Novel Series (Motivasi)

Hidayah di Kaki Langit (Bag. 13-14)


13
Aku Tak Menginginkanmu
S
udah beberapa kali aku bolak-balik dari
kamar mandi. Aku mual-mual namun tak ada sesuatu yang keluar dari mulutku.
Badanku lemas dan aku sangat sensitif dengan kata-kata atau teguran dari orang
lain. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku namun, perutku terasa teraduk
sehingga aku sedikit pusing. Aku memilih berbaring dan berupaya untuk menutup
kedua mataku sehingga aku mampu beristrahat namun sia-sia saja. Selang beberapa
menit saja aku kembali merasakan yang sama, terasa mual. Aku menuju dapur yang
tak begitu luas namun bersih sebab aku selalu merawatnya dengan baik. Aku
mengambil teh celup dan gula pasir putih yang ada dalam toples berencana untuk
membuat segelas teh hangat mungkin dengan seperti itu aku mampu menghilangkan
rasa mual yang terus menyiksaku.
Segelas teh hangat dengan asap yang masih
mengempul telah tersaji di hadapanku. Aku meneguknya sedikit demi sedikit. Dan
perlahan kubiarkan kelopk mata ini sayup-sayup dan akhirnya bisa pula tertidur.
Sementra di sudut tempat lain tepaptnya di dalam ruangan rumah sakit di atas
bangsal Lukman masih terbaring namun ia sudah mulai membaik. Lukman sudah mampu
merela kepegian belaha jiwanya, Riri meskipun tak keseluruhan. Perjalanan waktu
terus menerus mengikis kesedihannya hingga dengan tertatih ia mulai mampu
menatap masa depan hidupnya yang akan segera ia jalani. Ia membenarkan apa yang
telah Iza katakan padanya bahwa masih ada hari esok yang harus ia jalani dan
tak akan membuatnya bisa melaluinya jika ia terus-menerus berada pada situasi
yang menguras emosi tanpa bisa ia kendalikan.
Dengan menyelonjorkan kakinya ia
menikmati suguhan siaran dari balik laya TV yang telah disediakan oleh pihak
rumah sakit. Ia sebenarya menunggu kedatangan orang tuanya yang akan
menjemputnya hari ini. Entah apa yang telah direncanaka ayah dan ibunya pada
Lukman sebab dari percakapan mereka melalui telpon beberapa jam yang lalu,
ayahnya mengataka bahwa ia akan mendapatkan suprise
dari ayah yang selalu menyayanginya. Sedikit rasa penasaran mendera pada
dirinya namun, ia tepis tak ingin memikirkannya. Ia fokuskan semua pikirannya
untuk menatap masa depannya dan meyakinkan dirinya bahwa ia mampu bertahan dan
berdiri meski ia telah kehilangan Riri untuk selamanya.
“Sudah baikan nak?” tanya ibu Lukman kala
memasuki ruangan Lukman dirawat beberapa hari ini. Ia membawa bungkusan nasi
untuk Lukman.
“Iya bu.”
“Ayah ke mana bu? Tidak datan bersama?”
lanjut Lukman dengan pertanyaan.
“Ayahmu ada urusan mendadak dari kantor
dan tidak bisa bersama ibu menjemput keluar dari rumah sakit. Tapi ayahmu janji
setelah urusannya selesai ia akan segera menghampiri kita.” Papar ibunya sambil
membuka bungkusan nasi yang ia bawa untuk Lukman.
“Kamu sudah makan nak? Ini ibu bawakan
makanan kesukaanmu. Ibu tadi membelinya saat bersama ayahmu.” Terang ibu Lukman
sambil menyodorkan makanan tersebut pada Lukman. Ia menerimanya dan segera
menikmati makanan kesukaannya.
“Terima kasih bu.” Lukman menikmati
makanannya sambil mengarahkan pandangan matanya pada layar TV. Sementara ibunya
tengah mempersiapkan kepulangan Lukman dari rumah sakit.
