamanya adalah
Imam Sa’aduddin al-Taftazani dalam kitabnya al-Mutowwal.
terciptalah sebuah pembahasan pendahuluan sebelum memasuki ilmu tertentu.
Pembahasan itu termaktub dalam suatu bab khusus bernama muqoddimat al-Ilmi dan
muqoddimat al-Kitab. Keduanya adalah pintu-pintu yang harus dilewati oleh para
pelajar sebelum memasuki sebuah disiplin ilmu. Muqoddimatul ilmi yang
juga biasa disebut mabaadi al-Asyroh fi al-Ilm adalah sesuatu
yang harus diketahui sebelum mengetahui ilmu yang akan dipelajarinya (maa
yatawaqqofu alaihi qobla syuru’ fi al-Ilmi). Penggagas pertamanya adalah
Imam Sa’aduddin al-Taftazani dalam kitabnya al-Mutowwal.
Ia adalah ulama besar yang mana pada umur 16 tahun ia membuat kitab
pertamanya, yaitu syarh tashriifu al-‘Izzi lil imam al-Zanjaani. Dalam
kitabnya al-Mutowwal tersebut, Imam Sa’aduddin Al-Taftazani mencantumkan
bahwasanya Muqodiimat al-Ilmi tersebut ada tiga bagian, yaitu al-Haddu
(pengertian), al-Maudu’u (tema pembahasan), wa al-Tsamroh
(tujuan). Selain Imam Sa’aduddin, ulama ulama setelahnya banyak sudah yang
men-tashnif kitab-kitab khusus untuk muqoddimat al-Ilmi, seperti al-Risaalah
fi Mabaadi al-Ilmi, Nataij al-Fuhum fii Mabaadi al-Ilmi dan lainnya.
pertamanya, yaitu syarh tashriifu al-‘Izzi lil imam al-Zanjaani. Dalam
kitabnya al-Mutowwal tersebut, Imam Sa’aduddin Al-Taftazani mencantumkan
bahwasanya Muqodiimat al-Ilmi tersebut ada tiga bagian, yaitu al-Haddu
(pengertian), al-Maudu’u (tema pembahasan), wa al-Tsamroh
(tujuan). Selain Imam Sa’aduddin, ulama ulama setelahnya banyak sudah yang
men-tashnif kitab-kitab khusus untuk muqoddimat al-Ilmi, seperti al-Risaalah
fi Mabaadi al-Ilmi, Nataij al-Fuhum fii Mabaadi al-Ilmi dan lainnya.
Adapun muqoddimat al-Kitab, yang digagas pertamakali
oleh Imam Taqiyuddin al-Maqrizi, adalah apa-apa yang disebutkan diatara
lembaran-lembaran kitab (ma yudzkaru baina sofahai al-Kitaab), yang mana
dengannya para tolib tau apa saja yang mencangkup dari buku tersebut
dari kaidah-kaidah, permasalahan, dan manhaj yang digunakan penulis dalam
kitabnya. Imam Jurjani dalam kitabnya “al-Ta’riifat” mengatakan
bahwasanya muqoddimat al-Kitab lebih umum dari muqoddimat al-Ilm, yang
mana terdapat kaidah umum wa al-Khusus mutlaq. Didalam muqoddimat
al-Ilm pembahasan hanya tertuju pada permasalahan-permasalahan terkait ilmu
tersebut, sedangkan dalam muqoddimat al-Kitab lebih dari itu.
oleh Imam Taqiyuddin al-Maqrizi, adalah apa-apa yang disebutkan diatara
lembaran-lembaran kitab (ma yudzkaru baina sofahai al-Kitaab), yang mana
dengannya para tolib tau apa saja yang mencangkup dari buku tersebut
dari kaidah-kaidah, permasalahan, dan manhaj yang digunakan penulis dalam
kitabnya. Imam Jurjani dalam kitabnya “al-Ta’riifat” mengatakan
bahwasanya muqoddimat al-Kitab lebih umum dari muqoddimat al-Ilm, yang
mana terdapat kaidah umum wa al-Khusus mutlaq. Didalam muqoddimat
al-Ilm pembahasan hanya tertuju pada permasalahan-permasalahan terkait ilmu
tersebut, sedangkan dalam muqoddimat al-Kitab lebih dari itu.
