Uncategorized

Ibnu Hisyam Al-Anshari (Sebuah Madrasah dengan Komposisi Dua Mazhab)





Oleh : Bana Fatahillah*

            Jika menemukan seseorang atau lembaga
pendidikan dengan nama “Qotr al-Nadâ”, maka hal pertama  yang terbesit di benak penulis adalah, nama
itu disandarkan kepada sebuah kitab milik seorang ahli nahwu bernama Ibnu
Hisyam atau Jamaluddin bin Yusuf bin Ahmad bin Abdillah bin Hisyam al-Anshari,
seorang ahli nahwu dari dataran Mesir.   

            Tak
bisa dipungkiri, putra kelahiran tahun 708 H tersebut merupakan imam dalam ilmu
nahwu yang karyanya sudah tersebar di seluruh penjuru dunia serta dipakai dalam
bahan mengajar nahwu. Karyanya sangatlah banyak, baik yang sudah dicetak
ataupun naskah yang sedang diteliti, di antaranya ialah Qotr al-Nadâ, Syudzûr
al-Dzahâb, Mughnî al-Labîb, Qawâid al-I’râb, Awdhâh al-Masâlik, Nuktah al-‘Irab
dan lain sebagainya. Sebenarnya masih banyak lagi, namun mungkin
kitab-kitab inilah yang sudah tersusun rapih di rak mayoritas pelajar.   

            Karya
beliau sebenarnya diperuntukkan untuk mereka yang sudah melewati ilmu nahwu
dalam tingkat pemula (mubtadi). Sebagai contoh, kitab Qotr al-Nadâ
tidak bisa dipahami untuk mereka yang belum menamatkan Ajrûmiyyah milik
Ibnu Ajrum, Mulhah al-I’râb milik Imam Hariri atau kitab-kitab setingkat
dengannya. Ini semua karena pembahasan di dalamnya sudah menggunakan banyak
istilah yang sekiranya tidak dijelaskan secara rinci, sebagaimana yang
dijelaskan dalam kitab-kitab pemula.

            Kata
madrasah di sini bukan mengindikasikan pada madrasah sebagai sarana
pembelajaran. Namun lebih ke metodologi yang dibentuk dalam kitab-kitabnya.
Bagi mereka yang ingin masuk dalam batas laut teritorial Ibnu Hisyam, maka ia
harus menjumpai hal-hal yang sudah dirancang olehnya, terkhusus terkait metode
dan konteks bahasa yang tertera di dalamnya. 
            Ibnu
Hisyam mempunyai metode sendiri dalam meracik kitab-kitabnya. Ia sangat
terkenal dengan ahli nahwu yang senang menggabungkan antara dua mazhab nahwu;
bashrah dan kufah.  Ibnu Hisyam tidak
condong pada mazhab tertentu. Terkadang ia menyebutkan pendapat semua mazhab
lalu diambil yang paling râjih menurut mayoritas ulama, namun terkadang ia
juga menggabungkan dua pendapat sekaligus (talfîq) dalam satu
permasalahan. Terkadang ia condong ke bashrah, dan terkadang ia
berpaling ke Kufah, sungguh unik! Dalam hal ini mungkin Ibnu Hisyam bisa
disebut “allâmadzhabiyyah”, dan  itu tidak masalah, karena memang nahwu
berbeda halnya dengan fikih, yang membutuhkan mazhab tertentu.  

Selain menggabungkan dan
memilah milih berbagai pendapat jumhûr ulama, Ibnu Hisyam sangatlah
lihai dan cermat dalam membuat pembagian (taqsîmât), yang tidak banyak
dilakukan oleh ulama-ulama sebelum ataupun sesudahnya. Selain itu, dalam
kitab-kitabnya, Ibnu Hisyam memberikan sebuah permasalahan yang mungkin tidak
ditemukan selain dalam kitabnya, dan inilah yang menjadikan karyanya selalu
dipakai oleh umat muslim sampai saat ini.

