Uncategorized

Adab dalam Islam dan Relevansinya pada Sila Kedua



Adab dalam Islam dan Relevansinya pada Sila Kedua

Oleh : Bana Fatahillah

“…….lalu
apakah nabi Ibrahim adalah sosok pribadi yang tidak beradab, karena telah
menentang ayahnya yang menyembah berhala. Dan apakah Asiah adalah contoh sosok
istri yang tidak beradab, karena ia tidak taat dan patuh terhadap suaminya,
yaitu Firaun”.

Pada tanggal 22 Juni 1945, panitia sembilan, sebuah panitia kecil
yang diketuai presiden Soekarno,  mengesahkan sebuah rumusan dasar negara  yang tercantum pada UUD 1945, lebih kita
kenal sebagai “Piagam Jakarta”. Rumusan tersebut lalu diberinama “Pancasila”
oleh Soekarno. Perdebatan dimeja panitia sembilan  telah menghasilkan sebuah hasil yang memuaskan
bagi rakyat Indonesia, khususnya dipihak islam. Walaupun pada 18 Agustus 1945
terjadi perubahan salah satu rumusan itu, tidaklah membuat tokoh nasionalis
islam menyerah untuk memperjuangkan Indonesia.

            Dalam
sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, para sejarawan islam menduga bahwa
rumusan ini adalah sebuah konsep matang dan perubahan akhir dari gagasan
“kemanusiaan” milik M.Yamin dan Soekarno. Kata adil dan adab inilah yang
menghiasi kata kemanusiaan dan memberi makna yang lebih islami. Menurut
Prof.Al-Attas, penulis buku “Islam dan Sekularisme” yang banyak membahas
masalah adab didalamnya,  adalah karena
dua kata tersebut, “adil” dan “adab”, merupakan itilah-istilah baku dalam islam
(Islamic basic vocabulary), yang tidak bisa diartikan ke bahasa
indonesia secara mudah, dan butuh makna yang sangat tepat.    

            Walaupun  kata adab tidak tertulis dalam al-Qur’an,
tetapi itu akan banyak kita temukan dalam perkataan Rasulullah, para sahabat,
ulama, cendekiawan, dan sarjana-sarjana muslim yang hidup setelahnya. Ulama
Nusantara dahulu pun sudah banyak yang men-tashnif  kitab kitab mengenai adab. Diantaranya, Adab
al-Insan
karya Syeikh Utsman, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya
K.H. Hasyim Asy’ari, Hidayat al-Saalikin milik Syeikh Abdussomad
Alfalimbangi dan masih banyak lainnya.

Dan diantara hadist Rasul yang berkaitan dengann adab adalah :  “Addabanii robbi ahsana ta’dibii” (Tuhanku
telah mendidikku dengan pendidikan terbaik), “Addibuu aulaadakum wa ahsinuu
adabahum”
(didiklah anak-anakmu dan perbaguslah adabnya), “Min haqq
al-Waladi ‘ala al-waalidi an yuhsina adabahu wa ismahu”
(diantara yang
menjadi haq seorang anak atas orangtuanya adalah memperbagus adabnya dan
menamakannya dengan nama yang baik).

Adapun ulama, Ibn al-Mubarok misalnya,  mengatakan : “Nahnu ilaa katsiirin min
al-Adab ahwaja minna ilaa katsirin min al-hadits”
(mempunyai adab meskipun
sedikit lebih kami butuhkan dari banyaknya ilmu pengetahuan). Imam Syafii
ketika ditanya “bagaimana usaha- usahamu dalam  mencari adab”, ia menjawab, “Tholab
al-mar’ati al-mudhollati waladaha wa laisa lahaa goiruhu”
. (aku senantiasa mencarinya
layaknya usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang). (dikutip
dari Ibn Jama’ah, Tadzkirat al-Saami wa al-mutakallim fii adab al-‘Alim wa
al-Muta’allim, Dar al-Taufiiqiyyah,
Mesir : 2014, hal.10)

Seperti yang dijelaskan Prof. Syed Naquib Al-Attas diawal, bahwa adab
itu adalah pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan
seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Ia merupakan suatu kelakuan yang harus
diamalkan atau dilakukan terhadap diri, dan yang berdasarkan pada ilmu, maka
kelakuan atau amalan itu bukan saja harus ditunjukkan kepada sesama insani,
bahkan kepada makhluk jelata, yang merupakan ma’lumat bagi ilmu.

