Bismillahirrahmanirrahim
Allah
berfirman dalam surah al-A’raf: 101-102, “Negeri-negeri (yang telah Kami
binasakan) itu, Kami ceritakan sebagian dari berita-beritanya kepadamu. Dan, sungguh
telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang
nyata, maka mereka (juga) tidak beriman kepada apa yang dahulunya mereka telah
mendustakannya. Demikianlah Allah mengunci mata hati orang-orang kafir. * Dan
Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami
mendapati kebanyakan mereka sebagai orang-orang yang fasik.”
berfirman dalam surah al-A’raf: 101-102, “Negeri-negeri (yang telah Kami
binasakan) itu, Kami ceritakan sebagian dari berita-beritanya kepadamu. Dan, sungguh
telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang
nyata, maka mereka (juga) tidak beriman kepada apa yang dahulunya mereka telah
mendustakannya. Demikianlah Allah mengunci mata hati orang-orang kafir. * Dan
Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami
mendapati kebanyakan mereka sebagai orang-orang yang fasik.”
Pada
dua ayat diatas muncul dua penggal kalimat yang berisi “penguncian hati
orang-orang kafir oleh Allah”. Ungkapan seperti ini sering sekali muncul di
berbagai tempat dalam Al-Qur’an, dalam situasi-situasi yang serupa. Ia
merupakan salah satu pemicu debat dan pertentangan keras diantara para ulama’
teologi (Ilmu Kalam). Sebagian kelompok menganggapnya sebagai dalil bahwasanya
amal perbuatan dan nasib akhir manusia sudah ditakdirkan dan dipastikan sejak
zaman Azali; sementara sebagian kelompok lain menakwilkan ungkapan tersebut dan
menilai pernyataan lawannya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan keadilan
Allah dan kebijaksanaan-Nya di balik pengiriman para Rasul, bahkan bertentangan
pula dengan berbagai macam pernyataan Al-Qur’an yang lain.
dua ayat diatas muncul dua penggal kalimat yang berisi “penguncian hati
orang-orang kafir oleh Allah”. Ungkapan seperti ini sering sekali muncul di
berbagai tempat dalam Al-Qur’an, dalam situasi-situasi yang serupa. Ia
merupakan salah satu pemicu debat dan pertentangan keras diantara para ulama’
teologi (Ilmu Kalam). Sebagian kelompok menganggapnya sebagai dalil bahwasanya
amal perbuatan dan nasib akhir manusia sudah ditakdirkan dan dipastikan sejak
zaman Azali; sementara sebagian kelompok lain menakwilkan ungkapan tersebut dan
menilai pernyataan lawannya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan keadilan
Allah dan kebijaksanaan-Nya di balik pengiriman para Rasul, bahkan bertentangan
pula dengan berbagai macam pernyataan Al-Qur’an yang lain.
Namun,
kesan yang bisa ditangkap dari konteks ayat tersebut di tempat ini – juga di
tempat-tempat lain ketika ungkapan tadi muncul – tidak menunjukkan pengertian
bahwasanya Allah benar-benar telah mengeraskan hati sebagian orang sejak
semula, atau menutup rapat-rapat pikiran mereka dan memalingkannya sehingga
tidak mau menyambut seruan Allah sebagai suatu ketetapan sejak zaman Azali.
Makna terkuat dari ayat-ayat diatas – dan berbagai tempat lainnya – tidak
mungkin mendukung pengertian semacam itu, sebab – pada saat bersamaan – ia juga
memuat celaan, kecaman, ancaman dan peringatan keras terhadap kaum kafir atas
segala pengingkaran dan penyimpangan mereka. Sebenarnya, ungkapan itu hanya
ditujukan untuk menggambarkan betapa kerasnya hati mereka, yang diakibatkan
oleh buruknya watak dan kotornya motif mereka, dimana keduanya kemudian memicu
terkuncinya akal pikiran mereka sendiri. Atau, ungkapan itu hendak menegaskan
akibat yang mereka terima sebagai konsekuensi dari sikap-sikap angkuh dan
membangkang yang mereka ambil, sehingga – seolah-olah – terlihat sebagai
sesuatu yang sudah “asli dari sananya”.
kesan yang bisa ditangkap dari konteks ayat tersebut di tempat ini – juga di
tempat-tempat lain ketika ungkapan tadi muncul – tidak menunjukkan pengertian
bahwasanya Allah benar-benar telah mengeraskan hati sebagian orang sejak
semula, atau menutup rapat-rapat pikiran mereka dan memalingkannya sehingga
tidak mau menyambut seruan Allah sebagai suatu ketetapan sejak zaman Azali.
