Istana Garuda IKN Nusantara, 2024* |
Dunia arsitektur indonesia tidak terlalu sering mengalami ‘riak-riak’ seperti ini. Terakhir, situasi yang menarik perhatian publik seperti ini, adalah tuduhan bentuk masjid Al Safar Ridwan Kamil yang merujuk simbol iluminati. Selalu ada persinggungan arsitektur dengan kehidupan masyarakat. Dalam riak burung garuda kali ini pun, kritik, diskusi dan debat tentang arsitektur menyeruak kembali. Kali ini perihal istana kepresidenan di IKN yang berbentuk burung garuda. Tapi pertanyaannya, diskusi atau kritik apa yang sebisanya muncul dalam peristiwa ini? Apakah kritik ini hanya tertuju pada poin-poin yang dikemukakan lima asosiasi keprofesian, tentang masalah bangunan yang tidak ramah lingkungan, simbol arsitektur yang berkemajuan?
Mendesain dari dalam ke luar atau dari luar ke dalam?
Perbedaan antara seni arsitektur dengan seni murni terletak pada ruang. Ruang adalah ‘ruh’ sebuah karya arsitektur. Tanpa ruang sebuah karya sulit disebut arsitektur. Maka tidak heran jika arsitek disebut pula seniman ruang. Karena esensi arsitektur adalah ruang maka proses perwujudan arsitektur dimulai dari dalam ke luar. Dengan demikian wujud rupa arsitektur adalah representasi dari ruang-ruang di dalamnya. Hubungan antara ruang dan bentuk ini oleh Luis Sullivan dirumuskan dalam idiomnya yang terkenal, yaitu ‘bentuk mengikuti fungsi’ (form follows function).
Ruang terkait dengan fungsi bangunan, baik sebagai kantor, sekolah atau rumah tinggal. Sehingga ruang menampung di dalamnya aktifitas, besaran ruang, hubungan antar ruang, maupun hirarki ruang, yang proses penyusunannya disebut sebagai programing. Denah sebagai hasil akhir programing adalah suatu susunan yang menunjukkan hubungan yang logis antar ruang. Sementara bentuk adalah citra dari sebuah fungsi bangunan sehingga bangunan memiliki makna tidak sekedar fungsi. Bentuk mungkin tidak selogis ruang tapi ia bergerak melalui kerangka ruang yang ada. Alih-alih mengikuti pendapat bentuk mengikuti fungsi Luis Sullivan, Frank Lloyd Wright arsitek Amerika lainnya berpendapat bahwa ‘bentuk dan ruang adalah kesatuan’ (form and function are one).
Kita tidak menafikan bahwa ada pula perancang yang memulai rancangannya dari bentuk luar. Simbol dianggap lebih utama atau sakral sementara konfigurasi ruang yang merupakan hubungan logis dapat menyesuaikan dari dalam sebagai konsekuensi dari bentuk luar. Dilihat dari konsep bentuknya, rancangan gedung istana presiden IKN yang diusung Pak Nyoman tentunya secara jelas dimulai dari bentuk luar, yakni menangkap terlebih dahulu gagasan filosofis pengikatnya. Dengan mendahulukan bentuk luar, maka konstruksi struktur diprioritaskan untuk menopang wujud bentuk burung garuda ketimbang konstruksi yang menyesuaikan dengan titik-titik pembentuk ruang dalamnya. Sebagai dampaknya akan terjadi dimana ruang dalam berbenturan dengan struktur yang menyokong bentuk luar. Interupsi struktur di tengah ruang bisa saja muncul sehingga mengganggu pandangan atau penggunaan ruang itu sendiri, misal ruangan menjadi sempit dan tidak leluasa (?)
Dengan demikian berbeda dengan kedua idiom yang berlaku dalam arsitektur seperti disebutkan sebelumnya. Desain istana kepresidenan IKN dapat dijelaskan lewat idiom yang berkebalikan, yakni ‘fungsi mengikuti bentuk’ (function follows form). Di sini bentuk dan fungsi pun menjadi bukan satu kesatuan (function and form are not one) karena fungsi sebuah istana kepresidenan memang tidak ada hubungannya dengan bentuk burung. Istana burung garuda dalam hal fungsi dan bentuk merupakan hubungan arbitrer/manasuka yang tercipta dari gagasan desainernya.