            Dalam
permasalahan i’rab misalnya. Pada matn kitab Qotr al-Nada, Ibnu
Hisyam mengikuti pendapat yang mengartikan i’rab secara lafadz, yaitu “pengaruh
yang jelas atau tersembunyi akibat masuknya berbagai faktor” (atsarun zahirun
aw muqaddarun yajlibuhu al-Amil
). Namun jika diperhatikan dan diteliti,
saat menuliskan syarh ia justru menulis pengertian i’rab secara maknawi,
yaitu “Perubahan pada akhir kata karena berbedanya faktor yang masuk”  (ma yataghayyaru âkhiruhu bisababi mâ
yadkhulu alaihi al-Amil
), sebagaimana yang didefiniskan oleh Ibnu Ajrum
dalam Jurumiyyahnya. Talfîq  semacam ini pun juga dilakukannya dalam
permasalahan fi’il muḍari al-mu’tal al-Akhir, dimana ia menggabungkan
pendapat antara Imam Sibaweih dan Ibnu Sarraj sekaligus.

            Selain
mengkomparasi dua pendapat mazhab, terkadang ia meruntuhkan suatu pendapat
dengan dalil yang dibuatnya. Dalam bab Isim, misalnya, Ibnu Hisyam menggugat al-Farra,
ulama periode ke-3 dalam madrasah Kufah, Ibnu Sarraj, seorang ulama masa
terakhir madrasah Kufah dan mayoritas pendapat ulama kufah yang mengatakan
bahwasanya kata “ni’ma”, “bi’sa”, ‘asa” dan “la’alla” termasuk
dalam kategori huruf bukan isim. Dan dalam hal ini ia sependapat dengan
ulama bashrah.

            Namun uniknya, dalam permasalahan âmil
fi’il mudhari’
Ibnu Hisyam justru memuji dan mengiyakan seorang al-Farra –yang
ia bantah pada permasalah di atas– yang mengatakan bahwa âmil fi’il muḍâri’ adalah
terlepasnya ia dari huruf nashab dan jâzim. Kali ini ia menginduk
pada Kufah dan harus membantah perkataan ulama Bashrah dengan berbagai dalil.
Bukan hanya jumhur bashrah, Ibnu Hisyam pun mempreteli perkataan dari
berbagai pendapat ulama Kufah yang tidak sejalur dengan al-Farrâ dan
pengikutnya.             
       
Dalam beberapa tempat,
Ibnu Hisyam terkadang mengatakan ‘A’ dalam suatu kitab dab ‘B’ dalam kitab
lainnya. Sebagai contoh dalam permasalahan huruf “lan”, Ibnu Hisyam
membantah Imam Zamakhsyari yang mengatakan bahwa huruf lan mengandung makna
kelanjutan (al-Ta’bid) dan Ibnu Sarraj yang mengatakan bahwa “lan
mengandung makna doa. Ia mengatakan sesungguhnya “lan” hanya bermakna
pengingkaran (al-Nafyu), dan menjadikan sebuah verba ke waktu yang akan
datang (al-Istiqbâl). Pendapat ini ia tuliskan di Qotr. Namun dalam
kitab Mughni al-Labib dan Awdhah al-Masâlik ia justru mengatakan
bahwa lan dapat bermakna doa, sebagaimana pendapat Ibnu Sarraj yang ia
bantah.   

            Ini
semua adalah contoh kecil dari permasalahan yang ada, dan masih hal semacamnya
yang tidak bisa disebutkan satu persatu.  Semua metode yang dilakukan Ibnu Hisyam sama
sekali tidak mengurangi kepiawaiannya dalam ilmu nahwu, justru inilah hakikat
seorang ulama besar. Ia ahli dan pakar dalam bidang nahwu, maka tidak mungkin
menuliskan sebuah karya tanpa adanya landasan yang sempurna.
Pertama, tidak cepat-cepat menyalahkan suatu
pendapat. Karena bisa saja, kita semua belum mengetahui pendapat lain yang
berbicara dalam masalah tersebut. Kedua, perluaslah cakrwala keilmuan
kita semua khususnya ketika memasuki satu disiplin ilmu, karena disana akan
kita temukan berbagai pendapat yang belum kita ketahui. Dengannya kita tidak
cepat-cepat menghukumi satu permasalahan tanpa ilmu.  Karena sebuah pepatah arab mengatakan “man
katsura ilmuhu qalla inkâruhu”
(barang siapa yang banyak ilmunya, maka
sedikit mengingkarinya).
        
           


Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top