Makna terkuat dari ayat-ayat diatas – dan berbagai tempat lainnya – tidak
mungkin mendukung pengertian semacam itu, sebab – pada saat bersamaan – ia juga
memuat celaan, kecaman, ancaman dan peringatan keras terhadap kaum kafir atas
segala pengingkaran dan penyimpangan mereka. Sebenarnya, ungkapan itu hanya
ditujukan untuk menggambarkan betapa kerasnya hati mereka, yang diakibatkan
oleh buruknya watak dan kotornya motif mereka, dimana keduanya kemudian memicu
terkuncinya akal pikiran mereka sendiri. Atau, ungkapan itu hendak menegaskan
akibat yang mereka terima sebagai konsekuensi dari sikap-sikap angkuh dan
membangkang yang mereka ambil, sehingga – seolah-olah – terlihat sebagai
sesuatu yang sudah “asli dari sananya”.
Penting
dicatat bahwa ungkapan seperti ini selalu muncul dengan diiringi penggambaran
sifat-sifat kufur, menentang, fasiq, dan merugi; dengan disertai kecaman dan
hardikan keras terhadap orang-orang kafir, ingkar dan fasiq. Dengan sendirinya,
terlihat jelas bahwa ayat-ayat itu pada hakikatnya hendak menegaskan bahwa
kekafiran, kefasikan, ketidakbersediaan untuk menyambut seruan kebenaran, dan
pengingkaran atas perjanjian dengan Allah, pada dasarnya semua itu benar-benar
eksis dalam diri kaum kafir sehingga mereka pun dilabeli dengan sifat ini; dan
karena itu pula mereka layak dikecam, dihardik dan dikerasi. Pesan semacam ini
tampak kuat dan menonjol dalam ayat-ayat diatas.
dicatat bahwa ungkapan seperti ini selalu muncul dengan diiringi penggambaran
sifat-sifat kufur, menentang, fasiq, dan merugi; dengan disertai kecaman dan
hardikan keras terhadap orang-orang kafir, ingkar dan fasiq. Dengan sendirinya,
terlihat jelas bahwa ayat-ayat itu pada hakikatnya hendak menegaskan bahwa
kekafiran, kefasikan, ketidakbersediaan untuk menyambut seruan kebenaran, dan
pengingkaran atas perjanjian dengan Allah, pada dasarnya semua itu benar-benar
eksis dalam diri kaum kafir sehingga mereka pun dilabeli dengan sifat ini; dan
karena itu pula mereka layak dikecam, dihardik dan dikerasi. Pesan semacam ini
tampak kuat dan menonjol dalam ayat-ayat diatas.
Sepertinya,
diantara tujuan lain dari ungkapan tersebut – juga yang semisal dengannya –
adalah memberikan penghiburan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
beserta kaum muslimin. Seakan-akan dikatakan kepada mereka: “Tidak ada yang
mengharuskan untuk bersedih dan putus asa apabila hati orang-orang kafir dan
ingkar itu tidak kunjung melunak, karena Allah telah mengunci mati hati mereka
disebabkan motif-motif kekafiran yang mereka simpan sendiri; juga segala
kekotoran, kerusakan dan kefasikan yang selama ini mereka akrabi.”
diantara tujuan lain dari ungkapan tersebut – juga yang semisal dengannya –
adalah memberikan penghiburan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
beserta kaum muslimin. Seakan-akan dikatakan kepada mereka: “Tidak ada yang
mengharuskan untuk bersedih dan putus asa apabila hati orang-orang kafir dan
ingkar itu tidak kunjung melunak, karena Allah telah mengunci mati hati mereka
disebabkan motif-motif kekafiran yang mereka simpan sendiri; juga segala
kekotoran, kerusakan dan kefasikan yang selama ini mereka akrabi.”
Akan
tetapi, fakta-fakta yang valid dan meyakinkan menunjukkan bahwa banyak sekali
orang-orang yang semula disifati sebagai kafir, fasiq, zhalim dan telah
ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an bahwasanya Allah mengunci mati hatinya
serta telah divonis tidak akan beriman – yakni, di kalangan para pendengar
Al-Qur’an, baik dari bangsa Arab maupun non-Arab, dari kelompok kaum musyrik
maupun Ahli Kitab – ternyata kemudian beriman kepada risalah Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dan Al-Qur’an, memperoleh ridha Allah jauh sesudah
turunnya ayat-ayat ini, mau bertaubat dan Allah pun menerima taubat mereka.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa ayat-ayat ini – juga banyak sekali ayat
lain, baik yang telah lalu maupun akan datang – sebenarnya secara implisit
memuat dan merekam fakta yang ada pada saat penurunannya. Hal ini sekaligus
mempertegas apa yang baru saja kami uraikan dimuka.