“Ibu keluar dulu nak, ingin mengurus
semua admistrasi dan pembayaran kamu selama di sini.” Pamit ibunya sambil
berlalu dari hadapan Lukman. Ia hanya mempersilahkan ibunya keluar mengurus
semua admistrasi dan biayanya sambil terus menikmati makanan kesukaanya.
“Atas nama Lukman sus, kamar yang di
sebelah sana yang dirawat beberapa hari ini.” Ucap ibu Lukman kala berada pada
ruang admistrasi.
“Tunggu yah bu, kami cek dulu.” Kata
salah satu suster berparas cantik sambil memainkan jemarinya pada keyboard
komputer yang ada dihadapnya. Ia dengan teliti melihat nama Lukman  dalam baris pasien yang dirawat beberapa hari
yang lalu.
“Atas nama Lukman pasien yang masuk
beberapa hari yang lalu, semua biayanya lima juta tujuh ratus lima puluh rupiah
bu.” Kata suster tersebut sambil memperlihatkan rincian pembayar tersebut pada
ibu Lukman. Ibu Lukman kemudian mengeluarkan beberapa lembaran uang seratus
ribu yang telah ia siapkan untuk hal ini sebab ia tahu bahwa ruma sakit ini
adalah rumah sakit dengan kualitas baik dan pasti juga akan memakan biaya yang
banyak pula. Suster dengan ramah melakukan transaksi pembayaran dengan ibu
Lukman.
“Terima kasih bu, semoga anak ibu kembali
seperti semula dan kejadian tersebut tidak menimpa anak ibu untuk kedua
kalinya.” Ucap suster tersebut dengan ramah.
“Sama-sama sus. Tapi apa maksud suster
dengan ucapan tadi?” tanyanya cari tah.
“Kemarin waktu anak ibu pertama kali
datang ke rumah sakit ini, wajahnya sangat pucat dengan pakaian yang basah bu.
Bibirnya bergetar hebat akibat kedinginan yang mender dirinya sementara sekujur
tubuhnya mulai kaku. Aku sendiri tak yakin anak ibu dapat diselamatkan sebab
kondisinya. Namun, Tuhan punya kuasa di luar hamba-Nya.” Ibu Lukman
mendengarkan dengan jelas pemaparan suster berparas cantik tersebut.
“Untunglah bu ada temannya yang bernama
Iza cepat mengantarnya ke rumah sakit ini dengan memopong tubuhnya secara
tertatih. Kalau Iza tidak cepat mungkin lain ceritanya bu.” Lanjut seorang
suster lainnya. Ibu Lukman hanya setia mendengarkan papar demi papar yang
berasal dari mulut suster tersebut. Namun, secara tak langsung dengan hanya ia
bisikkan ia berterima kasih pada Tuhan atas kesempata yang diberikan kepada
anaknya untuk melalui kondisinya yang kritis sesuai yang dikatakan oleh suster
tersebut. Ia juga sangat berterima kasih sekali dengan Iza atas kesediaannya
memopong tubuh anaknya. Meskipun ia tidak tahu siapa Iza tersebut.
***
Aku melemparkan Tespack  yang saja aku
gunakan untuk memastikan kekhawatiranku. Dan ternyata kekhawatiran yang
membuatku menjadi merasa takut kini terbukti. Aku rapuh melihat kenyataan yang
berasal dari benda yang disebut Tespack
tersebut. Alat yang aku gunakan untuk mengetahui apakah aku hamil atau tidak
melalui pemeriksaan air seniku.
“Tidak mungkin. Bagaimana mungkin ini
bisa terjadi?” ibaku merintih pada diriku sendiri.
“Ini pasti salah. Alat Tespack  tersebut pasti rusak. Aku tidak mungkin hamil.
