Oleh: Bana Fatahillah
(Pengamat Aktifis Hijrah)
Bulan Muharram adalah satu di antara bulan yang dimuliakan oleh Allah Swt. Allah menyebutnya sebagai salah satu bulan Haram (al-Asyhurul Hurum). Ia dipandang sebagai bulan yang utama setelah bulan Ramadhan. Dan di antara keutamaan bulan Muharram juga, ia dipilih oleh Allah Swt sebagai momen pengampunan Umat Islam dari dosa dan kesalahan.
Bulan Muharram ialah bulan pertama dalam kalender Islam. Karenanya kita tidak bisa melepaskan bulan ini dengan momentum yang melatarbelakangi ditetapkannya penanggalan dalam Islam, yaitu peristiwa hirah Nabi ke Madinah. Sebab sebagaimana yang termaktub dalam hadis sohih, awal mula penanggalan atau penetapan kalender dalam Islam ialah peristiwa hijrah. Dalam Sahihnya Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadis berbunyi:
“Dari Sahl bin Sa’d ia berkata: mereka (para sahabat) tidak menghitung (menjadikan penanggalan) mulai dari masa terutusnya Nabi Saw. Dan tidak pula dari waktu wafatnya beliau, melainkan mereka menghitungnya mulai dari masa sampainya Nabi di Madinah”
Terkait hijrah, dewasa ini kita diramaikan dengan istilah hijrah. Brand ini amat laku di masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah perkotaan. Saat masih berada di salah satu Kampus umum di Depok, saya pernah bertanya pada salah seorang kawan terkait definisi hijrah.
Katanya, istilah ini semacam perubahan fase seseorang dari yang dulunya kurang agamis menjadi lebih mengerti agama; dari yang dulunya gak karu-karuan menjadi lebih religius atau semacamnya. Jadi, lanjut orang itu, anak hijrah adalah mereka yang mengalami perubahan pada fase hidupnya, yakni perubahan dalam aspek “agama”
Saya tidak bisa menafikan definisi seperti ini. Sebab istilah hijrah memang umum dan luas. Bahkan Nabi berkata, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,”Orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah Swt”.
Meninggalkan tradisi kurang baik menjadi lebih baik; meninggalkan tempat yang banyak maksiatnya ke tempat yang lebih baik, ataupun yang lainnya. Intinya, hijrah itu meninggalkan dari segala yang dilarang oleh Allah atau yang membahayakan kemaslahatan manusia. Karenanya, pemaknaan kawan saya terkait hijrah tersebut tidak bisa saya tolak.
Namun aktor dalam hijrah ini tak sedikit mendapat sindiran dan kecaman. Jujur saja, sebagai orang yang pernah berinteraksi dengan anak-anak hijrah, saya pun agak sedikit “gemes”. Hijrah dipersempit pemaknaannya menjadi sebuah “tren”. Artinya, kalau lo ga hijrah berarti lo ga gaul dan gak kekinian.
Dan juga anak hijrah ini, karena baru berinteraksi dengan nuansa agama, ia terlihat “pasrah” dalam menelan sebuah pendapat. Artinya, karena belum bisa menyaring berbagai perkataan, apapun yang dikatakan oleh kakak angkatannya, ia akan lakukan. Baik sih. Tapi alangkah lebih baik lagi apabila mengkajinya secara dalam agar tidak bersifat taken for granted. Dan yang lebih penting ia harus memiliki guru yang terus membimbingnya. Guru ngaji lo ya. Bukan guru di yutub.
Itu kalau kelasnya mahasiswa. Kalau sekelas artis, cibirannya beda lagi. (tapi kalau ini bukan saya lo yang mencibir). Yang banyak digugat ialah soal pamer di media social. Dulu memang ia tidak pernah pakai kerudung. Tapi setelah pakai kerudung plus cadarnya, ia justru semakin eksis dan tenar di media. Dulu memang kerjanya gonta-ganti pacar. Tapi setelah menikah, ia justru semakin menawan dengan pasangannya di media.
Yang dibahas Nikah, nikah Dan nikah. Seakan solusi permaslahan umat adalah nikah—sebagaimana HTI yang mempunyai solusi khilafah. Padahal kajian khazanah dalam Islam itu sangatlah luas. Banyak sekal hal hal yang harus kita ketahui selain bab nikah. Memang nikah itu adalah pembahasan penting dalam Islam. Tapi Islam gak melulu soal nikah kan?
Ada satu lagi yang agak mengganggu hati saya. Anak hijrah ini, karena memang bukan orang yang intens dalam pelajaran agama (dirasah Islamiyyah), mereka cenderung suka yang praktis dan cepat. Sebab menurut saya, mereka tidak bisa fokus di kajian agama secara mendalam ditengah kesibukan yang melandanya. Maka diikutilah kajian praktis dan tematis yang menyajikan permasalahan langsung dengan dalilnya. Walhasil, satu dua kali ikut kajian, ditambah dengan mendengarkan video sepotong-sepotong di yutub, mereka sudah berani berhujjah dengan hadis; berhujjah tak ada dalilnya; hadisnya sohih dan lain sebagainya
Belum lama saya berdialog dengan salah seorang kawan yang modelnya seperti yang saya sindir. Setelah sampai pada sebuah permasalahan dan mendengarkan pemaparan saya, dengan entengnya dia katakan, “menurut ana sih itu ga boleh, sebab hadisnya sohih kok… dan kalau ada hadis sohih ngapain kita cari yang lain, toh udah sohih!!”