tetapi, fakta-fakta yang valid dan meyakinkan menunjukkan bahwa banyak sekali
orang-orang yang semula disifati sebagai kafir, fasiq, zhalim dan telah
ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an bahwasanya Allah mengunci mati hatinya
serta telah divonis tidak akan beriman – yakni, di kalangan para pendengar
Al-Qur’an, baik dari bangsa Arab maupun non-Arab, dari kelompok kaum musyrik
maupun Ahli Kitab – ternyata kemudian beriman kepada risalah Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dan Al-Qur’an, memperoleh ridha Allah jauh sesudah
turunnya ayat-ayat ini, mau bertaubat dan Allah pun menerima taubat mereka.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa ayat-ayat ini – juga banyak sekali ayat
lain, baik yang telah lalu maupun akan datang – sebenarnya secara implisit
memuat dan merekam fakta yang ada pada saat penurunannya. Hal ini sekaligus
mempertegas apa yang baru saja kami uraikan dimuka.
Untuk diketahui, surah al-A’raf adalah
Makkiyah, dan turun dalam periode berat dakwah Rasulullah. Dalam urutan
penurunan, ia turun pada urutan ke-39, setelah Shaad sebelum al-Jinn. Wahyu
yang turun di sekitar urutan ini bertepatan dengan tahun-tahun pertengahan dakwah Periode Makkah, sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa diantara
tokoh-tokoh kafir yang ketika ayat-ayat ini turun masih berpegang kuat pada
kekafirannya adalah Abu Sufyan, Akhnas bin Syariq, ‘Amr bin ‘Ash, Jubair bin
Muth’im, ‘Ikrimah bin Abi Jahal, Khalid bin Walid, dan masih banyak lagi.
Mereka inilah para provokator dan pemimpin kaum kafir yang sangat keras
memusuhi dakwah Islam. Dengan kata lain, merekalah figur-figur nyata yang secara
umum maupun khusus ditunjuk oleh ayat-ayat surah al-A’raf diatas. Namun, belakangan ternyata mereka masuk Islam dan menunjukkan
prestasi-prestasi besar sebagai seorang muslim. Misalnya, Khalid bin
Walid dikenal sebagai penakluk Persia, ‘Amr bin ‘Ash adalah penakluk Mesir, dan
‘Ikrimah bin Abi Jahal merupakan salah satu andalan khalifah Abu Bakar dalam
memerangi para nabi palsu serta orang-orang yang murtad sepeninggal Rasulullah.
Makkiyah, dan turun dalam periode berat dakwah Rasulullah. Dalam urutan
penurunan, ia turun pada urutan ke-39, setelah Shaad sebelum al-Jinn. Wahyu
yang turun di sekitar urutan ini bertepatan dengan tahun-tahun pertengahan dakwah Periode Makkah, sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa diantara
tokoh-tokoh kafir yang ketika ayat-ayat ini turun masih berpegang kuat pada
kekafirannya adalah Abu Sufyan, Akhnas bin Syariq, ‘Amr bin ‘Ash, Jubair bin
Muth’im, ‘Ikrimah bin Abi Jahal, Khalid bin Walid, dan masih banyak lagi.
Mereka inilah para provokator dan pemimpin kaum kafir yang sangat keras
memusuhi dakwah Islam. Dengan kata lain, merekalah figur-figur nyata yang secara
umum maupun khusus ditunjuk oleh ayat-ayat surah al-A’raf diatas. Namun, belakangan ternyata mereka masuk Islam dan menunjukkan
prestasi-prestasi besar sebagai seorang muslim. Misalnya, Khalid bin
Walid dikenal sebagai penakluk Persia, ‘Amr bin ‘Ash adalah penakluk Mesir, dan
‘Ikrimah bin Abi Jahal merupakan salah satu andalan khalifah Abu Bakar dalam
memerangi para nabi palsu serta orang-orang yang murtad sepeninggal Rasulullah.