Tidak……”aku terus merintih pada nasib diriku. Aku tidak percaya bahwa aku
tengah mengandung.
“Tapi siapa bapak dari jabang bayi yang
tengah aku kandung ini?” tanyaku pada diriku yang rapuh. Aku memutar memoriku
dengan cepat. Aku mengingat semua laki-laki yang telah aku temani tidur
bersama.
“Bukankah selama ini aku tidak pernah
menikmatinya? Aku tidak pernah menemui titik nikmat tersebut dan selama ini
kami selalu memakai pengaman saat melakukannya? Iya kami selalu memakai
pengaman jadi ini tidak mungkin terjadi.” Hardikku pada diriku mencari tahu
siapa yang berhak atas kandungan ini.
“Tapi pantaska aku mendapatkan laki-laki
yang bertanggung jawab atas kandungan ini? Sebab aku sadar aku hanyalah seorang
pelacur yang menjajahkan tubuhku untuk mendapatkan lembaran rupiah bukan
mendapatkan kepuasan nafsu. Pantaska aku mendapatkan laki-laki? Siapakah
kiranya yang akan bertanggung jawab atas jabang bayi yang ada dalam diriku
ini?” semua pertanyaan terus berhamburan menusuk relung hatiku dan membuatku
semakin rapuh tak tentu arah kemana akan kusandarkan diri ini.
“Kenapa kamu harus ada? Kenapa? Aku tidak
menginginkanmu dan tak akan pernah menginginkanmu.” Aku memukul-mukul perutku
sebab kumuak dengan penderitaan ini yang menjabahku dengan lembut. Aku merasa
putus asa namun, di tengah putus asa yang mulai menghampiriku sebuah nama
terlintas dalam benak fikirku.
“Irsan.” Ya aku ingat Irsan.
“Irsanlah yang harus bertanggung jawab
atas jabang bayi yang ada dalam rahimku. Irsan lah laki-laki yang harus menjadi
ayah dari anakku kelak. Aku sadar bahwa dengan Irsanlh aku melakukannya untuk
pertama kalinya dengan perasaan suka sama suka tanpa menggunkan pengaman. Irsan
lah laki-laki itu.” Di tengah rasa putus asa yang menderaku aku menemukan
setitik cahaya atas kehampaan diriku. Aku menemukan titik terang meskipun hanya
sedikit saja. Namun, itu sudah membuatku merasa tenang meskipun rasa rapuh dan
tertatih lebih besar menyerbuku.
Aku membuat diriku kuat dan mencoba
berdamai dengan kondisi dan diriku. Aku mencoba menerimanya bahwa ini adalah
kesalahanku sendiri.
“Bukankah Irsan mencintaiku? Aku tidak
perlu terlalu mengkhawatirkannya sebab Irsan pasti menerimaku.” Aku meyakinkan
diriku meskipun peyakinan diri yang kulakukan hanyalah terpaksa. Dibalik dari
semua itu aku jujur. Aku tak menginginkannya. Sama sekali tak menginginkannya
hadir dalam diriku dan kehidupanku esok.
Langit tanpa tiang penyangga itu masih
berdiri kokoh tanpa ada tada kerapuhan padanya. Ia tegar dan tak bergeming
dengan nasib manusia yang berada dibawanya. Ia tak tahu arti simpati dan
empati. Langit tu hanya apatis dan tak mau tahu dengan urusan manusia. Ia tetap
berdiam diri tak bergeming.
Kawanan burung terus membentuk formasi
yang ia ciptakan sendiri. Terbang di angkasa raya tanpa penah mengenal lelah.
Ia menikmati hidup yang ia jalani dengan bersahabat dengan takdir. Dan semua
kehidupan inipun akan menjadi indah kala kita bersahabat dengan takdir.
Menerima diri kita apa adanya dan menjalaninya sesuai dengan fikiran kita.
