PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Balaghoh mendatangkan ma’na yang agung dan
jelas, dengan ungkapan yang benar dan fasih,memberi bekas yang berkesan di
lubuk hati, dan sesuaidengan situasi, kondisi, dan orang-orang yang diajak
bicara.
jelas, dengan ungkapan yang benar dan fasih,memberi bekas yang berkesan di
lubuk hati, dan sesuaidengan situasi, kondisi, dan orang-orang yang diajak
bicara.
Secara ilmiah balaghoh merupakan disiplin nya
Ilmu yang berlandaskan pada kejernihan hati nurani dan mempunyai jiwa yang
sangat kuat dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang
samar diantara macam-macam uslub (ungkapan). Kebiasaan mengkaji balaghoh
merupakan modal pokok dalam membentuk tabiat, kesastraan dan mengingatkan
kembalibeberapa bakat yang terpendam. Untuk mencapai tingkatan itu seorang
pelajar harus membaca karya- karya sastra pilihan , memenuhi dirinya dengan
pancaran tabiat sastra, menganalisis dan membanding-bandingkan karya-karya
sastra , dan harus memiliki kepercayaan pada diri sendiri sehingga mampu melihat
baik dan jelek suatu karya sastra sesuai dengan kemampuanya.[1]
Ilmu yang berlandaskan pada kejernihan hati nurani dan mempunyai jiwa yang
sangat kuat dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang
samar diantara macam-macam uslub (ungkapan). Kebiasaan mengkaji balaghoh
merupakan modal pokok dalam membentuk tabiat, kesastraan dan mengingatkan
kembalibeberapa bakat yang terpendam. Untuk mencapai tingkatan itu seorang
pelajar harus membaca karya- karya sastra pilihan , memenuhi dirinya dengan
pancaran tabiat sastra, menganalisis dan membanding-bandingkan karya-karya
sastra , dan harus memiliki kepercayaan pada diri sendiri sehingga mampu melihat
baik dan jelek suatu karya sastra sesuai dengan kemampuanya.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Hakiki?
2. Apa pengertian dari Majazi?
3. Apa pengertian
dari majas isti’aroh dan majas mursal?
dari majas isti’aroh dan majas mursal?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna Hakiki
Makna Hakiki
حَقِيْقَةٌ مُسْتَعْمَلٌ فِيْمَا وُضِع # لَهُ بِعُرْفٍ ذِي الخِطَابِ فَاتّبِعْ
”Makna hakiki ialah lafadz yang digunakan (dipakai) menurut
kedudukanya bagi pendengar maka ikutilah.“
kedudukanya bagi pendengar maka ikutilah.“
Pada
dasarnya yang dimaksud dengan sebuah hakiki ialah suatu makna yang sudah
ditetapkan, dinamakan dengan demikian
itu karna ketetapan lafadz atas asal ketentuan atau wadha’nya.
dasarnya yang dimaksud dengan sebuah hakiki ialah suatu makna yang sudah
ditetapkan, dinamakan dengan demikian
itu karna ketetapan lafadz atas asal ketentuan atau wadha’nya.