Sejarah mencatat bahwa sebagian besar
mereka baru bersedia masuk Islam dan dilunakkan hatinya pada tahun terjadinya Fathu
Makkah, yakni 8 H, atau tidak berselang lama sebelum dan sesudahnya. Itu
artinya setelah mereka melalui tidak kurang dari 21 tahun rentetan dialog, debat,
pertikaian, bahkan pertumpahan darah dan pengorbanan jiwa raga. Sebagaimana
dimaklumi, selama 13 tahun keberadaan Rasulullah di Makkah, mereka tidak mau
menerima seruan beliau dan bahkan mengusirnya. Tidak cukup sampai disitu,
mereka pun mengerahkan balatentara untuk menumpas beliau dan para sahabatnya. Seribu
orang bersenjata lengkap mereka kirim ke Badar, tiga ribu orang berikutnya mereka
berangkatkan ke Uhud, dan akhirnya sepuluh ribu orang turut berjibaku bersama
mereka dalam Perang Khandaq. Jelas, permusuhan seperti ini bukan sandiwara atau
iseng, akan tetapi benar-benar serius dan sangat mengerikan.
mereka baru bersedia masuk Islam dan dilunakkan hatinya pada tahun terjadinya Fathu
Makkah, yakni 8 H, atau tidak berselang lama sebelum dan sesudahnya. Itu
artinya setelah mereka melalui tidak kurang dari 21 tahun rentetan dialog, debat,
pertikaian, bahkan pertumpahan darah dan pengorbanan jiwa raga. Sebagaimana
dimaklumi, selama 13 tahun keberadaan Rasulullah di Makkah, mereka tidak mau
menerima seruan beliau dan bahkan mengusirnya. Tidak cukup sampai disitu,
mereka pun mengerahkan balatentara untuk menumpas beliau dan para sahabatnya. Seribu
orang bersenjata lengkap mereka kirim ke Badar, tiga ribu orang berikutnya mereka
berangkatkan ke Uhud, dan akhirnya sepuluh ribu orang turut berjibaku bersama
mereka dalam Perang Khandaq. Jelas, permusuhan seperti ini bukan sandiwara atau
iseng, akan tetapi benar-benar serius dan sangat mengerikan.
Hanya saja, seluruh ancaman dan kecaman diatas
tetap berlaku terhadap orang-orang yang masih meneruskan kekafiran, kefasikan
dan kezhalimannya, serta mati dalam keadaan itu, sehingga label tersebut tetap
melekat kuat pada diri mereka. Bagian
ini merujuk pada orang-orang semacam Abu Lahab, Abu Jahal, Walid bin Mughirah,
Umayyah bin Khalaf, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, dan tokoh-tokoh
lain yang mati atau terbunuh dalam berbagai peristiwa sebelum sempat beriman.
tetap berlaku terhadap orang-orang yang masih meneruskan kekafiran, kefasikan
dan kezhalimannya, serta mati dalam keadaan itu, sehingga label tersebut tetap
melekat kuat pada diri mereka. Bagian
ini merujuk pada orang-orang semacam Abu Lahab, Abu Jahal, Walid bin Mughirah,
Umayyah bin Khalaf, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, dan tokoh-tokoh
lain yang mati atau terbunuh dalam berbagai peristiwa sebelum sempat beriman.
Di
dalam Al-Qur’an terdapat banyak sekali ayat yang memperkuat kesimpulan ini.
Salah satu diantaranya adalah surah al-Baqarah: 159-162, “Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat (pula)
oleh semua (mahluk) yang dapat melaknat. * Kecuali mereka yang bertaubat,
mengadakan perbaikan, dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah
Aku menerima taubatnya. Dan, Akulah yang Maha Menerima taubat lagi Maha
Penyayang. * Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan
kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para Malaikat dan umat manusia
seluruhnya. * Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa
dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.”
dalam Al-Qur’an terdapat banyak sekali ayat yang memperkuat kesimpulan ini.
Salah satu diantaranya adalah surah al-Baqarah: 159-162, “Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat (pula)
oleh semua (mahluk) yang dapat melaknat. * Kecuali mereka yang bertaubat,
mengadakan perbaikan, dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah
Aku menerima taubatnya. Dan, Akulah yang Maha Menerima taubat lagi Maha
Penyayang. * Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan
kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para Malaikat dan umat manusia
seluruhnya. * Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa
dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.”
Keterangan
serupa dapat ditemukan dalam surah-surah al-Baqarah: 217, an-Nisa’: 17, Ali
‘Imran: 91, Muhammad: 34, at-Taubah: 84-85 dan 124-126.
serupa dapat ditemukan dalam surah-surah al-Baqarah: 217, an-Nisa’: 17, Ali
‘Imran: 91, Muhammad: 34, at-Taubah: 84-85 dan 124-126.