***

14
Tuhan Berikan Keadilan-Mu
T
ubuhku ambruk lemas pada dinding kamarku
yang masih membisu. Ia seakan mengerti dengan keadaan yang kini tengah aku
alami. Kabar berita yang baru saja kusaksikan dari layar TV chanel 2 membuat
seluruh tubuhku kaku tak berdaya. Aku lunglai dengan nafas yang sesak di dada
seakan tak percaya dengan yang aku dengar dan saksikan.
Kecelakaan pesawat Lion Air dua hari
yang lalu, tak satupun penumpang dari pesawat tersebut selamat. Semua jasad
penumpang telah dievakuasi dan dua penumpang pesawat tujuan kepulauan Riau
terakhir ditemukan dalam pencarian evakuasi yang dilakukan oleh TIMSAR
gabungan. Jasad tersebut bernama Irsan Ahmad dan Hafizh Isbullah. Demikian
sekilas info dan nantikan kabar terkini satu jam mendatang.
” Demikian
berita mengabarkan dari TV Chanel 2.
“Ini tak mungkin terjadi. Ini tidak
mungkin terjadi.” Ucapku dengan nafas sesak di dada.
“Irsan…Irsan, kenapa kau meninggalkanku
sendiri. Kenapa San. Kenapa kau meninggalkanku sendiri sementara diriku tengah
hamil. Aku telah mengandung darah dagingmu San. Aku harus bagaimana San.” Ibaku
atas nasib diriku yang telah ditinggal oleh Irsan yang sedang mengandung
anaknya. Atas apa yang telah kami lakukan beberapa bulan yang lalu. Aku merasa
ketakutan atas apa yang akan menimpah diriku setelah kepergian dirinya.
“Bagaimana nasib anak yang tengah aku
kadung ini? Siapakah yang akan bertanggung jawab? Sementara Irsan telah pergi
meninggalku untuk selamanya. Bagaimana aku harus menghadapi cemohan dan
gunjingan dari masyarakat serta teman-teman kampusku? Apalagi dengan ibu.
Bagaimana kecewanya ibuku saat ia tahu bahwa aku hamil di luar nikah?” serbuan
pertanyaan demi pertanyaan terus menghantuiku dan membuatku semakin tak
berdaya.
“Tuhan, mengapa Engkau begitu kejam
padaku? Tuhan, mengapa Engkau selalu membuatku menderita? Apa salahku Tuhan? Di
mana keadilan-Mu? Di mana kasih sayang-Mu yang selalu dikoar-koarkan oleh da’i
dan da’iyah itu di atas mimbar? Di mana Tuhan? Kalau memang Kau menyayangi
hamba-hamba-Mu, kenapa kau perlakukan diriku seperti ini? Tuhan berikan
keadilan-Mu?” aku terus mengugat Tuhan atas apa yang berlaku pada diriku. Aku
meminta keadilan yang Dia janjikan pada hamba-Nya dan hari ini aku ingin
menagihnya.
“Apakah sebab aku seorang pelacur
sehingga Engkau memperlakukanku seperti ini Tuhan? Siapakah yang pantas
dikatakan pelacur Tuhan? Aku yang menjajahkan tubuhku untuk mendapatkan
lembaran rupiah sebab kondisi yang menuntunku seperti ini, atau
perempuan-perempuan di luar sana yang menjajahkan tubuh pada laki-laki hanya
untuk kepuasan nafsu? Siapa Tuhan? Siapakah yang pantas disebut sebagai
pelacur? Aku atau perempuan seperti mereka? Katakan padaku Tuhan. Katakan.” Aku
semakin mengugatnya tanpa ampun. Kukeluarkan semua perasaan yang mengganjal
pada diriku dan kelemparkan semua pada Tuhan yang telah meninggalkanku selama
ini.
