Opini

Islamisasi Bahasa


Image result for islamisasi bahasa
 Oleh : Bana Fatahillah
            Suatu
saat, tengoklah Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI)
. Carilah makna kata ‘adil’. Maka, akan ketemu tiga makna:
(a) sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak, (b) berpihak kepada yang
benar; berpegang pada kebenaran, (c) sepatutnya; tidak sewenang-wenang. (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/adil).
            Berbekal
kamus itu, sebagai seorang muslim, bacalah ayat al-Quran Surat al-Maidah ayat 8,
yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. “
            Begitu
banyak ayat al-Quran yang memerintahkan kaum muslim berlaku adil dan jangan
berlaku zalim. Berlaku adil adalah perintah Allah yang sangat penting. Adil
jelas bukan “tidak memihak”! Menurut al-Jurjani, dalam al-Ta’rifaat, adil adalah “’ibaaratun
‘anil amri al-mutawassith baina tharafay al-ifraath wal-tafriith.”
(Kondisi
pertengahan yang tidak berlebihan/ekstrim). Orang yang berlaku adil, misalnya,
adalah orang yang meninggalkan dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan
dosa kecil, serta  menghindari perbuatan
tercela, seperti makan atau kencing di pinggir jalan.
            Dalam
pandangan al-Quran, tindakan menyekutukan Allah SWT (syirik), termasuk kategori
tidak berlaku adil (zalim) kepada Allah. Bahkan, syirik adalah kezaliman yang
besar, karena telah merampas hak Tuhan, sebagai satu-satunya Dzat yang berhak
disembah. (QS 31:13).
            Jadi,
begitu jelas, luas dan dalam, makna adil dalam al-Quran. Seorang muslim
Indonesia tidak akan dapat memahami dan mengamalkan perintah Allah untuk
berlaku adil, jika hanya mengacu kepada KBBI.
            Kasus
lain! Lihatlah makna ‘hikmah’ dalam KBBI. Ada sejumlah arti kata ‘hikmah’,
yaitu (a) kebijaksanaan (dari Allah Swt.), (b) sakti; kesaktian, dan (c) arti
atau makna yang dalam; makna yang terkandung di balik suatu peristiwa; manfaat.
            Kata
hikmah begitu banyak ditemukan dalam al-Quran, misalnya QS 31:12. Para nabi
diberikan hikmah dan ilmu oleh Allah. Menurut Prof. Naquib al-Attas, hikmah
adalah sumber adab. Sedangkan adab, menurut Abdullah Ibnul Mubarak, adalah dua
pertiganya agama Islam.
            Itulah
contoh ‘de-Islamisasi bahasa’. Kata-kata penting dalam al-Quran, seperti adil
dan hikmah, dikaburkan maknanya, dari makna yang seharusnya di dalam al-Quran.
Karena itu, bagaimana mungkin seorang muslim bisa menjalankan perintah Allah
untuk berlaku adil, jika kata ‘adil’ itu sendiri tidak lagi dipahami maknanya
dengan betul?
            Maka,
cobalah lihat dalam KBBI, apa makna kata: 
iman, kafir, munafiq, rasul, mukjizat, dakwah, fasiq, ilmu, adab,
sholeh, taqwa, ibadah, dan sebagainya. Apakah artinya sesuai dengan rumusan
para ulama Islam?
Pentingnya Makna
             Manusia tak akan pernah lepas dari ‘kata’.  Sebab, kata ‘naathiq’ dalam definisi insan
(hayawaan naathiq), juga mengindikasikan makna ‘nuthq’ yang bermakna
‘berbicara’. Berkata atau berbicara selalu mengharuskan dua hal; lafaz dan
makna. Dengan itulah perkataan terbentuk. Adapun bahasa, ia merupakan perantara
dalam interaksi antar-manusia, sebagaimana definisi Ibnu Jinni (w. 392 H):
bahasa adalah “lafaz-lafaz yang diperuntukan setiap kaum akan maksud dan tujuannya.”