[*]
Konteks yang masih terkait dengan tema ini
adalah ungkapan-ungkapan Al-Qur’an yang kurang lebih berbunyi: “sebagian orang diberi-Nya petunjuk dan
sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka”. Salah satunya
terdapat dalam surah al-A’raf: 30.
adalah ungkapan-ungkapan Al-Qur’an yang kurang lebih berbunyi: “sebagian orang diberi-Nya petunjuk dan
sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka”. Salah satunya
terdapat dalam surah al-A’raf: 30.
Kalimat
ini terkadang salah dimengerti, bahwasanya Allah melakukannya tanpa ada sebab
dari orang yang mendapat petunjuk atau tersesat itu. Akan tetapi, bagian
selanjutnya dari ayat ini sendiri menghilangkan kesalahpahaman tersebut, karena
ia menyitir suatu penyebab yang selaras dengan pernyataan-pernyataan Al-Qur’an
lainnya, yaitu: mereka telah menjadikan syetan-syetan sebagai pelindungnya
selain Allah. Telah banyak contoh serupa yang dikutip sebelum ini. Dan, surah
Yunus: 33 berikut ini turut berperan memberi penjelasan yang akan menghapuskan
kesalahpahaman dimaksud. Allah berfirman, yang
artinya, “Demikianlah
telah tetap hukuman Tuhanmu terhadap orang-orang yang fasiq, karena
sesungguhnya mereka tidak beriman.”
ini terkadang salah dimengerti, bahwasanya Allah melakukannya tanpa ada sebab
dari orang yang mendapat petunjuk atau tersesat itu. Akan tetapi, bagian
selanjutnya dari ayat ini sendiri menghilangkan kesalahpahaman tersebut, karena
ia menyitir suatu penyebab yang selaras dengan pernyataan-pernyataan Al-Qur’an
lainnya, yaitu: mereka telah menjadikan syetan-syetan sebagai pelindungnya
selain Allah. Telah banyak contoh serupa yang dikutip sebelum ini. Dan, surah
Yunus: 33 berikut ini turut berperan memberi penjelasan yang akan menghapuskan
kesalahpahaman dimaksud. Allah berfirman, yang
artinya, “Demikianlah
telah tetap hukuman Tuhanmu terhadap orang-orang yang fasiq, karena
sesungguhnya mereka tidak beriman.”
Pesan
serupa dapat kita mengerti dari surah-surah al-Baqarah: 26-27, ar-Ra’d: 27 dan
Ibrahim: 26 yang telah kami kutip dimuka.
serupa dapat kita mengerti dari surah-surah al-Baqarah: 26-27, ar-Ra’d: 27 dan
Ibrahim: 26 yang telah kami kutip dimuka.
Para
mufassir dan ahli takwil sendiri telah menyimpulkan banyak sekali
pengertian dan hukum dari kalimat diatas. Imam ath-Thabari berpandangan ayat
ini mengandung dalil bahwasanya siksaan Allah tidak hanya dijatuhkan kepada
orang sesat yang membangkang, akan tetapi juga kepada orang yang sesat dan
meyakini bahwa dirinya benar. Ada lagi yang membedakan antara orang yang secara
hati-hati memilih dan berijtihad, lalu yakin bahwa dirinya benar; dengan orang
yang menyimpang secara ceroboh dan tanpa didasari ijtihad, namun hanya membebek
(taklid) kepada orang lain. Mereka menilai bahwa orang dalam kategori pertama
tersebut bisa dimaafkan, dan siksaan hanya akan dijatuhkan kepada kelompok yang
kedua. Ada juga yang menyatakan bahwa tidak ada ‘udzur (dalih/alasan)
lagi – setelah kedatangan Islam – bagi orang-orang yang tersesat dari
prinsip-prinsip Islam, termasuk seluruh akidah dan hukum yang secara tegas (sharih)
dan pasti (qathi’) telah ditetapkan oleh nash Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi yang tsabit. Sebab, pemahaman terhadap masalah-masalah ini
merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan ajaran Islam. Alasan hanya
bisa diterima dari orang yang berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak
ada nash tegas dan pastinya. Bahkan, orang seperti ini akan mendapatkan
dua pahala jika tepat, dan mendapat satu pahala jika keliru. Menurut kami,
pendapat terakhir inilah yang paling pas dan tepat. Ada pula yang berpandangan
bahwa sekedar prasangka dan dugaan tidak akan mencukupi dalam menetapkan kebenaran
sebuah agama, akan tetapi dalam hal ini harus ada ketegasan, kepastian, dan
keyakinan. Pendapat ini pun pas dan tepat. Wallahu a’lam.