“Tunjukkan keadilan yang Kau janjikan
padaku yang kau Kalamkan  diatas lembaran
suci bernama Al-Qur’an. Tunjukkan padaku saat ini juga. Tak pernah sedikitpun
kau berikan keadilan-Mu padaku Tuhan. Kau telah mengambil semuanya dan
membiarkanku sendiri dalam kehampaan hidup yang tak bertepi.”
Aku berderai air mata mengingat kembali
berita tersebut. Fikiranku terputar tak sama sekali mengerti dan percaya bahwa
laki-laki yang telah aku saayang dan cintai semua telah pergi. Irsan laki-laki
yang sayang sebagai kakak telah meninggalkanku dalam kecelakaan pesawat
tersebut bersamaan dengan laki-laki yang kubukakan cinta pada hatiku yang
selama ini sangat kurindukan dan kukumpulkan keberanian untuk mengutarakan
padanya. Isbullah. Laki-laki yang aku cinta. Hatiku remuk  dan berantakan tanpa arah. Dunia seakan tak
lagi di tempatnya. Ia tidak berporos pada porosannya sementara matahari tak
lagi melintas pada lintasannya semua telah menjauh dan pergi dariku. Semua
pergi meninggalkanku sendiri. Dalam kehampaan yang tak bertepi. Aku tak mampu
mengendalikan diri dan emosiku sehingga aku tak menyandarkan tubuhku pada
dinding berwarna putih tanpa noda dengan posisi tersungkur. Tuburku tersungkur
di lantai bak bangkai tak bernilai.
Aku mencari chanel TV yang menyiarkan
lokasi kecelakaan tersebut dan kulihat dari balik layar TV  banyak orang berdatangan menuju tempat
jatuhnya pesawat Lion Air. Hiruk pikuk kesedihan tergambar jelas dari wajah-wajah
orang yang terus berdatangan dan semakin memadatinya. Semua jasad korban
kecelakaan pesawat tersebut yang telah dievakuasi hari ini juga akan dikirim ke
rumah keluarga korban. Ada banyak relawan yang ikut serta dan deraian air mata
tak berhenti mengalir membasahi pipi mereka yang ditinggalkan.
Air mataku terus menitik seperti ada mata
air yang tertanam padanya. Aku mengugat Tuhan atas apa yang Dia lakukan padaku.
Dia telah mengambil semua yang kumiliki dan membiarkanku dalam keadaan sendiri
yang terus tertatah-tatah dalam labirinku. Kepalaku pusing dan tak memikirkan
semua yang berlaku atas diriku. Aku kehilangan dua laki-laki sekaligus yang
sangat aku sayang dan cintai. Dan kini aku harus mengandung bayi tanpa ayah.
Aku hamil dan kehamilanku ini semakin hari semakin membesar. Kulihat tak
satupun yang sedia menyekak air mataku bahkan dinding kamarku hanya membisu. Ia
bungkam tanpa mengerti perasaanku.
***
Kulalui hidupku dengan kerapuhan mendalam
berselimut kesedihan yang tak pernah ada habisnya. Aku selalu futur menatap
masa depan yang berkabut hitam kelam. Namun, pastinya aku tak pernah melakukan
rencanaku untuk menggugurkan kandunganku ini. Aku selalu membesarkan hatiku
namun semua sia-sia saja. Kesadaranku tak lagi berfungsi. Semua tampak hitam
kelam di hadapku dan tak ada setitik cahaya kecil yang menuntunku. Aku
benar-benar futur.