Dalam pandangan al-Khattabi, sebuah
perkataan akan tercipta karena adanya tiga hal; (i) tegaknya lafaz, (ii) adanya
kandungan makna dan (iii) keterkaitan antara keduanya. Maka hubungan erat
antara lafaz dan makna tak bisa dipisahkan dari sebuah perkataan. Walaupun
secara kasat mata, pembahasan keduanya adalah hal yang bersifat apriori (dharuriy),
atau dapat diketahui oleh seseorang tanpa harus berifkir dan bernalar (nazhar).
Orang yang melontarkan kata “Zaid”, misalnya, secara tidak langsung ia telah
mengetahui bahwa Zaid  adalah lafz yang
menunjukkan pada ‘laki-laki balig dari bani Adam yang diberi nama Zaid’,
sebagai maknanya.  
Lafaz dan makna,  mana yang lebih penting dan prinsip? Tidak
sedikit yang berselisih hanya karena perbedaan lafaz ataupun makna. Dalam hal
ini Abu Hilal Al-Askari (w. 395 H) mengatakan bahwa keduanya sangatlah
penting.  Dalam setiap makna, ada lafaz
yang mewakilkan dalam pengucapan. Maka barang siapa yang tidak tahu lafaz, kelak
ia akan terjerumus dalam kebisuan tentang makna yang ingin disampaikan.
Namun Ibnu Jinni menjelaskan, meski
kedudukan lafaz dan makna adalah simpul yang saling bertemu, namun kedudukan
maknalah yang lebih penting dari lafaz, karena lafaz adalah pelayan (khâdim)
bagi makna.  Kedudukan yang dilayani (makhdûm)
lebih mulia dari yang melayani (khaadim). (Muhammad Hasan, al-Ma’na
allughawiyyah
, hlm.10-11)
Bahwa posisi ‘makna’ amatlah penting, bisa
dilihat makna sebagai objek pada berbagai disiplin ilmu. Dalam pembentukan
kaidah nahwu, misalnya, yang menjadi sorotan dalam i’râb adalah
mengetahui sebuah makna yang terkandung pada kalimat. Karena setiap pergantian harakat pada akhir kata, akan
mempengaruhi makna yang ada.
Ilmu sharaf pun demikian. Kaidah yang
berbunyi, “ziyaadat al-mabnaa tadullu ‘alaa ziyadaat al-ma’na
(penambahan huruf mengindikasikan adanya penambahan makna). Jadi, pembahasan
makna amatlah penting dalam pembelajaran ilmu sharaf. Begitupun dalam disiplin
ilmu lainnya seperti ilmu balaghoh ma’ani, naqdan lil al-Adab,
fiqh al-lughah, dan lain-lain.
Perbincangan makna pun menjadi sorotan
para ulama aqidah. Mereka mengatakan bahwa makna mengambil porsi yang sangat
genting dan diperlukan pada keutamaan akal dan kekuatan berfikir. Imam Khattabi
berpendapat bahwa makna, yang diwakili oleh lafaz, merupakan perkara yang
sangat penting. Sebab, ia merupakan produk akal, pengantar pemahaman, serta
buah pemikiran. Jika makna memasuki ruang lingkup hakikat, maka ia lebih
menjadi sorotan pembahasan dibanding lafaz.