Adapun pemahaman hakiki dalam bab ini, ialah:
اَللفْظُ المُسْتَعْمَلُ
فِيْمَا وُضِعَ لَهُ
فِيْمَا وُضِعَ لَهُ
“lafadz
yang digunakan menurut arti yang sebagaimana mestinya yakni yang ditetapkan baginya.”[2]
yang digunakan menurut arti yang sebagaimana mestinya yakni yang ditetapkan baginya.”[2]
Sedangkan menurut imam As- Sukaaki hakiki adalah:[3]
الحَقِيْقَةُ الكَلِيْمَةُ المُسْتَعْمَلَةُ
فِيْمَا وُضِعَتْ لَه مِنْ غَيرِ التَأوِيْل
فِيْمَا وُضِعَتْ لَه مِنْ غَيرِ التَأوِيْل
“Hakiki
adalah kalimat yang digunakan menurut kedudukanya dengan tidak dita’wil.“
adalah kalimat yang digunakan menurut kedudukanya dengan tidak dita’wil.“
Dalam bahasa Arab,
makna hakiki didahulukan daripada makna majazi, sesuai kaidah ushuliyah :
makna hakiki didahulukan daripada makna majazi, sesuai kaidah ushuliyah :
الأَصْلُ فِي الكَلاَمِ الحَقِيْقَةِ
“Pada dasarnya pembicaraan/ ucapan itu harus
diartikan lebih dahulu secara makna hakiki.”[4]
diartikan lebih dahulu secara makna hakiki.”[4]
Karena itu,
nash-nash syara’ yang berbahasa Arab itu harus terlebih dahulu harus diartikan
dalam makna hakikinya, bukan makna majazinya.Bila tidak memungkinkan diartikan
secara makna hakiki atau jika ada qarinah (indikasi, petunjuk), barulah
diartikan secara majazi.Namun demikian, harus ada hubungan (‘alaqah)
antara makna hakiki dan makna majazinya, misalnya hubungan sababiyah
(menyebut sebab tapi yang dimaksud adalah akibat), musabbabiyah (menyebut
akibat/musabab tapi yang dimaksud adalah sebab), juz`iyah (menyebut
sebagian tapi yang dimaksudadalah keseluruhan), kulliyah (menyebut
keseluruhan tapi yang dimaksud adalah sebagian), dan sebagainya.[5]
nash-nash syara’ yang berbahasa Arab itu harus terlebih dahulu harus diartikan
dalam makna hakikinya, bukan makna majazinya.Bila tidak memungkinkan diartikan
secara makna hakiki atau jika ada qarinah (indikasi, petunjuk), barulah
diartikan secara majazi.Namun demikian, harus ada hubungan (‘alaqah)
antara makna hakiki dan makna majazinya, misalnya hubungan sababiyah
(menyebut sebab tapi yang dimaksud adalah akibat), musabbabiyah (menyebut
akibat/musabab tapi yang dimaksud adalah sebab), juz`iyah (menyebut
sebagian tapi yang dimaksudadalah keseluruhan), kulliyah (menyebut
keseluruhan tapi yang dimaksud adalah sebagian), dan sebagainya.[5]
Lebih jauh,
pemberian makna hakiki yang harus diutamakan dari pada makna majazi seperti diterangkan di
atas, mengikuti urutan (tertib) sebagai berikut[6] :
pemberian makna hakiki yang harus diutamakan dari pada makna majazi seperti diterangkan di
atas, mengikuti urutan (tertib) sebagai berikut[6] :
1.
Makna hakiki syar’i
Makna hakiki syar’i
(Al-Haqiqah
al-lughawiyah asy-syar’iyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang telah
dialihkan dari makna lughawinya (makna bahasa), dikarenakan nash-nash syara’
telah memberikan tambahan makna yang lebih dari sekedar makna bahasanya.
Contohnya adalah kata (lafazh) sholat, shaum, zakat, haji, jihad, islam, iman,
dan sebagainya.
al-lughawiyah asy-syar’iyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang telah
dialihkan dari makna lughawinya (makna bahasa), dikarenakan nash-nash syara’
telah memberikan tambahan makna yang lebih dari sekedar makna bahasanya.
Contohnya adalah kata (lafazh) sholat, shaum, zakat, haji, jihad, islam, iman,
dan sebagainya.
Kataالصلاة secara lughawi (bahasa), yang diambil dari
kamus-kamus bahasa Arab, artinya adalah الدُّعَاء(do’a).Tapi nash-nash syara’
(khususnya hadits Nabi) telah menjelaskan tatacara Nabi shalat, sehingga kita
tidak dapat lagi mengartikan nash syara’ yang menyebut “shalat” dengan arti
bahasanya (do’a), sebab sudah tambahan makna dari sekedar makna bahasanya.
Shalat secara syar’i lalu diartikan suatu kumpulan perbuatan dan perkataan (do’a)
yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[7]
kamus-kamus bahasa Arab, artinya adalah الدُّعَاء(do’a).Tapi nash-nash syara’
(khususnya hadits Nabi) telah menjelaskan tatacara Nabi shalat, sehingga kita
tidak dapat lagi mengartikan nash syara’ yang menyebut “shalat” dengan arti
bahasanya (do’a), sebab sudah tambahan makna dari sekedar makna bahasanya.