mufassir dan ahli takwil sendiri telah menyimpulkan banyak sekali
pengertian dan hukum dari kalimat diatas. Imam ath-Thabari berpandangan ayat
ini mengandung dalil bahwasanya siksaan Allah tidak hanya dijatuhkan kepada
orang sesat yang membangkang, akan tetapi juga kepada orang yang sesat dan
meyakini bahwa dirinya benar. Ada lagi yang membedakan antara orang yang secara
hati-hati memilih dan berijtihad, lalu yakin bahwa dirinya benar; dengan orang
yang menyimpang secara ceroboh dan tanpa didasari ijtihad, namun hanya membebek
(taklid) kepada orang lain. Mereka menilai bahwa orang dalam kategori pertama
tersebut bisa dimaafkan, dan siksaan hanya akan dijatuhkan kepada kelompok yang
kedua. Ada juga yang menyatakan bahwa tidak ada ‘udzur (dalih/alasan)
lagi – setelah kedatangan Islam – bagi orang-orang yang tersesat dari
prinsip-prinsip Islam, termasuk seluruh akidah dan hukum yang secara tegas (sharih)
dan pasti (qathi’) telah ditetapkan oleh nash Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi yang tsabit. Sebab, pemahaman terhadap masalah-masalah ini
merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan ajaran Islam. Alasan hanya
bisa diterima dari orang yang berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak
ada nash tegas dan pastinya. Bahkan, orang seperti ini akan mendapatkan
dua pahala jika tepat, dan mendapat satu pahala jika keliru. Menurut kami,
pendapat terakhir inilah yang paling pas dan tepat. Ada pula yang berpandangan
bahwa sekedar prasangka dan dugaan tidak akan mencukupi dalam menetapkan kebenaran
sebuah agama, akan tetapi dalam hal ini harus ada ketegasan, kepastian, dan
keyakinan. Pendapat ini pun pas dan tepat. Wallahu a’lam.
[*]
Di tempat lain, Al-Qur’an juga menyatakan, “itu hanyalah cobaan dari-Mu; Engkau
sesatkan dengannya siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk pula
siapa yang Engkau kehendaki”. (Qs. al-A’raf: 155).
sesatkan dengannya siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk pula
siapa yang Engkau kehendaki”. (Qs. al-A’raf: 155).
Frase
ini sebenarnya disitir dalam konteks siksaan berupa
guncangan dahsyat yang Allah timpakan kepada sebagian pemimpin Bani Israil.
Frase ini dinyatakan sebagai ucapan Musa ‘alaihis salam. Hanya saja,
meskipun lahiriahnya mengulang kembali pernyataan Nabi Musa, namun sebagian
ulama’ ada yang memotongnya sampai disini dan menangkap kesan seolah-olah di
dalamnya Allah telah meletakkan umat manusia pada suatu posisi dimana mereka
tidak mungkin lagi menghindarinya, lalu Dia menyiksa dan menghukum mereka atas
hal itu. Inilah maksud dari sebait syair yang sangat sering dikutip dalam
berbagai kesempatan serupa, yaitu:
ini sebenarnya disitir dalam konteks siksaan berupa
guncangan dahsyat yang Allah timpakan kepada sebagian pemimpin Bani Israil.
Frase ini dinyatakan sebagai ucapan Musa ‘alaihis salam. Hanya saja,
meskipun lahiriahnya mengulang kembali pernyataan Nabi Musa, namun sebagian
ulama’ ada yang memotongnya sampai disini dan menangkap kesan seolah-olah di
dalamnya Allah telah meletakkan umat manusia pada suatu posisi dimana mereka
tidak mungkin lagi menghindarinya, lalu Dia menyiksa dan menghukum mereka atas
hal itu. Inilah maksud dari sebait syair yang sangat sering dikutip dalam
berbagai kesempatan serupa, yaitu:
أَلْقَاهُ فِي الْيَمِّ مَكْتُوْفًا وَقَالَ * لَهُ إِيَّاكَ
إِيَّاكَ أَنْ تَبْتَلَّ بِالْمَاءِ
إِيَّاكَ أَنْ تَبْتَلَّ بِالْمَاءِ
Artinya:
“Dia melemparkannya ke
lautan dalam kondisi tangan terikat, dan berkata kepadanya: ‘Jangan sekali-kali
kamu terbasahi oleh air!’”
“Dia melemparkannya ke
lautan dalam kondisi tangan terikat, dan berkata kepadanya: ‘Jangan sekali-kali
kamu terbasahi oleh air!’”