Bulan terus berganti. Begitupun cemohan
dan gunjingan dari masyarakat atas diriku silih berganti memborbardir diriku
yang telah rapuh atas kandunganku yang semakin hari membuat perutku semakin
membuncit besar. Aku tinggal menunggu hari atas kelahirannya. Kelahiran yang
tak pernah kuikhlaskan dan tak pernah kurelakan. Hujaman sinis dari masyarakat
dan teman-teman kampusku telah menusukkan belati yang sangat tajam pada hidupku
yang selama ini tergopo-gopo dalam pencarian setitik cahaya terang yang tak
pernah aku temukan. Semua mengjauhiku hingga langkahku tak pernah bisa mengejar
dan menggapainya. Semua menjadi ukiran sejarah paling menyedihkan bagiku. Dan
aku tak punya lagi keberanian untuk menyampaikan keadaanku yang telah menjadi
manusia tak bermakna pada ibuku. Keberaniaku telah hancur terlantahkan oleh
keadaan. Keadaan yang tak berpihak padaku dan menenggelamkanku pada jurang
kesedihan dan kerapuhan berkepanjangan.
Hari kelahiran yang tak pernah kuinginkan
telah menjamahku. Dengan bantuan dari seorang nenek yang memang berprofesi
sebagai dukun beranak membantuk mengeluarkan manusia baru yang membuatku
menjadi manusia tak berdaya. Aku terus berusaha mengeluarkannya dari tubuhku.
Menguras semua tenaga yang kukumpulkan.
“Dorong nak. Dorong nak.” Aku hanya
mendengar nenek dukun beranak tersebut mengatakan itu padaku yang telah
kehilangan kekuatan untuk mengeluarkan bayi dalam tubuhku.
“Hembuskan lebih kuat lagi. Sebentar
lagi. Dorong lebih keras lagi.” Ucapnya berkali-kali. Aku kelelahan dan hampir
pingsang tak sadarkan diri. Sejam aku berusaa dan berjuang mengeluarkan bayi
tersebut dan akhirnya aku melahirkannya tanpa ada sanak keluarga disampingku.
Apalagi ayah dari anakku itu. Aku menagisi keadaan diriku yang malang ini.
Dengan langkah yang lihai dan cepat nenek
dukun beranak tersebut memotong tali pusat anakku dan membersihkan tubuhnya.
Setelah itu menyelimutinya dengan sarun kecil yang memang telah ia siapkan
untuk kelahiran tersebut. Aku melirik anakku yang masih merah. Ia perempuan.
Anakku perempuan.
“Anakmu perempuan nak.” Ucap nenek
tersebut sambil meletakkan anakku tepat di sampingku.nenek tersebut kembali
membuatkan diriku segelas minuman penambah stamina untuk diriku yang baru saja
kehilangan kekuatan saat melahirkannya.
“Diminum nak, sebagai penambah stamina
untuk dirimu.” Ia menyodorkan gelas tersebut dan meminumnya. Kembali kulirik
bayiku yang tertidur berselimutkan sarung yang berada di sampingku. Aku
menangis. Menangis dalam keharuan dan menangis dalam ksedihan. Menangis dalam
keharuan melihat bayi yang tak berdosa ini telah hadir dalam hidupku. Ia lucu
sekali. Dan aku menangis dalam kesedihan sebab bayiku lahir tanpa ayah. Ia tak
punya ayah yang akan dijadikannya sandaran. Akupun melahirkan tanpa ada suami.
Aku punya anak namun tak bersuami.
***
Aku meninggalkan rumah nenek dukun
beranak sambil menggendong bayi yang baru saja kulahirkan. Aku tak tahu harus
kemana. Aku bingung dengan keadaanku dan tak pernah berhenti menangisi
keadaanku saat ini. Aku tak mungkin membesarkannya tanpa ayah. Aku tak mungkin
membesarkan bayiku tanpa ada seorang suami di sampingku. Aku benar-benar futur.
Dan terus melangkahkan kakiku tanpa arah dengan tujuan tak pasti.
Sudah sejam aku berjalan tertatah-tatah
tanpa tujuan yang jelas. Aku berjalan sambi mengendong bayi merah yang baru
saja menjadi penduduk bumi. Sekali-kali aku meliriknya dan merasa kasihan
dengannya. Melebihi rasa kasihannya aku pada diriku sendiri.
Aku melewati sebuah yayasan panti asuhan.