Shalat secara syar’i lalu diartikan suatu kumpulan perbuatan dan perkataan (do’a)
yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[7]
2.
Makna hakiki ‘urfi
Makna hakiki ‘urfi
(Al-Haqiqah
al-lughawiyah al-‘urfiyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang telah
menjadi urf (kebiasaan) orang Arab dalam mengartikan suatu kata.Contohnya kata daabbah.Kata
daabbah makna lughawinya adalah segala makhluk yang melata di muka bumi
(termasuk hewan dan manusia).Namun secara urfi orang Arab lalu menggunakan kata
daabbah dalam arti dzawatul arba’ (hewan berkaki empat) seperti sapi,
tidak termasuk manusia.[8]
al-lughawiyah al-‘urfiyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang telah
menjadi urf (kebiasaan) orang Arab dalam mengartikan suatu kata.Contohnya kata daabbah.Kata
daabbah makna lughawinya adalah segala makhluk yang melata di muka bumi
(termasuk hewan dan manusia).Namun secara urfi orang Arab lalu menggunakan kata
daabbah dalam arti dzawatul arba’ (hewan berkaki empat) seperti sapi,
tidak termasuk manusia.[8]
3.
Makna hakiki lughawi
Makna hakiki lughawi
(Al-haqiqah
al-lughawiyah al-wadh’iyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang
menunjuk pada arti asalnya secara bahasa.Contohnya, kata rajulun
(lelaki), imra`ah (perempuan), asad (singa), jamal (unta),
saif (pedang), dan sebagainya banyak sekali.
al-lughawiyah al-wadh’iyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang
menunjuk pada arti asalnya secara bahasa.Contohnya, kata rajulun
(lelaki), imra`ah (perempuan), asad (singa), jamal (unta),
saif (pedang), dan sebagainya banyak sekali.
B. Makna majazi
اللفْظُ المُسْتَعْمَلُ فِي غَيْرِمَا وُضِعَ لَه
“suatu lafadz yang
digunakan untuk lafadz lain yang bukan tercetak dari lafadz tersebut”[9]
digunakan untuk lafadz lain yang bukan tercetak dari lafadz tersebut”[9]
المَجَاز اللَفْظُ المُسْتَعْمَلُ فِي غَيْرِمَا وُضِعَ لَهُ لِعَلاَقَةٍ مَعَ
قَرِيْنَةٍ مَانِعَةٍ مِنْ إِرَادَةِ المَعْنَى
قَرِيْنَةٍ مَانِعَةٍ مِنْ إِرَادَةِ المَعْنَى
Majazadalah : Lafadz yang digunakan pada selain makna aslinya, karena adanya
keterkaitan makna disertai Indikator yang mencegah dari pemahaman arti aslinya.[10]
keterkaitan makna disertai Indikator yang mencegah dari pemahaman arti aslinya.[10]
Seperti :
Lafadz الدُّرَرِ diartikan sebagai :
“Beberapa kalimah Fashihah” dalam ucapanmu :
“Beberapa kalimah Fashihah” dalam ucapanmu :
فُلانٌ يَتَكَلَّمُ
بِالدُّرَرِ = Dia sedang
berbicara dengan Kata-kata fasih .
بِالدُّرَرِ = Dia sedang
berbicara dengan Kata-kata fasih .
lafadz itu digunakan
pada selain arti aslinya, karena Arti aslinya adalah Beberapa Mutiara, lalu
dirubah menjadi arti ” Beberapa kalimah Fashihah” sebab
diantara arti keduanya masih ada kaitan dalam hal keindahan.
pada selain arti aslinya, karena Arti aslinya adalah Beberapa Mutiara, lalu
dirubah menjadi arti ” Beberapa kalimah Fashihah” sebab
diantara arti keduanya masih ada kaitan dalam hal keindahan.
dan Perkara yang
mencegah dalam mengartikan makna aslinya adalah Qorinah Lafadziyah : يَتَكَلَّمُ (Berbicara).
mencegah dalam mengartikan makna aslinya adalah Qorinah Lafadziyah : يَتَكَلَّمُ (Berbicara).