Inilah yang membedakan adab dengan akhlaq. Prof.Wan Mohd Nur Wan
Daud, pendiri Central for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization
(CASIS) di Universitas Teknologi Malaysia (UTM), mengatakan bahwa lingkupan
adab sangatlah luas. Objeknya tidak hanya meliputi manusia saja, namun lebih
dari itu. Lebih jelasnya, Ia memberi contoh : untuk mengatur warna agar
terlihat indah, meminta izin ketika masuk dan keluar rumah, tidak ribut di kamar
mandi, menyayangi binatang, itupun termasuk adab. Maka istilah yang sering
digunakan adalah “adab masuk dan keluar rumah”, “adab masuk ke Kamar mandi”,
“adab terhadap binatang”, bukan “akhlaq keluar rumah” ataupun “akhlaq terhadap
binatang”. Adapun akhlaq, menurut Prof.Wan, hanya meliputi muamalah sesama
manusia.

Kalau adab hanya diaplikasikan terhadap sesama manusia, lalu apakah
nabi Ibrahim adalah sosok pribadi yang tidak beradab, karena telah menentang
ayahnya yang menyembah berhala. Dan apakah Asiah adalah contoh sosok istri yang
tidak beradab, karena ia tidak taat dan patuh terhadap suaminya, yaitu Firaun. Manusia
beradab adalah manusia yang dapat mendudukkan sesuatu pada tempatnya. Ia
mengetahui bagaimana harus beradab kepada Tuhan yang telah menciptakannya,
terhadap Nabi dan Rasul, para ulama, kedua orang tua, sesama manusia, hingga
kepada makhluk hidup lainnya.

Sementara adil, singkatnya ia adalah manifestasi dari tidakan yang
tepat yang dilakukan oleh seseorang atau adab. ketika seseorang sudah
meletakkan dan memposisikan sesuatu sesuai harkat dan martabatnya, maka
keadilan lah yang akan terjadi. Adil berarti keadaan sesuatu pada tempatnya.
Lawan katanya adalah “zhalim”, yaitu keadaan sesuatu tidak pada
tempatnya. Adil tidak bisa kita artikan dengan “sama rata sama rasa”. Almarhum
K.H. Zainuddin MZ mengatakan,  “Adil itu
bukan kebaikan seorang ayah yang memberi lima orang anaknya masing-masing
sebesar seratus ribu dengan kebutuhannya yang berbeda. Justru itulah sebuah
ketidakadilan.

Jika adil diartikan tidak secara makna islam ; hanya sebatas “sama
rata sama rasa”, maka seorang istri akan menuntut keadilan untuk bisa memimpin
rumah tangga dan mencari nafkah, lalu seorang pelacur pun akan menuntut
bahwasanya yang ia lakukan adalah sebuah pekerjaan layaknya pekerjaan lainnya
guna  menafkahi hidupnya. Karena menurut
mereka seperti inilah keadilan yang sesungguhnya – penganut relativitas sebuah
realita yang menganggap bahwa tidak ada suatu kebenaran yang bernilai absolut .
Makna “adil” seperti inilah yang dipahami dan dianut di barat. 
    
Inilah mengapa founding father kita memilih kata “adil dan adab”
pada sila kedua. Menurut Dr.Adian, dalam bukunya “Pancasila Bukan Untuk
Menindas Hak Konstitusional Umat Islam”, adalah karena sifat “kemanusiaan”
(humanity) haruslah diartikan dengan tepat. Kalau ia hanya berdiri
sendiri sebagai “perikemanusiaan”, maka maknanya akan bersifat fleksibel dan
berbau netral agama. Kelak kaum homo dan lesbi akan meminta keadilan bahwasanya
perbuatannya adalah sesuai dengan fitrah kemanusiaannya. Dan hukuman bagi
mereka merupakan tindakan yang tidak menunjukkan peri kemanusiaan. Maka inilah
mengapa M.Natsir mengatakan dalam pidatonya di Konstituante, “Dimana sumber
perikemanusiaan itu?”. (lihat selengkapnya Adian Husaini, Pancasila Bukan
Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam
, GIP, Jakarta : 2009)

Maka penempatan “kemanusiaan” itu berdasarkan adab yang berbasis
pada Islam. Adab dan adil harus dimaknai menurut islam, kalau tidak, itu akan
menjadi sekular. Orang beradablah yang bisa menempatkannya secara pas. Jika ia
sudah beradab, tentu ia sudah adil dalam memposisikan segala yang ada. Maka
teks yang dikeluarkan mereka adalah  “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, bukan
kamanusiaan yang adil dan “bermoral”, atau “beretika”. Karena itulah kata tepat
untuk mamsukkan sebuah nilai islam untuk dasar negara ini. Wallahu a’lam
bisshowab.
             

            

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top