Sebagian
kalangan telah terbiasa untuk mengetengahkan kalimat ini dan menjadikannya
sebagai landasan (hujjah), bahwasanya Allah telah menetapkan takdir
setiap individu sejak zaman Azali, orang per orang, dimana mereka (telah
ditetapkan) mendapat hidayah atau tersesat – menurut klaim mereka – tanpa
dilatari suatu sebab apapun dari individu-individu itu sendiri. Kami telah
memberikan komentar yang senada pada kesempatan-kesempatan terdahulu. Menurut
kami, itu sudah lebih dari cukup. Hal ini sekaligus mensucikan Allah dari
perbuatan yang sia-sia dan merusak hikmah-Nya sendiri, yakni tatkala Dia
menyeru umat manusia dengan perantaraan para Rasul serta menetapkan konsekuensi
pahala dan siksa bagi manusia sesuai dengan sikap mereka masing-masing di
hadapan seruan-Nya itu, juga sesuai dengan perilaku mereka terhadap Allah
maupun sesamanya.
kalangan telah terbiasa untuk mengetengahkan kalimat ini dan menjadikannya
sebagai landasan (hujjah), bahwasanya Allah telah menetapkan takdir
setiap individu sejak zaman Azali, orang per orang, dimana mereka (telah
ditetapkan) mendapat hidayah atau tersesat – menurut klaim mereka – tanpa
dilatari suatu sebab apapun dari individu-individu itu sendiri. Kami telah
memberikan komentar yang senada pada kesempatan-kesempatan terdahulu. Menurut
kami, itu sudah lebih dari cukup. Hal ini sekaligus mensucikan Allah dari
perbuatan yang sia-sia dan merusak hikmah-Nya sendiri, yakni tatkala Dia
menyeru umat manusia dengan perantaraan para Rasul serta menetapkan konsekuensi
pahala dan siksa bagi manusia sesuai dengan sikap mereka masing-masing di
hadapan seruan-Nya itu, juga sesuai dengan perilaku mereka terhadap Allah
maupun sesamanya.
Sehubungan
dengan ungkapan dalam ayat ke-155 ini, kami katakan bahwa pengamatan yang jeli
terhadap ayat tersebut akan menjadikan kesan diatas tidak pada tempatnya. Pertama,
ungkapan itu mengisahkan pernyataan Nabi Musa ‘alaihis salam, bukan
penegasan Al-Qur’an secara langsung. Kedua, makna dari kata fitnatuka
dalam konteks ini bukanlah penyesatan, dibuat menjadi menyimpang, dan terfitnah
(agamanya), akan tetapi maknanya adalah: ujian dan cobaan.
Inilah pengertian yang ditetapkan secara tegas oleh Imam ath-Thabari dan
lain-lain. Sebab, Allah menguji keimanan dan akhlak umat manusia dengan
beberapa perkara. Allah memerintahkan mereka melakukan sesuatu, melarang mereka
dari sesuatu, dan membebani mereka dengan tugas-tugas tertentu. Siapa saja yang
memiliki keimanan dan kesabaran yang lemah, pasti menyimpang dan tersesat.
Sedangkan orang-orang yang kuat keimanan dan kesabarannya, pasti senantisa
berada dalam naungan petunjuk-Nya dan konsisten melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Pengertian ini dapat ditangkap pula secara samar-samar dari ayat-ayat surah
al-Baqarah dan Ibrahim yang telah kami kutip sebelumnya. Ungkapan itu sendiri
disitir dalam pengertian diatas melalui lisan Nabi Musa ‘alaihis salam.
Sebab, perwakilan Bani Israil yang mendengar firman Allah adalah orang-orang
yang tamak, sehingga mereka berkata kepada beliau, “Perlihatkan Allah kepada
kami secara terang-terangan!” – sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Baqarah.
Mereka inilah orang-orang yang diceritakan telah “disiksa oleh Allah dengan
(disambar) halilintar”, sbb: “Dan (ingatlah), ketika kamu
berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat
Allah secara terang-terangan!” Karena itu, kamu disambar halilintar, sedang
kamu menyaksikannya.” (Qs. al-Baqarah: 55).
dengan ungkapan dalam ayat ke-155 ini, kami katakan bahwa pengamatan yang jeli
terhadap ayat tersebut akan menjadikan kesan diatas tidak pada tempatnya. Pertama,
ungkapan itu mengisahkan pernyataan Nabi Musa ‘alaihis salam, bukan
penegasan Al-Qur’an secara langsung. Kedua, makna dari kata fitnatuka
dalam konteks ini bukanlah penyesatan, dibuat menjadi menyimpang, dan terfitnah
(agamanya), akan tetapi maknanya adalah: ujian dan cobaan.