Apakah ‘kontroversi’ istana burung garuda sekedar masalah selera saja?
Sangat mudah untuk mengatakan jika ketidaksukaan pada konsep istana burung garuda adalah soal selera, khususnya dari sudut pandang arsitek. Orang boleh suka atau tidak suka dengan konsep burung garuda karena selera. Tapi bagaimanakah argumen yang mendasarinya sehingga ketidaksukaan itu tidak semata perihal yang subyektif, tapi juga berbobot obyektif secara sikap dan pandangan atas nama kepedulian pada kemajuan peradaban dan arsitektur itu sendiri. Berikut ini beberapa argumen yang kiranya dapat menjelaskan secara obyektif terhadap pandangan subyektif para arsitek tersebut.
Secara nature arsitek dididik menciptakan bangunan dari sebuah gagasan yang diolah sedemikian rupa. Ia mencari esensi yang terinspirasi dari alam, lalu diolah kembali melalui proses kreatif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan fungsi yang akan diciptakannya. Metode ini disebut metafor dan digunakan secara luas oleh arsitek baik secara sadar maupun tidak. Sebagai contoh: bandara John F. Kennedy oleh arsitek Eero Sarinen di New York yang bentuk atap cangkangnya merupakan metafora kepakan sayap burung. Seniman (pelukis, scluptor) sekaligus arsitek otodidak seperti Le Corbusier pun tidak mentah-mentah mengadopsi bentuk makhluk hidup menjadi bangunan. Chapel De Rochamp di Perancis konon kata LC sendiri terinspirasi dari cangkang kepiting yang dijumpainya di tepi pantai.
Bentuk tampilan meliuk-liuk Disney Concert Hall karya Frank Gehry di antara menara beton ‘faceless’ Los Angeles adalah hasil renungan kritis si arsitek dalam mendudukkan karyanya sebagai anti tesis lingkungan sekitar. Diakui Gehry, DCH dimulai dari programatik ruang interior orkestra yang ketat lalu berkembang ke bentuk luar menyerupai bunga yang mekar. Demikian pula di dalam negeri, Frederick Silaban dalam konsep ‘Ketuhanan’ yang mewujud dalam garis vertikal sebuah minaret pada sayembara Masjid Istiqlal adalah contoh bagaimana arsitek meramu konsep transendental yang abstrak ke dalam wujud material.
Dengan latar belakang demikian, tidak heran jika dari kaca mata arsitek bangunan dengan bentuk burung garuda terkesan naif atau ‘tidak dalam’ karena semata mengambil potongan burung garuda yang hampir utuh itu menjadi bentuk bangunan tanpa proses pengolahan unsur-unsur yang esensial. Secara kontradiktif bentuk ini memiliki dampak membatasi imajinasi orang pada intepretasi tunggal: burung garuda simbol negara -sebagaimana yang sudah diketahui banyak orang- dan titik. Pembatasan imajinasi ini disengaja atau tidak justru berlawanan dengan konsep kebhinekaan yang diusung oleh desainernya itu sendiri. Dalam hal ini kebhinekaan sebagai suatu keragaman dalam mengintepretasi karya sesuai imajinasi masing-masing orang yang melihatnya.
Komentar lain mengatakan bangunan berbentuk burung garuda tidak melambangkan Indonesia yang berkemajuan, malah justru mundur ke belakang. Pandangan demikian boleh jadi disebabkan bentuk burung garuda yang lebih dekat ke cerita-cerita masa lalu atau mitologi. Lebih dekat pada bagaimana orang-orang jaman dahulu membangun candi yang fokus pada detail bagian luar daripada bagian dalam. Tentu ini dikarenakan konteks jaman dulu yang berbeda dari sisi keyakinan maupun metode merancang dibandingkan dengan saat ini. Sehingga ide menggunakan burung garuda sebagai representasi arsitektural yang sejatinya berhadapan dengan konteks masa depan malah cenderung kembali ke masa lalu.
