Islam Nusantara

Eksperimen Konyol dan Seni Sebagai Pelentur Jiwa


Eksperimen Konyol dan Seni Sebagai Pelentur Jiwa
Oleh: Rijal Mumazziq Z

Mungkin, kalau tidak diajari hal ihwal kesenian yang bisa menjadi
hiburan dan pelepas penat, orang pesantren itu gampang ngamukan. Main
pentung segala arah. Betapa tidak, rutinitas belajar ini itu sejak pagi
hingga malam. Terus demikian. Fisik dan pikiran digenjot. Anehnya, sudah
demikian berat kok ya masih banyak yang berminat memondokkan dirinya,
anaknya, keluarganya. [Aneh dan tetap alhamdulillah].
Saya
berasumsi perlunya seni sebagai pelentur jiwa ini setelah melakukan
eksperimen secara konyol: menyuplai otak dengan buku-buku panas: debat
ini-itu, kritik terhadap anu, sanggahan kepada A, membongkar kedok B,
dan buku eyel-eyelan “syar’i”.
Hasil eksperimennya bagaimana,
cak? Saya merasa perlu mengunyah pujer tjap bintang toedjoe jang
terpertjaja sekalian bungkusnya karena kemumetan dan hawa panas yang
membuat saya menggelinjang (halah!) ini.
Jujur, usai mengunyah
buku-buku tawuran itu saya terbetot menyikapi segala sesuatu terlampau
serius. Ego sektarian semakin menggebu dan mentalitas sebagai “yang
paling benar” sangat kuat. Melihat yang berbeda rasanya pengen
bertengkar melulu. Dan, fatalnya, perlahan-lahan selera humor menurun.
Bagi saya ini musibah. Sebab, saya selalu berdoa agar Allah tidak
mencabut dua hal dari saya: Iman dan selera humor. Kalau selera humor
hilang, bisa-bisa saya keimanan saya stagnan dan beragama dengan garang.
Tidak, saya tidak mau menjadi zombie. Dan, agar tidak kebablasan
menjadi bigot, saya memutuskan menghentikan eksperimen konyol ini.

Dari titik ini saya husnudzzon, para ulama pesantren menempatkan
kurikulum kitab-kitab akhlak dan suluk tasawuf, antara lain untuk
menetralisir panasnya hawa perdebatan di bidang fiqh dan teologi yang
kitab-kitabnya dikaji di pesantren. Jika tidak ada penetralisir,
mungkin, para santri bakal ngamukan karena bakal membaca realitas dari
sudut padang hitam putih dan saklek. Kalau cara pandangnya sudah begini,
maka lambat laun seseorang akan terjerembab pada cara pandang seorang
hakim, ke sana kemari hanya untuk menyalahkan dan memvonis.

Selain penetralisir berupa kurikulum tasawuf, para ulama memberikan
sentuhan seni dalam beberapa kegiatan santri. Saya menduga, kesenian
adalah alat mujarab melenturkan ego dan melembutkan jiwa. Kalau sudah
kehilangan jiwa seni, seseorang akan tampil sebagai predator. Lihat masa
muda Hitler. Lukisannya bagus, lembut, dengan mayoritas pemandangan
alam. Menyejukkan, menentramkan. Tapi ketika dia menjadi serdadu pada
Perang Dunia I, jiwa seninya padam, yang kemudian tumbuh malah watak
agresor, yang puluhan tahun kemudian dia tampilkan melalui fasisme yang
mengerikan.
Karena itu, untuk menjaga jiwa kemanusiaannya,
kesenian diajarkan di pesantren; melalui syiiran yang dilagukan,
nadzaman yang dinadakan melalui bahar tertentu, mengiramakan madah puja
puji bagi baginda Rasulullah, seni beladiri, hingga seni hadrah dan
tabuh terbang-rebana, antara lain untuk melenturkan ego, melembutkan
jiwa, dan melatih agar rasa tidak “kering”. Keterkaitan pondok
pesantren dengan kesenian ini saya kira memiliki akar yang kuat secara
historis. Sebab, Walisongo dan generasi penyebar Islam di Nusantara
lebih banyak menggunakan instrumen kesenian sebagai alat bantu dakwah.

Saya juga melihat, beberapa orang yang mencintai kesenian dalam
menyampaikan aspirasi dan gagasannya juga lebih nyantai, nguwongne wong
dan jauh dari kesan menggurui. Karena itu kalau ada orang yang
menganggap dirinya pendakwah tapi dakwahnya serem dan isi ceramahnya
cuma menghakimi A, B, C, hingga obral laknat, silahkan dicek (termasuk
cek darah tingginya wkwkwkw), biasanya dia alergi hal-hal yang beraroma
seni, kecuali air seninya sendiri.
Ini sama persis dengan soal
tulis menulis. Mereka yang berangkatnya dari penikmat sastra dan budaya,
tulisan-tulisannya mengalir, enak dibaca (dan perlu). Gus Mus, Gus Dur,
Zawawi Imron, Cak Nun, dst, adalah beberapa nama yang kolom-kolomnya
enak dinikmati. Ini berbeda dengan beberapa penulis yang berangkat dari
bidang eksak, misalnya, yang seringkali terjebak pada teori dan
statistik. Meski nggak semuanya begini. Ini pendapat saya, lho. Silahkan
kalau nggak sepakat.
Sekali lagi, jangan terlampau serius baca
buku-buku soal debat A, B, C., agar tidak darah tingginya tidak naik.
Perlu dinetralisir dengan buku lain yang lebih gurih tapi bergizi. Soal
tazkiyatun nafs, misalnya. Lebih oke lagi, baca komik agar ego
kanak-kanak kita yang ngambekan dan ngamukan bisa teratasi! Qiqiqiqqi.

Kalau masih ngotot, perlu terapi humor. Sebab, saya percaya, kejenakaan
adalah salah satu penetralisir keruwetan pikiran. Syukur-syukur kalau
kejenakaan diarahkan untuk menertawakan diri sendiri agar terhindar dari
memberhalakan diri sendiri. Salah satu cara menghindari hal ini adalah
dengan jalan menertawakan diri sendiri.
Dan, sadarkah anda wahai
sahabat Jarjit Singh yang berbahagia, menertawakan diri sendiri hanya
bisa dilakukan oleh orang yang sadar kualitas diri, tahu kemampuan diri,
dan tidak terlampau tinggi menilai diri sendiri. Sebab, mereka yang
terlampau tinggi menilai kualitas dirinya biasanya tidak tahu diri.
Jelas kan, sayang?
Wallahu A’lam Bisshawab
Dimuat di:

Mungkin,
kalau tidak diajari hal ihwal kesenian yang bisa menjadi hiburan dan
pelepas penat, orang pesantren itu gampang ngamukan. Main pentung segala
arah

ditulis oleh Rijal Mumazziq Z

Posted by Penerbit imtiyaz,http://imtiyaz-publisher.blogspot.com/

Penerbit Buku Buku Islam.
Oleh: Rijal Mumazziq Z

(Ketua Lembaga Ta’lif wa Nasyr PCNU Kota Surabaya)







Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top