·
Jani begidi, ekhem, eh jadi begini, ketika cucunya lahir, (almarhum) bapak saya berpesan, nanti kalau anakmu sudah bisa bicara, jangan ajak dia ngomong bahasa Indonesia. Berkomunikasilah dengan bahasa Jawa. Lebih inti, ajak dia ngobrol bahasa Kromo Inggil. Setiap anak punya kecerdasan linguistik. Anak-anak pasti bisa bicara bahasa Indonesia dan asing, tapi seringkali nggak bisa bahasa leluhurnya. Oke, saya terapkan.
Jadi ya agak aneh kalau kemudian saya dan istri berbahasa Jawa Kromo Inggil dengan Avisa dan Ilkiya, dua buah hati kami, tapi kami sebagai suami istri malah Ngoko, bahasa Jawa Kasaran. Tak apa-apa. Demi anak.
Ada banyak alasan ortu berbahasa Indonesia dengan anak. Level dasar, demi gengsi. Biar nggaya dan “ngota”. Tahapan lain, karena ortunya punya latar belakang etnis yang berbeda. Pejabat alias Peranakan Jawa-Batak yang punya bahasa sukunya, pasti memilih bahasa Indonesia sebagai medium komunikasi keluarga.
Saya sepakat jika bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional, bahasa persatuan. Saya bilang oke oce saja kalau bahasa ini dipakai sebagai bahasa pengantar dalam ruang birokrasi, komunikasi edukasi, maupun mempererat relasi sosial/ekonomi. Termasuk dalam ruang pendidikan.
Tapi kalau membiasakan anak berbahasa Indonesia sejak dini, jangan dulu. Ini saran dari Mike Tyson, eh bukan, tapi saran saya sendiri buat keluarga. Bahasa itu keterampilan yang bisa diasah. Semakin sering menggunakannya, bakal mahir. Apalagi ditunjang lingkungan. Anak bakal menguasai Boso Endonesa dengan sendirinya lantaran dipakai di sekolah, ruang publik dan ruang digital. Nggak usah khawatir dia gagap.
Ketika buah hati sudah diajak ngobrol bahasa ibu-bapaknya, dia memiliki karakter dasar pengenalan asal usulnya. Selebihnya, bahasa lokal juga memainkan peranan pada tingkah laku, pola relasi hierarkis antar komunikator/pengguna, juga pada jatidiri si bocah.
Salah satunya adalah kisah seorang profesor Mesir, lulusan Barat dan sangat mahir bahasa Inggris. Sementara istrinya sangat mahir bahasa Perancis. Ketika punya anak mereka membuat kesepakatan untuk menjadikan putra mereka ahli 3 bahasa sekaligus. Demi mewujudkan ini mereka berbagi tugas: sang suami berbicara kepada putranya dengan bahasa Inggris, istrinya dengan bahasa Perancis dan pengasuh anaknya dengan bahasa Arab. Namun hasilnya di luar keinginan! Sang putra tumbuh menjadi seperti orang bodoh yang tidak bisa mengungkapkan dengan baik. Ia paham semua perkataan orang, namun ia tidak bisa menjawabnya.
Sang anak dibawa ke dokter, namun semua dokter di Mesir angkat tangan tidak tahu penyebab hal ini. Akhirnya ia dibawa ke dokter di Inggris. Dokter ini berkata: ceritakan seluruh kisah anak anda. Sang ayah pun dengan detail menceritakan, hingga dokter ini sadar bahwa sebab utama keadaan ini adalah karena sang anak tumbuh tanpa memiliki satu bahasa utama. Tanpa bahasa utama ia tidak akan bisa mengungkapkan atau mempelajari bahasa lainnya. Cerita ini disampaikan oleh Syekh Ali Jum’ah, Mufti Agung Mesir, dalam sebuah ceramahnya, beberapa tahun silam.
Benar, kunci mempelajari bahasa lain adalah menguasai bahasa sendiri. Dulu, lanjut Syekh Ali Jum’ah, saya melihat orang-orang yang bekerja di daerah Piramida Mesir menguasai banyak bahasa. Memahami 8 atau 9 bahasa adalah hal biasa bagi mereka. Filsuf Muslim asal Perancis, Abdul Wahid Yahya (Rene Guenon) paham 24 bahasa. Lihatlah Negara-negara seperti Jepang dan Jerman. Mereka melarang warganya mempelajari bahasa asing, kecuali setelah menguasai bahasa sendiri.
****
Mereka yang tidak menguasai bahasanya sendiri tidak akan mampu berpikir lurus dan tidak akan mampu berkreasi. Mandeg. Statis. Sebagaimana pepatah Arab:
اللغة والفِكر وجهان لعُملة واحدة
Bahasa dan pemikiran merupakan dua sisi mata uang. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Nah, betul kah. Kita cek, para tokoh berbagai bangsa mahir berbahasa lokal, nasional, serta Internasional. Kuat mengakar ke dalam, tumbuh kokoh merindang. Bertindak lokal, berpikir global tanpa harus menggadaikan identitas asalnya. Bung Karno hebat. Komunikator jempolan. Ngobrol dengan petani kecil bisa, dengan Kennedy dan Kruschev percaya diri. Di depan kepala negara lain dia berwibawa. Kusno, nama lahirnya, lalu diganti menjadi (Su)Karno, sudah menandai bahwa Putra Sang Fajar adalah Wali alias Peranakan Jawa Bali.
Gus Dur juga sama. Coba dicek. Saat Gus Dur berpidato dia bisa menyampaikan gagasannya dengan baik kepada khalayak lintas latarbelakang. Di depan Nahdliyyin, dalam pengajian lesehan, Gus Dur ceramah berbahasa Jawa, bahasa ibu bapaknya; dengan berbagai idiom masyarakat awam. Di Palestina dan pertemuan dengan negara Arab, Gus Dur berpidato dengan bahasa Arab Fushah. Di depan pemimpin negara Barat dan wartawan asing, Gus Dur menggunakan bahasa Enggres ngewes ngewes.
Pemikir dan penggerak besar tidak mungkin melupakan bahasa leluhurnya (mother tongue). Sebab, itu fondasi dasar kepercayaan dirinya. Asal-muasal dirinya.
Baiklah, dari tulisan di atas, pertanyaan pentingnya adalah: Apa fungsi lonceng kerincing di dada Doraemon?
Wallahu A’lam Bishshawab
jangan lupa kunjungi katalog buku penerbit imtiyaz http://www.penerbitimtiyaz.com/
untuk order buku silahkan ke nomor 085645311110 Rijal Mumazziq Z
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.