Sebelum memasuki suatu ilmu,
setelah membahas muqoddimat al-Ilmi, sebagian ulama ada yang membahas muqoddimat
al-Kitaab secara ringkas (mujmal)
dan ada juga yang langsung meninggalkannya. Karena menurut sebagian dari mereka,
dalam pembahasan muqoddimat al-Kitab, banyak yang harus dibahas dari segi
disiplin ilmu, yang mana pembahasan itu
sangatlah meluas, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan akan banyak
masuk ke disiplin ilmu-ilmu lainnya. Lalu banyak yang meninggalkannya.
setelah membahas muqoddimat al-Ilmi, sebagian ulama ada yang membahas muqoddimat
al-Kitaab secara ringkas (mujmal)
dan ada juga yang langsung meninggalkannya. Karena menurut sebagian dari mereka,
dalam pembahasan muqoddimat al-Kitab, banyak yang harus dibahas dari segi
disiplin ilmu, yang mana pembahasan itu
sangatlah meluas, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan akan banyak
masuk ke disiplin ilmu-ilmu lainnya. Lalu banyak yang meninggalkannya.
Seiring
berjalannya zaman, para ulama berfikir bahwasanya dalam pembahasan muqoddimat
al-Ilmi, tidak cukup hanya tiga, bahkan lebih dari itu. Maka ditambahlah oleh
para ulama-ulama setelah Imam Sa’aduddin Al-Taftazaani menjadi sepuluh sampai
saat ini, terkumpul dalam syair yang disampaikan oleh Imam Abu Irfan al-Shobban dalam kitab Hasyiyah ala al-Sullam :
berjalannya zaman, para ulama berfikir bahwasanya dalam pembahasan muqoddimat
al-Ilmi, tidak cukup hanya tiga, bahkan lebih dari itu. Maka ditambahlah oleh
para ulama-ulama setelah Imam Sa’aduddin Al-Taftazaani menjadi sepuluh sampai
saat ini, terkumpul dalam syair yang disampaikan oleh Imam Abu Irfan al-Shobban dalam kitab Hasyiyah ala al-Sullam :
إِنَّ مَبَادِئَ كُلِّ فَنٍّ عَشْرَة #
الْحَدُّ وَالُمَوْضُوْعُ ثُمَّ الثَّمْرَة
الْحَدُّ وَالُمَوْضُوْعُ ثُمَّ الثَّمْرَة
وَفَضْلُهُ وَنِسْبَةُ وَالْوَاضِع #
وَالاِسْمُ الاِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَارِعِ
وَالاِسْمُ الاِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَارِعِ
مَسَائِلُ وَالْبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَى #
وَمَنْ دَرَى الْجَمِيْعَ نَالَ هَذا الشَرَفَ
وَمَنْ دَرَى الْجَمِيْعَ نَالَ هَذا الشَرَفَ
“Inna mabaadi’a kulli fannin asyroh # al-Haddu wa
al-Mauduu’u tsumma al-Tsamroh
al-Mauduu’u tsumma al-Tsamroh
Wa fadluhu wa nisbatu wa al-Waadi’u # wa al-Ismu
al-Istimdaadu hukmu al-Syaari’i
al-Istimdaadu hukmu al-Syaari’i
Masaailu wa al-Ba’dhu bi al-Ba’dhi iktafaa # wa man
dara al-Jami’a naala hadza al-Syaraafa”
dara al-Jami’a naala hadza al-Syaraafa”
Jika ingin ditafshil satu persatu, maka Mabadi Asyroh tersebut adalah :
1. Pengertian (al-Had)
2. Tema Pembahasan (al-Maudu’)
3. Tujuan (al-Tsamroh)
4. Keterkaitan (al-Nisbah)
5. Kemuliaan ilmu tersebut (al-Fadlu)
6. Penggagas (al-Waadi’)
7. Nama Ilmu tersebut (al-Ismu)
8. Sumber (al-Istimdad)
9. Hukum mempelajari (al-Hukmu)
10. Permasalahan-permasalahan (al-Masaail)
Guru
kami, al-Ustadz Miftah Rizqi, dalam majlisnya pernah mengingatkan pada kami