Sebagaimana perkembangan seni lukis yang bergerak dari representasi sebagaimana alam yang asli kepada interpretasi alam yang abstrak, boleh dikatakan pengolahan unsur-unsur yang esensial sangat penting karena menunjukkan kemajuan dalam berpikir arsitektur.
Tim arsitek dan seniman
Perbedaan antara seni dan arsitektur telah disebutkan sebelumnya. Begitu juga hubungan antara bentuk dan ruang yang relatif antara satu arsitek dengan arsitek lainnya. Desain sebuah istana negara yang membutuhkan spesifikasi khusus keamanan untuk orang nomor satu di suatu negara tentulah dimulai dari programatik arsitektural yang ketat ketimbang intuisi seni yang tinggi. Di sini kita harus mendudukkan masalah pada tempatnya dulu, agar form follows function menjadi satu kesatuan. Tapi bagaimana pun arsitek dan seniman dapat selalu bekerjasama. Dalam membuat suatu karya arsitektur keterlibatan seniman adalah sebagai partner dimana arsitek sebagai leader dan desainer utamanya.
Skema kerjasama antara arsitek dan seniman seperti ini sudah tidak asing. Misalnya, kerjasama arsitek Steven Holl dengan -arsitek/artis- Lebbeus Wood, dimana Wood memberikan sentuhan karya yg disebut Light Pavilion pada salah satu cerukan tower apartemen yang didesain Holl. Yang menarik pula inspirasi bentuk masa blok-blok apartemen dengan konsep linked hybrid ini diperoleh Steven Holl dari sebuah karya seni lukisan kuno dari China. Sehingga bagaimanapun modern bentuknya apartemen ini masih memiliki akar tradisi tanpa harus seperti bangunan tradisional China (baca: kembali ke masa lalu). Ark Nova, karya Arata Isozaki dan Anish Kapoor. Bangunan konser hall yang berbentuk balon yang diisi angin. Duet arsitek dan seniman ini juga sering menghasilkan karya-karya yang unik dan inovatif. Demikian pula Frank Gehry yang selalu didampingi seorang asisten seniman dalam memproses gagasan bentuk arsitektural, hasilnya: Museum Gugenheim di Bilbao.
Sekali lagi kerjasama antar arsitek dan seniman dapat menjadi produktif dan menjanjikan sebuah kebaruan, utamanya untuk bangsa kita. Sumber inspirasi yang mendasari sebuah karya tidak diadopsi secara ‘vulgar’ atau terang-terangan, tapi mengalami penyesuaian fungsi bangunan sehingga berkembang menjadi karya yang -dalam idiom Steve Jobs- selalu dalam ‘persimpangan antara teknologi dan seni.’
Dalam Urgensi Identitas Arsitektur
Munculnya burung garuda untuk sebuah desain istana negara di abad 21, menurut saya adalah siklus balik akibat kekosongan identitas arsitektur Indonesia saat ini.
Pernyataan Pak Nyoman Nuarta mungkin benar bahwa tidak adil hanya menggunakan salah satu arsitektur lokal untuk merepresentasikan desain istana negara yang baru. Pilihan seperti ini menjadi sulit karena hingga saat ini belum ada wujud arsitektur yang secara ‘netral’ mewakili keragaman budaya Indonesia. Arsitektur yang bisa diterima umum sebagai jati diri bangsa Indonesia. Di tengah arus modernitas, tren mode sesaat dan kapitalistis yang secara bertubi-tubi mengikis tradisi yang menyebabkan kekosongan pada jati diri arsitektur. Kekosongan ini yang oleh Pak Nyoman dilakukan dengan memilih ‘jalur potong’ kesepakatan ideologi politik yang sudah atas permasalahan identitas budaya dan jati diri arsitektur Indonesia yang masih belum ada jawabannya. Tapi saya tidak akan mencari-cari sisi ketidak-validan konsep yang beliau anggap sebagai solusi netral ini. Karena tulisan ini bertujuan bukan untuk menuntut perubahan dari konsep burung garuda istana negara.