Tulisan ini bukan menekankan kajian
perubahan pada kata atau lafaz layaknya perbedaan bahasa. Tapi, lebih
menfokuskan pada makna yang terkandung pada suatu lafaz. Prof. Syed Muhammad
Naquib al-Attas menegaskan bahwa  yang
dimaksud dengan ‘perubahan dalam bahasa’ itu sesungguhnya adalah: perubahan
dalam makna serta bentuk faham-faham yang terkandung dalam peristilahannya. Dan
itu bukan saja perubahan bentuk luarnya — yakni perubahan bentuk kata serta
ejaan dan sebagainya. Apalagi,  kata-kata
yang berangkat dari perbendaharaan kosakata umat Islam. (al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hlm. 99)
Prof. al-Attas mendefinisikan ‘makna’
sebagai pengenalan atas segala sesuatu di dalam sebuah sistem hubungan sehingga
jelas pada pemahaman. Jadi, jelas, makna menjadi pembahasan penting dalam
bahasa. Dan setelah mengetahui pentingnya pembahasan makna, al-Attas
mengingatkan pentingnya memahami satu fenomena yang disebutnya sebagai ‘pendistorsian
sebuah makna dari lafaz’ yang nantinya berujung pada problem ‘de-islamisasi
bahasa’. Yakni, kata-kata penting yang datang dari Islam (islamic basic
vocabularies
) terdistorsi maknanya akibat berbagai hal, salah satunya adalah
bentuk sekularisasi Barat.
Deislamisasi
Bahasa
Menurut al-Attas, sebuah bahasa menjadi
bersifat Islam setelah mengalami proses pengislaman (islamization). Proses
ini terjadi saat pertama kali al-Qur`an diturunkan melalui bahasa Arab. Kata
‘mulia’ (karîm), misalnya, —yang dipahami oleh orang  jahiliyah dulu—, bahwa orang mulia adalah
mereka yang tinggi kedudukannya, nasabnya, jabatannya, hartanya atau lainnya – mengalami
proses Islamisasi. Maknanya berubah. Al-Qur`an menjelaskan, bahwa orang yang
paling mulia adalah yang paling bertaqwa.
Sebaliknya, jika suatu kata atau istilah
sudah menyimpang maknanya dari makna yang seharusnya, maka kata itu mengalami
proses ‘penafi-islaman’ (deislamization). Kini, banyak kata-kata penting
dalam Islam mengalami proses de-Islamisasi. “Many
major key terms in the Islamic basic vocabulary of the languages of Muslim
peoples have now been displaced and made to serve absurdly in alien fields of
meaning,”
tulis al-Attas.
Deislamisasi bahasa terjadi – salah
satunya – akibat proses sekularisasi Barat. Menurut al-Attas, masalah utama
yang dihadapi peradaban Barat adalah perihal keraguan mereka terhadap
‘kemampuan bahasa’ dalam memberikan hakikat dan kebenaran secara tepat, atau
sering disebut perihal representasionalisme.
Walhasil, mereka
memiliki kerancuan dalam memahami perbendaharaan bahasa yang tidak memiliki
hakikat yang wujud secara materi; seperti  kata tuhan, akal, nafsu, hikmah, ilmu, adab, adil,
dll. Ini karena mereka menganut paham materialisme yang mengharuskan adanya wujud
materi segala sesuatu. Makna kata-kata yang datang dari Islam itu diputarbalikkan
sesuai budaya dan kondisi masyarakat Barat yang sekular.
Sebagai misal, makna kata ‘keadilan’.
Bagi masyarakat Barat, keadilan adalah suatu perkara yang berlangsung dalam
rangka dua pihak yang merujuk kepada negara dan masyarakat; yaitu antara seseorang
dengan orang lain, rakyat dengan raja, atau masyarakat dengan negara.