Batin saya ketawa. Ternyata kajian hadis sohih bukan hanya asupan mahasiswa al-Azhar atau UIN saja. Orang seperti dia, yang notabenenya tidak mengkaji hadis, bisa berhujjah dengan hadis sohih “plus” argumennya tentang keabsahan hadis sohih. Saya tidak mau panjang-panjang saat itu. Saya hanya katakan bahwa tidak semua hadis sohih itu dipakai, sekalipun itu berstatus sohih. Dan tidak semua hadis doif itu ditolak meskipun ia berstatus doif. Selebihnya saya diam. Toh dijelaskan pun ia ngeyel.
Nah, itu sedikit pengalaman saya berinteraksi dengan mereka. Saya kira bukan hanya saya yang berfikiran seperti ini. Mungkin saya hanya satu di antara beratus orang yang berpendapat seperti ini. Sudah banyak tulisan-tulisan, video, argument yang mencibir para aktifis hijrah. Dari yang bahasanya lembut yang ramah sampai yang blak-blakan soal “ketidakjujuran” para aktifis hijrah. Ini semua ada dan nyata.
Namun setelah saya pikir Dan renungkan lama-lama, ternyata kekesalan saya pada mereka tak berujung pada sesuatu. Hal ini justru memperkeruh hati dan jiwa saya. Maka sampailah saya pada kesimpulan, jika memang mereka semua adalah orang yang berhijrah atau yang disebut sebagai muhajirin, kenapa saya atau kita tidak menjadi kaum Anshar yang menyambut mereka semua.
Kaum Anshar sangatlah mencintai Muhajirin. Mereka berikan semua yang dimilikinya pada Muhajirin. Mereka sambut satu-persatu rombongan sahabat rasulullah yang tiba di Madinah. Harus kita akui, latar belakang budaya serta fanatisme kelompok budaya Arab saat itu sangatlah kuat. Karenanya, secara psikologis, orang yang bertemu dalam adat dan suku yang berbeda pastinya akan menimbulkan peseteruan, apalagi dalam budaya Arab kala itu. Namun realitasnya tidak seperti yang kita fikirkan.
Kalian pasti ingat kisah Abdurrahman bin Auf yang tatkala tiba di Madinah ia dikenalkan oleh sahabat bernama Sa’d bin Ar-Rabi’ al-Anshari. Sa’d pun berkata: Wahai saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang paling kaya. Pilihlah separuh hartaku dan ambilah. Aku juga mempunyai dua istri, mana yang menarik bagimu, maka aku akan menceraikannya”
Sungguh, tawaran ini tidak akan terucap kecuali pada orang yang sudah tertanam rasa cinta dan kasihnya pada saudaranya. Ia menawarkan seluruh kekayaannya. Bahkan istrinya sekalipun. Dan inilah mengapa Rasulullah menjadikan salah satu tanda keimanan ialah cinta terhadap kaum Anshar dan menjadikan tanda kemunafikan ialah benci kepada kaum Anshar. Bahkan persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar inipun diabadikan dalam al-Quran yang berbunyi:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka berikan itu)” (Qs Al-Hasyr: 9)
Kembali pada tren hijrah di atas. Maka apabila mereka semua, yakni orang-orang yang sedang hijrah kita ibaratkan sebagai muhajirin, kenapa saya atau bahkan kita, yang memang dalam tanda kutip mengkaji agama secara intens, menerima mereka layaknya kaum Anshar. Pertanyaannya, apakah kaum Anshar pernah menyakiti kaum muhajirin? Apakah pernah mereka menjelek-jelekkannya? Justru sebaliknya, kaum Anshar sangat mencintai dan memberikan apapun pada Muhajirin.
Meski masih banyak yang harus diperbaiki dari para aktifis hijrah tersebut, tapi kita harus bersyukur sudah banyak perubahan pada diri mereka. Syukur-syukur mereka sudah berada di jalan yang benar; mau makai kerudung; sudah mendirikan shalat; senantiasa ikut majlis ilmu; menaati perintah Allah, dan lain sebagainya. Setidaknya mereka sudah membuat bumi ini senang dengan perbuatan baik yang mereka kerjakakan.
Mereka semua —insyaallah— baik baik. Sekalian lagi, kita harusnya bersyukur mereka sudah melakukan banyak perintah Allah dan menjauhi larangannya. Sebab disana masih banyak sekali yang melakukan kemaksiatan, bahkan secara terang-terangan. Kalau menurut Anda mereka bersikap agak “sok tau”, maka maklumilah. Memang diawal, sebagaimana yang sering kita dengar, penuntut ilmu itu bersifat ingin show. Tapi itu tak membuat kita berhenti untuk terus menasihatinya dan memberitahu hal-hal yang lebih apik dan baik.
Namun diakhir, saya berpesan bagi para aktifis hijrah untuk sama-sama perbaiki niat. Hijrahlah karena Allah Swt. Bukan karena hal-hal lain; karena uang, jabatan, harga diri, perempuan ataupun yang lainnya. Sebab ingat, Rasulullah pernah memarahi sahabatnya yang kala itu ikut hijrah ke Madinah tapi niatnya untuk mendapatkan wanita. Perkataan Rasulullah ini pun hingga kini masih diabadikan dan senantiasa diingat. Jadi sekali lagi, mari sama-sama perbaiki niat kita.
Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Sabtu, 31 Augustus 2019 / 1 Muharram 1441
Cilodong, Depok
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.