Fatahillah
Jika Al-Waraqat adalah manusia.
Maka buku ini ibarat baju baru yang diberikan oleh penulis. Baik agar terlihat
lebih indah, atau karena ada satu dua hal yang harus ditutupi.
Atau jika ia sebuah Rumah. Maka
buku ini layaknya interior baru untuk merenovasi dan membenahi kerusakan yang
terjadi. Tentunya tanpa membunuh “si Waraqat” itu atau menghancurkan pondasi rumah
yang telah kokoh.
Inilah yang dilakukan Prof. Muhammad
Salim Abu Ashi dalam kitab barunya “Al-Waraqat fii Tsaubiha Al-Jadiid”
(Al-Waraqat dalam Bajunya yang Baru). Buku ini hendak memberikan “warna” baru
atas karya Imam Harmain yang sudah ditulis ratusan tahun lalu.
Buku ini dibedah dan diijazahkan di
Ma’had Aly Situbondo pada Kamis (9/2) kemarin. Ia berkata bahwa usaha ini hadir
setelah puluhan tahun mengajarkan Al-Waraqat dan menelaah sejumlah kitab ushul
fikih lainnya. Benihnya sudah kami dengar dalam majlis bersamanya di Kairo.
Pertanyaan yang pasti terlontar
adalah: apa sejatinya “baju baru” yang diberikan penulis kepada “si Waraqat”
ini.
Sebelum menjawabnya, ada satu hal
yang perlu diketahui: Tidak ada salahnya orang hari ini (muashir) melengkapi
apa yang telah ditulis pendahulunya. Selain karena sunnatullah dalam ilmu pengetahuan
yang terus berkembang, keutamaan dan rahmatnya tidaklah terbatas pada satu dua
orang saja. Sebagaimana firman-Nya:
“Apa
saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, tidak ada yang dapat
menahannya. (Demikian pula) apa saja yang ditahan-Nya, tidak ada yang sanggup
untuk melepaskannya. Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana” (Qs.
Fathir: 2)
karenanya tidak perlu menghakimi,
“Siapa Anda bisa memberi catatan kepada ulama sekaliber Imam Al-Haramain?!”
“Baju Baru”
Kembali pada “baju baru” itu. Penulis
sejatinya telah menjelaskan maksud bukunya di pengantar. Pada intinya ia hendak
melengkapi apa-apa yang tersilap dari al-Waraqat.
Namun secara rinci, setelah melakukan
komparasi buku ini dengan Al-Waraqat, juga catatan ngaji bersamanya, saya
mendapati empat poin yang dilakukan Syekh untuk menghiasi karya Imam Al-Haramain
ini.
Pertama, ialah pengklasifikasian
al-Waraqat bab per bab (tabwiib). Lalu merapihkan pembahasannya dibawah
tiap bab itu. Sebab jika diperhatikan Al-Juwaini –dalam bahasa Syekh
Salim—seperti meletakan pembahasan ini secara tersebar. Ada pembahasan yang
sejatinya berdampingan namun olehnya dipisahkan. Di sinilah peran Syekh Salim.
Dan ini selaras dengan salah satu
tujuan menulis (maqashid al-Ta’lif) yang disampaikan Abdullah Diraz,
yaitu menyusun apa yang tercampir (au sya’un mukhtalit yurattibuhu). Tujuannya
tentu untuk memudahkan pelajar pemula dalam penggambaran ushul fikih.
Ada 8 bab dan satu buah pengantar
kitab dan ilmu. Mukaddimah itu sarat akan makna. Ia menjelaskan kedudukan ushul
fikih sebagai metodologi ilmiah yang menjaga seseorang kala menafsirkan teks. Artinya
seseorang tidak bisa menggiring sebuah teks tanpa sebuah pakem dan kaidah,
terlebih dalam perkara pengambilan intisari hukum. Lewat mukaddimah ini Syekh seperti
sedang berbicara dengan problem hari ini.
Ada satu bab yang dibuat kendati
pembahasannya tak dicantumkan Imam Haramain. Hal itu adalah bab Al-Quran (bab kedua).
Agaknya ia hendak melengkapi tema Al-Adillah Al-Muttafaq (Dalil yang
disepakati) yang hendak dibahas Al-Juwaini. Sebab penulis Al-Waraqat –setelah membahas
lafadz dan dalalahnya—langsung menuju pembahasan sunnah tanpa menyinggung
al-Quran.
Inilah langkah pertama Syekh
Salim dalam proses penghiasan al-Waraqat.
Kedua, terkait definisi dan
istilah. Ada definisi yang dicetuskan –dalam arti belum disampaikan lalu
ditambahkan– seperti definisi hukum syar’iy dan wadh’iy. Ada yang dibenahi, seperti
definisi wajib, sunah dll, serta penjelasan ringkas perbedaan ijab, wajib
dan wujub. Juga definisi ‘am dan Naskh yang dibenahinya
dengan alasan milik Al-Haramain agak sulit bagi pemula.
Ketiga, sejumlah kaidah. Di sana
ada sejumlah kaidah yang disisipkan oleh Syekh Salim ditengah-tengah Kalam
Al-Juwaini. Di antaranya pada pembahasan Amr, Nahy, Ijma dan Naskh.
Dari dua poin ini saya menduga –dan
semoga dugaan ini tepat. Murid dari Syekh Al-Buthi ini sepertinya ingin meramu
Syarah atas Al-Waraqat dalam bingkai matan yang ringkas -sekali lagi dalam
bingkai matan yang ringkas. Yang mana matan ini ibarat kumpulan kaidah dan
simpul kuat yang bisa dipegang para pelajar. Sebab inilah tradisi yang
diterapkannya, yaitu menarik satu kaidah kokoh juga meringkas pembahasan agar
mudah dipahami. Kalian bisa cek nanti.
Hal keempat, dan mungkin ini
penting, terkait wacana kontemporer. Misalnya saja terkait “Historisasi Teks Al-Quran” “Takwil
Al-Hadaatsiy” “Penghapusan Ahruf Sab’ah oleh Utsman” dsb. Seakan beliau ingin
menyampaikan bahwa kajian ushul fikih ini tidak sedang berbicara di ruang
hampa. Namun mampu berdialektika dengan zaman. Hebatnya, sejumlah tema itu ia
wakilkan dengan ringkas, yang jika dijabarkan memerlukan berlembar-lembar
kertas.
Inilah yang bisa saya temukan terkait
“hal baru” dalam karya Syekh Salim. Yang saya peroleh dari beberapa
penjelasannya baik saat di Situbono kemarin (9/2) atau saat mengaji dulu.
Kembali kita ingatkan, ini tentu
bukan hendak menjatuhkan kredibilitas Imam Haramain. Semua punya perannya
masing-masing. Imam Haramain sebagaimana bahasa Syekh Salim dalam Mukaddimahnya
adalah “Simbol” (‘Alam) ushul fikih dan Kalam yang sosoknya tidak perlu
dijelaskan lagi. Karya ini lagi-lagi hendak memberi warna baru.
Pada akhirnya, karya adalah karya
yang tidak lepas dari catatan. Andapun bisa memberikan berbagai komentar. Namun
poinnya bukan itu. Akan tetapi seberapa besar usaha kita dalam menjaga dan
mengembangkan warisan umat Islam. Dan bagi saya matan ini perlu dijadikan
pegangan pelajar setelah menelaah Al-Waraqat. bukan karena penghormatan atas
guru. Namun karena ketelitian Syekh dalam karyanya.
Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Depok, 10 Februari 2023
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.