Begitu juga halnya dengan lawan kata ‘keadilan’,
yaitu kezaliman. Makna kata ini hanya berkisar pada dua pihak. Al-Attas
mengutip perkataan Aristoteles, bahwa tidak mungkin adanya kezaliman pada diri
sendiri. Seseorang yang membunuh dirinya, misalnya, ia tidaklah menzalimi
dirinya melainkan negaranya. Karena dengan perbuatannya itu, ia telah
meniadakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan negara. (al-Attas,
Risalah untuk Kaum Muslimin, hlm. 37)
Kata adil adalah kosa kata yang datang
dari Islam, maka seharusnya dimaknai sebagaimana adanya. Dalam kacamata Islam, keadilan
berpuncak pada diri sendiri. Seseorang bisa saja berlaku adil atau lawannya
–kezaliman– pada dirinya sendiri, sebagaimana firman Allah pada surat (Qs al-A’raf
[9] : 172) tentang perjajian ruh pada Allah Swt. Seorang muslim telah adil pada
dirinya, karena ia menepati janji akan tunduk pada Rabb-Nya, yaitu Allah Swt. Perilaku
zalim pada diri sendiri pun sudah diakui oleh manusia pertama di muka bumi ini,
Nabi Adam dan Siti Hawa, sebagai mana firman Allah Swt: “Mereka berdua
berkata: Wahai Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami…”
(Qs al-A’raf
[9] : 23). Maka muslim dan mukmin yang baik adalah mereka yang berlaku adil dan
tidak menzalimi dirinya.
Jadi, tegas al-Attas, orang kafir itu
telah menzalimi dirinya karena mereka telah melanggar janjinya yang telah bersaksi
bahwa Allah adalah rabb-nya pada perjanjian ruh dahulu (convention soul).
Masyarakat Barat juga menganggap bahwa adil bermakna “persamaan”. Jika
demikian, maka seorang istri akan menuntut keadilan untuk bisa memimpin rumah
tangga dan mencari nafkah, bahkan memimpin shalat. Seorang pelacur juga akan
menuntut bahwasanya yang ia lakukan adalah sebuah pekerjaan layaknya pekerjaan
lain, guna  menafkahi hidupnya.
Itulah yang terjadi pada masyarakat
Barat. Padahal Islam mengingatkan bahwa ‘adil’ tidak hanya bicara persamaan.
Tapi, adil dalam Islam, bicara tentang kondisi sesuatu pada tempatnya yang
betul,  sesuai harkat dan martabat yang
ditentukan Allah.
 Masih
banyak perbendaharaan kosakata yang terpengaruh budaya sekular Barat. Mereka tidak
percaya tentang makna jiwa (nafs), karena mereka memandang manusia
sebagai entitas fisik (materi) semata. Tidak heran, yang mereka utamakan adalah
mempercantik fisik atau rupa, hingga diadakannya kontes-kontes kecantikan yang lebih
menekankan aspek fisik. Jiwa mereka rusak tak terbenah. Begitupun pemahaman
mereka tentang ilmu yang hanya dibatasi oleh ilmu-ilmu fisik semata. Mereka
sangat tunduk pada sains, alam, teori, dan sebagainya. Pada saat yang sama,
mereka menolak pengetahuan-pengetahuan metafisik; seperti ruh, kebangkitan hari
akhir, kabar surga dan neraka, pahala, dosa, atau sebagainya.
 Prof.
Naquib Al-Attas sudah mengingatkan ini semua dalam pembahasan tentang ‘Faham
Bahasa’ pada kitab klasiknya, Risalah
Untuk Kaum Muslimin
. Al-Attas menekankan pentingnya peran bahasa dalam
pemahaman agama. Sebab, seorang memahami agama dengan bahasa. Jika bahasa sudah
dirusak, maka rusaklah agama.
Dulu, para ulama mengislamkan Nusantara,
dengan melakukan Islamisasi bahasa Melayu. Dan kini, salah satu cara merusak
Islam, adalah dengan merusak bahasa. Yakni, dengan melakukan proses
de-Islamisasi bahasa; dengan merusak makna kata-kata penting dalam Islam.
Akibatnya, dengan bahasa yang ada, orang muslim tidak bisa lagi memahami agama
Islam dengan baik.
Jadi, kini, salah satu tugas besar umat
Islam Indonesia adalah melaksanakan “Islamisasi bahasa!” Wallahu A’lam
bish-shawab.
(***)

*Tulisan ini telah dimuat di Jurnal Islamia-Republika hal.18, (19 Juli 2018) 





Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top