Inilah pengertian yang ditetapkan secara tegas oleh Imam ath-Thabari dan
lain-lain. Sebab, Allah menguji keimanan dan akhlak umat manusia dengan
beberapa perkara. Allah memerintahkan mereka melakukan sesuatu, melarang mereka
dari sesuatu, dan membebani mereka dengan tugas-tugas tertentu. Siapa saja yang
memiliki keimanan dan kesabaran yang lemah, pasti menyimpang dan tersesat.
Sedangkan orang-orang yang kuat keimanan dan kesabarannya, pasti senantisa
berada dalam naungan petunjuk-Nya dan konsisten melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Pengertian ini dapat ditangkap pula secara samar-samar dari ayat-ayat surah
al-Baqarah dan Ibrahim yang telah kami kutip sebelumnya. Ungkapan itu sendiri
disitir dalam pengertian diatas melalui lisan Nabi Musa ‘alaihis salam.
Sebab, perwakilan Bani Israil yang mendengar firman Allah adalah orang-orang
yang tamak, sehingga mereka berkata kepada beliau, “Perlihatkan Allah kepada
kami secara terang-terangan!” – sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Baqarah.
Mereka inilah orang-orang yang diceritakan telah “disiksa oleh Allah dengan
(disambar) halilintar”, sbb: “Dan (ingatlah), ketika kamu
berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat
Allah secara terang-terangan!” Karena itu, kamu disambar halilintar, sedang
kamu menyaksikannya.” (Qs. al-Baqarah: 55).
Hal
ini sebenarnya identik dengan peristiwa yang dikisahkan oleh ayat-ayat surah
al-A’raf – tempat kemunculan frase yang sedang kita bicarakan sekarang. Tidak
ada kontradiksi antara sha’iqah (halilintar) dengan rajfah (guncangan
hebat). Sungguh, mereka telah menampakkan kelemahannya di hadapan ujian Allah,
dan berlebihan dalam meminta serta mengharap.
ini sebenarnya identik dengan peristiwa yang dikisahkan oleh ayat-ayat surah
al-A’raf – tempat kemunculan frase yang sedang kita bicarakan sekarang. Tidak
ada kontradiksi antara sha’iqah (halilintar) dengan rajfah (guncangan
hebat). Sungguh, mereka telah menampakkan kelemahannya di hadapan ujian Allah,
dan berlebihan dalam meminta serta mengharap.
Hanya
saja, ayat itu sendiri mengandung suatu ungkapan lain yang bisa menghapus
kerancuan macam apapun. Sebab, ia juga menyitir satu penegasan dari Allah
bahwasanya Dia akan menetapkan rahmat-Nya – yang mencukupi untuk segala-galanya
– bagi siapa saja yang bertakwa, menunaikan zakat, serta beriman kepada
ayat-ayat Tuhan. Dengan demikian, secara tersirat, dinyatakan pula bahwa
kesesatan maupun hidayah itu pada dasarnya bergulir menurut sunnatullah
(hukum Allah) yang tetap bagi umat manusia, sesuai dengan usaha (kasab),
pilihan (ikhtiyar), dan karakter (sajiyyah) mereka masing-masing. Demikianlah. Wallahu
a’lam.
saja, ayat itu sendiri mengandung suatu ungkapan lain yang bisa menghapus
kerancuan macam apapun. Sebab, ia juga menyitir satu penegasan dari Allah
bahwasanya Dia akan menetapkan rahmat-Nya – yang mencukupi untuk segala-galanya
– bagi siapa saja yang bertakwa, menunaikan zakat, serta beriman kepada
ayat-ayat Tuhan. Dengan demikian, secara tersirat, dinyatakan pula bahwa
kesesatan maupun hidayah itu pada dasarnya bergulir menurut sunnatullah
(hukum Allah) yang tetap bagi umat manusia, sesuai dengan usaha (kasab),
pilihan (ikhtiyar), dan karakter (sajiyyah) mereka masing-masing. Demikianlah. Wallahu
a’lam.
[*] Naskah ini dikutip, digabung dan
diterjemahkan dari bagian-bagian terpisah dalam at-Tafsir al-Hadits, juz
2, karya Syaikh Muhammad ‘Izzat Darwazah, dengan beberapa penambahan. Semoga
bermanfaat.
diterjemahkan dari bagian-bagian terpisah dalam at-Tafsir al-Hadits, juz
2, karya Syaikh Muhammad ‘Izzat Darwazah, dengan beberapa penambahan. Semoga
bermanfaat.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.