Setelah sekian lama akhirnya kita kembali ke titik awal pada perbincangan apa jati diri arsitektur Indonesia seperti yang telah dibukukan dalam tulisan Prof. Eko Budihardjo berjudul ‘Menuju Arsitektur Indonesia’ 30 tahun lalu. Dalam salah satu tulisan di buku itu, Silaban mengatakan bahwa arsitektur Indonesia itu adalah arsitektur tropis, dengan atap lebar yang menghasilkan bayangan. Semua itu tidak memberikan rumusan kepastian sebagaimana lima butir gamblang arsitektur modern yang dicanangkan Le Corbusier 1 abad silam, di dalamnya antara lain; tiang pilotis, denah bebas, fasad plastis, jendela menerus, dan atap taman. Kelima poin tersebut saat ini sudah fasih diaplikasikan dari arsitek berkelas hingga para pembangun ruko. Sementara Arsitektur Indonesia hingga sekarang lebih santer disebut arsitektur nusantara, baru sampai pada menghasilkan postulat-postulat atau spekulasi-spekulasi melalui eksperimen yang masih berlangsung.
Saya kira tidak perlu pendekatan arsitektural yang ekstrim, yaitu meniadakan sama sekali unsur arsitektur lokal atau memasukkan semua unsur arsitektur lokal ke dalam satu bangunan. Meskipun tidak mungkin memasukkan semua keragaman unsur arsitektur tradisional tapi jangan pula ditinggalkan semuanya. Artinya ada-lah sedikit nilai yang menunjukkan karakter indonesia. Dan yang lebih dekat dan ada di situ adalah arsitektur lokal Kalimantan sendiri.
Misalnya arsitektur Sendang Sono di Kulon Progo karya Romo Mangun. Bangunan maupun lingkungan terbangun di kawasan sendang sono ini adalah kawasan religi yang arsitekturnya tidak ingin menjadi seperti Vatikan Roma. Namun di sisi lain arsitektur Sendang Sono tidak pula menjadi Jawa seratus persen pada siluetnya. Seolah sang arsitek pun memahami bahwa yang akan datang ke tempat ini pertama bukan orang Eropa, kedua orang Indonesia yang semuanya belum tentu bersuku Jawa atau memiliki aliran kepercayaan yang sama.
Lihatlah tumpuan balok penopang atap kerucut berbentuk prisma kapel Rasul yang tumpang tindih dan saling berputar berlawanan arah. Kalau mau si arsitek dapat menggunakan struktur tumpang sari karena lokasinya memang menyahihkan untuk melakukan itu. Kemudian kita lihat lagi pendopo-pendopo beratap curam menyerupai lumbung dengan bagian atap yang terbuka seperti sayap yang sekiranya tidak ada dalam tipologi bangunan tradisional joglo. Semua itu memberi pelajaran dimana tradisi seolah tersamarkan dengan pemberian makna baru menjadi semata arsitektur lokal saja. Arsitektur Romo Mangun memberikan rasa asing sekaligus familier.
Kembali ke Frank Lloyd Wright, salah seorang arsitek yang mendedikasikan kariernya dalam menciptakan bahasa arsitektur setempatnya untuk melawan balik arsitektur bergaya Victoria atau dan gaya Spanyol yang sudah menjadi tradisi turun-temurun dari Eropa ke wilayah Amerika Utara. Bangunan yang beliau sebut sebagai Usonian adalah produk budaya arsitektural hasil eksplorasi FLW yang berakar dan menggambarkan jati diri Amerika utara. Desain Usonian beratap datar ketimbang atap runcing yang menyatu dengan lingkungan alam padang rumput yang horisontal. Museum Guggenheim di New York dengan lantai spiral tanpa terikut tipologi Palladian seperti bangunan pemerintahan dan kampus tidak juga seirama dengan kotak kaca arsitektur modern. Ataupun Parthenon yang sudah ditasbihkan oleh para sejahrawan sebagai akar arsitektur barat.
Pertanyaannya apakah jati diri ‘arsitektur Indonesia’ ini muncul secara kumulatif melalui usaha kolaboratif atau dari individu arsitek saja yang belakangan akan disebut signature?
Ditulis: 2022
*Gambar terbaru bukan dokumentasi arsitekemarinsore.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.