untuk mencontoh para ulama yang selalu mengembangkan pemikiran ulama
sebelumnya. “Lihatlah bagaimana para ulama setelah Imam Sa’aduddin, mereka
menambahkan Mabadi tersebut menjadi sepuluh dengan mencantumkan tiga hal
pertama milik Imam Sa’aduddin dan mengutamkannya. Semua yang mereka lakukan adalah fikrot al-Tawassu (pemikiran
untuk mengembangkan) bukan fikrot al-Tahaddum (pemikiran untuk
menghancurkan)”, ujar beliau. Inilah jalan-jalan para ulama tempuh untuk terus
mengembangkang ilmu pengetahuan
kami, al-Ustadz Miftah Rizqi, dalam majlisnya pernah mengingatkan pada kami
untuk mencontoh para ulama yang selalu mengembangkan pemikiran ulama
sebelumnya. “Lihatlah bagaimana para ulama setelah Imam Sa’aduddin, mereka
menambahkan Mabadi tersebut menjadi sepuluh dengan mencantumkan tiga hal
pertama milik Imam Sa’aduddin dan mengutamkannya. Semua yang mereka lakukan adalah fikrot al-Tawassu (pemikiran
untuk mengembangkan) bukan fikrot al-Tahaddum (pemikiran untuk
menghancurkan)”, ujar beliau. Inilah jalan-jalan para ulama tempuh untuk terus
mengembangkang ilmu pengetahuan
Dari
ini semua kita sudah dapat mengetahui bahwa hendaknya para penuntut ilmu
mengetahui mabadi asyroh. Ketika belajar ilmu nahwu misalnya, kita harus
mengetahui apa itu ilmu nahwu, apa faidahnya, lalu apa pembahasannya, dan
lainnya sampai sepuluh bagian itu. Ada yang mengatakan cukup dengan tiga
pertama, dan ada juga yang lengkap dengan se-sepuluhnya. Pada intinya semua
sama. Dan inipun kelak berlaku pada semua ilmu-ilmu lainnya diluar ilmu
syar’i.
ini semua kita sudah dapat mengetahui bahwa hendaknya para penuntut ilmu
mengetahui mabadi asyroh. Ketika belajar ilmu nahwu misalnya, kita harus
mengetahui apa itu ilmu nahwu, apa faidahnya, lalu apa pembahasannya, dan
lainnya sampai sepuluh bagian itu. Ada yang mengatakan cukup dengan tiga
pertama, dan ada juga yang lengkap dengan se-sepuluhnya. Pada intinya semua
sama. Dan inipun kelak berlaku pada semua ilmu-ilmu lainnya diluar ilmu
syar’i.
Diakhir, Syeikh
Mustofa Ridho al-Azhary, dalam bukunya “al-Turuq al-Manhaajiyyah fii
tahshiil al-‘Ulum al-Syar’iyyah”, mengatakan bahwasanya, “wajib bagi para
penuntut ilmu untuk mengetahui mabadi asyroh ini sebelum memasuki dan belajar
suatu disiplin ilmu. ketika ia sudah mengetahui mabadi ini, maka ia akan
merasakan ilmu tersebut sebelum mempelajarinya, dan akan membuatnya lebih paham
nantinya. Wallahu a’lam bisshowab.
Mustofa Ridho al-Azhary, dalam bukunya “al-Turuq al-Manhaajiyyah fii
tahshiil al-‘Ulum al-Syar’iyyah”, mengatakan bahwasanya, “wajib bagi para
penuntut ilmu untuk mengetahui mabadi asyroh ini sebelum memasuki dan belajar
suatu disiplin ilmu. ketika ia sudah mengetahui mabadi ini, maka ia akan
merasakan ilmu tersebut sebelum mempelajarinya, dan akan membuatnya lebih paham
nantinya. Wallahu a’lam bisshowab.
Kairo, 18 Februari 2017
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.