Oleh: NANI EFENDI
Pemilu dilaksanakan 14 Februari 2024. Pasca penetapan paslon, gonjang-ganjing politik terus memanas. Terlebih, karena MK membuat putusan kontroversial yang membuat Gibran (anak Jokowi) bisa melenggang jadi cawapres. Para pendukung masing-masing capres pun menjadi saling “serang”, mengunggulkan jagoannya masing-masing, sekaligus juga merendahkan serendah-rendahnya capres lain, sampai sedatar tanah kalau perlu.
Seakan-akan, kalau jagoannya terpilih, kehidupan bisa menjadi sempurna seperti yang mereka khayalkan. Padahal, mereka tak sadar, bahwa capres yang ada itu bukanlah benar-benar pilihan rakyat, tapi pilihan para elite. Mereka hanya “disuruh” memilih saja.
Demokrasi hanya utopia?
Menurut Joseph A. Schumpeter (ahli ekonomi-politik Austria yang menjadi profesor di Harvard University pada 1932), demokrasi yang dipraktikkan dalam kenyataan adalah “demokrasi elitis”. Artinya, kelompok elite-lah yang berperan menentukan pemimpin, bukan rakyat banyak. Dengan kata lain, demokrasi yang selama ini dianggap sebagai kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, pada realitasnya—setidaknya dalam praktik politik nasional saat ini—tidaklah pernah ada. Yang ada dalam praktik: dari elite, oleh elite, dan untuk elite.
Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, ternyata hanyalah utopis. Utopis atau utopia artinya “khayalan”, “imajiner”, atau sesuatu yang tidak pernah terjadi di alam nyata. Ia semacam cita-cita atau konsep ideal saja. (Sama seperti teori “perjanjian masyarakat” atau teori “kontrak sosial”-nya J.J. Rousseau). Jadi, ia hanya suatu pengandaian saja. Karena, pertanyaannya, bagaimana kongkretnya rakyat memerintah?
Jadi, pengorganisasian kekuasaan dalam sistem demokrasi saat ini, ialah dilakukan oleh para elite—terutama oleh mereka yang menguasai ekonomi. Itulah yang diistilahkan “demokrasi elitis”. Artinya, yang berperan dalam memilih dan menentukan pemimpin adalah kelas elite. Rakyat banyak cuma dihadapkan sebagai pemilih saja. Dihadapkan untuk memilih calon-calon yang sudah “dipilihkan” oleh elite terlebih dahulu.
Senada dengan Schumpeter, Jeffrey A. Winters—profesor ilmu politik dari Universitas Northwestern, Amerika Serikat—juga menjelaskan tentang kenyataan praktik demokrasi saat ini. Menurut Winters, yang benar-benar berkuasa menentukan pemimpin politik dalam sistem demokrasi adalah para oligarki (segelintir orang-orang kaya). Para oligark inilah yang “memilihkan” terlebih dahulu orang-orang yang akan dipilih oleh rakyat. Jadi, rakyat bukan murni menjadi penentu atau memilihnya dari awal. Rakyat hanya memilih orang-orang yang sudah dipilihkan terlebih dahulu oleh oligark (istilah Winters) atau oleh elite (istilah Schumpeter).
Jadi, tidak murni berasal dari pengorganisasian rakyat, tapi oleh elite. Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) juga pernah menjelaskan hal yang sama. Kata Cak Nun, “Fakta paling mendasar yaitu: kita tidak pernah memilih pemimpin. Sebaliknya, kita hanya ‘dipaksa’ memilih yang sudah ‘dipilihkan’. Dan tak pernah benar-benar memilih secara mandiri.”
Saya mencontohkan: ibarat kita menginginkan sebuah barang, kita tidak membuatnya sendiri sesuai keinginan kita. Kita hanya “dipaksa” memilih barang-barang yang sudah jadi dan sudah disediakan atau dijual oleh para penjual atau penyedia (baca: elite atau oligark) di pasar. Oleh karena itu, jika hari ini masyarakat selalu mengeluhkan dan tidak puas dengan pemimpin-pemimpin yang sudah dipilih (melalui prosedur demokrasi), ya masuk akal saja. Karena yang memilih dari awalnya sesungguhnya bukan masyarakat. Masyarakat hanya memilih “paket-paket pilihan” yang “sudah jadi”. Masyarakat tidak ikut menentukan dari awal. Masyarakat tidak lebih sebagai “alat” untuk melegitimasi pilihan-pilihan para elite atau para oligarki.