Aku menghentikan langkahku dan berheti tepat di depannya. PANTI ASUHAN KASIH
SAYANG. Begitulah yang tertera pada papan nama tersebut dengan besar.
“Aku lebih baik menitipkanmu di tempat
ini. Ini akan jauh lebih baik bagimu nak, daripada harus bersama dengan ibu.”
Ujarku pada anakku yang belum mengerti dengan ucapan diriku. Tanpa berfikri
panjang aku meletakkan anakku tepat di pintu gerbang masuk panti asuhan
tersebut. Dengan menyisipkan beberapa lembar uang seratus sisa dari pembayaran
biaya persalinanku pada nenek dukun beranak tersebut dan menyisipkan pula
selembar kertas bertuliskan nama yang akan kuberikan pada anakku dan menuliskan
beberapa kalimat untukknya.
Kelak
aku akan melihat dan menjemptmu kembali nak. Saat waktu itu tiba. Saat Tuhan
telah memberikan keadilan-Nya pada ibu yang telah lama Dia lupakan dan
tinggalkan. Ibu akan menjemputmu suatu saat nanti dan ibu minta jangan kau
mebenci ku, sebab kondisi ibu yang mengharuskan kau dan ibu terpisah.
Berjanjilah untuk tidak membenci ibu nak. Biarkan ibu memberimu namu AINUN
SALSABILAH. Ibumu yang harus menitipkanmu pada panti ini.”
Aku menuliskan
beberapa baris kalimat pada anakku sebab aku tidak bisa membohongi perasaanku
bahwa aku sedih menitipkannya di panti Asuhan ini dan tak mendapatkan kasih
sayang seorang ibu layaknya anak-anak yang lain. Mungkin inilah yang disebut
dengan naluri kasih sayang seorang ibu pada anaknya.
Aku mengjauh dari bayiku yang telah
meletakkannya di depan gerbang masuk panti dan mengawasinya dari jarak jauh.
Aku tidak ingin meninggalkannya sebelum mengetahui nasib bayiku. Aku berharap
sebentar lagi pengurus panti asuhan keluar dan melihat bayiku.
“Semoga pengurus panti melihatmu nak.”
Harapku dengan harapan hati yang mendalam.
“Ya Tuhan, jika kau tak ingin menjabahku
tidak mengapa bagiku, tapi untuk kali ini saja aku ingin berharap pada-Mu,
memohon pada-Mu, lindungi bayiku dan ketuklah hati pengurus panti untuk segera
keluar dan mengambil bayiku.” Pintaku pada Tuhan.
Untuk beberapa lama aku mengawasi bayiku
dari jarak jauh dan selama itupun aku terus berharap. Harapanku terkabulkan
saat kulihat dan kudengar seorang berteriak dengan kerasnya mengalung ke panti
asuhan.
“Bayi, ada bayi di depan pintu gerbang.”
Tak lama kemudian pengurus panti keluar melihat bayiku bersamaan dengan beberapa
anak yatim piatu yang menjadi tanggungan panti asuhan tersebut. Seorang ibu
dengan badan besar gemuk kulihat mengambil bayiku yang tergeletak. Ia
menciuminya dan melirik kanan-kiri di sekitar panti asuhan dan segera
membawanya masuk ke dalam. Aku merasa legah mengetahui kondisi bayiku dan air
mataku tak terbendung. Aku meninggalkan panti asuhan dan berlalu jauh dari
tempat itu dengan harapan kelak bisa melihat bayiku tumbuh besar.
“Semoga kau bahagia di sana nak, dengan
keluarga yang akan memberikanmu kasih sayang. Ibu janji kelak jika datang
menjemputmu, ibu akan menganti semua kasih sayang yang tak kau dapatkan dari
ibu.” Ujarku dengan kilauan mutiara bening yang berasal dari mataku.
***

 

BERSAMBUNG …


Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top