Jadi, pemilihan (pemilu, pilkada, dsb) tidak lebih sebagai sarana atau cara meminta “persetujuan” rakyat saja. “Sejatinya, lembaga pemilihan umum—termasuk pilkada—tidak lebih hanya merupakan suatu strategi untuk menuai legitimasi para elite pengambil keputusan melalui mekanisme partisipasi politik masyarakat.” (Weber, 1947; Schumpeter, 1976).
Schumpeter—sebagaimana saya kutip dari etd.repository.ugm.ac.id—beranggapan bahwa demokrasi, hanyalah sebuah metode politik untuk memilih pemimpin atau singkatnya sebagai kompetisi kepemimpinan. Artinya demokrasi tidak menyentuh tataran esensi yang selama ini dicita-citakan, namun cenderung hal yang sifatnya prosedural saja. Jadi, doktrin demokrasi klasik seperti “kehendak bersama” atau “kebaikan umum” tidaklah pernah ada (lihat: http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/168278)
Absurditas
Filsuf Prancis, Albert Camus, mengatakan, hidup ini absurd. Bahasa sederhananya: hidup ini enggak jelas. Artinya, dalam konteks politik, jangankan karena dipilihkan oleh elite, pemimpin dipilih oleh rakyat secara langsung pun tak ada jaminan kehidupan bisa sempurna seperti yang diimpikan. Bisa jadi yang dipilih langsung itu lebih buruk, dalam praktiknya, dari yang dibayangkan. Sejarah telah banyak mengajarkan tentang itu. Belajarlah dari sejarah.
Tak ada kesempurnaan dalam kehidupan manusia. Itulah bentuk “absurditas”. Oleh karena itu, terutama para pendukung fanatik masing-masing capres, tak perlulah memuja-memuja setinggi langit dan berharap terlalu tinggi terhadap para capres. Bersikaplah rasional dan wajar. Capres itu bukan untuk dipuja-puja, tapi dibongkar secara kritis sisi-sisi baik maupun buruknya dalam kerangka akal sehat. Oleh karena itu, diperlukan komunikasi antar masyarakat dalam ruang-ruang publik. Yang diperlukan dalam demokrasi itu adalah komunikasi bebas dominasi yang landasannya adalah rasionalitas. Kekuasaan itu bukan sekedar dilegitimasi, tapi juga dirasionalisasi.
Hidup ini absurd (tak jelas). Itu yang perlu dipahami. Takutnya, nanti rakyat terlalu kecewa ketika harapan tak sesuai kenyataan. Sekali lagi, saya sampaikan melalui tulisan ini: demokrasi kita, terutama dalam konteks pilpres saat ini, adalah demokrasi elitis. Artinya, para elite-lah yang telah memilihkan apa yang akan dipilih oleh rakyat melalui mekanisme politik yang bernama “pemilu”. Pilihan tak murni berasal dari bawah. Capres sudah dipilih terlebih dahulu dari atas (baca: elite). Rakyat tak lebih sebagai “alat” untuk melegitimasi kekuasaan dan kepentingan kelompok elite saja.
Tapi, meskipun demikian, tak menggunakan hak pilih pun juga bukan sikap yang tepat saat ini—walaupun rakyat punya hak untuk ‘golput’. Karena, dengan mengikuti pemilu dan menggunakan hak pilih, setidaknya, rakyat bisa berperan memilih capres yang sedikit buruknya di antara capres-capres yang ada. Kata Profesor Franz Magnis Suseno (salah seorang ahli filsafat politik di Indonesia), “Pemilu bukan untuk memilih yg terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.” Jadi, dalam kondisi demokrasi seperti sekarang ini—yang sangat elitis dan oligarkis—rakyat setidaknya dapat berperan, melalui pemilu, mencegah agar capres yang buruk tak mendapat kesempatan untuk berkuasa.
NANI EFENDI, Alumnus HMI, Pemikir, Penulis, dan Kritikus Sosial
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.