Majaz di bagi menjadi
dua:
dua:
1. MAJAZ ISTI’AROH
Majaz yang keterkaitan makna Aslinya dengan makna yang digunakan, itu
ada keserupaan.
ada keserupaan.
Seperti Firman Allah
SWT :
SWT :
كِتَابٌ أنْزَلْنَاهُ إلَيْكَ لِتخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى
النُّوْرِ
النُّوْرِ
“Ini adalah Kitab yang telah Kami turunkan kepadamu supaya engkau
mengeluarkan manusia dari kegelapan (Kesesatan) menuju Cahaya (Hidayah)” .( S. Ibrahim : 1)
mengeluarkan manusia dari kegelapan (Kesesatan) menuju Cahaya (Hidayah)” .( S. Ibrahim : 1)
Arti Asli Lafadz الظُّلُمَاتِdanالنُّوْرِ adalah Gelap dan
Terang.
Terang.
Arti Majaz Lafadz الظُّلُمَاتِdanالنُّوْرِ adalahالضلال (Kesesatan) danالهُدَى (petunjuk).
Lafadz الظُّلُمَاتِdanالنُّوْرِ pada ayat tersebut
digunakan pada selain arti aslinya (makna Majaz).
digunakan pada selain arti aslinya (makna Majaz).
dan kaitan antara
makna keduanya adalah adanya keserupaan
antara “Arti Kesesatan dan kegelapan” dengan wajah syabah : “sama-sama
tidak mengetahui sesuatu“, atau “Hidayah dan Cahaya” dengan
wajah syabah: “sama-sama mengetahui sesuatu”
makna keduanya adalah adanya keserupaan
antara “Arti Kesesatan dan kegelapan” dengan wajah syabah : “sama-sama
tidak mengetahui sesuatu“, atau “Hidayah dan Cahaya” dengan
wajah syabah: “sama-sama mengetahui sesuatu”
2. MAJAZ MURSAL
Majaz yang hubungan
ma’nanya tidak ada keserupaan.
ma’nanya tidak ada keserupaan.
Alaqoh dalam Majaz mursal ada 8 perkara yaitu :
1.
Sababiyah (Sebab).
Sababiyah (Sebab).
Contoh :عَظُمَتْ يَدُ فُلانٍ
عِنْدِيْ
عِنْدِيْ
“Tangan Si Fulan besar Disisiku “.(Ni’mat yang sebab
mendapatkannya dengan tangan)
mendapatkannya dengan tangan)
Mengucapkan kata Tangan dengan arti Ni’mat dikatakan sebagai Majaz
Mursal dari Mengucapkan penyebab
dengan menghendaki arti akibatnya.
Mursal dari Mengucapkan penyebab
dengan menghendaki arti akibatnya.
{إطلاق السبب على أرادة المسبب}
2.
Musabbabiyyah (akibat)
Musabbabiyyah (akibat)
Contoh :أَمْطَرَتْ
السَّمَاءُ نَبَاتًا
السَّمَاءُ نَبَاتًا
“Langit itu memberi curah hujan” (hujan yang
mengakibatkan timbulnya tanaman)
mengakibatkan timbulnya tanaman)
Mengucapkan kata نَبَاتًا (Tanaman) dengan
arti Hujan dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan Akibat
dengan menghendaki arti penyebabnya.
arti Hujan dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan Akibat
dengan menghendaki arti penyebabnya.
{إطلاق المسبب على أرادة السبب}
3.
Juz’iyyah (Sebagian)
Juz’iyyah (Sebagian)
Contoh :أرْسَلْتُ العُيُوْنَ
لِتَطَّلِعَ عَلَى أحْوَالِ العَدُوِّ
لِتَطَّلِعَ عَلَى أحْوَالِ العَدُوِّ
“Saya mengutus Intel, supaya mengawasi gerak-gerik musuh”
Mengucapkan kata العُيُوْنَ (beberapa mata) dengan arti Intel
(mata-mata) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan sebagian
dengan menghendaki arti keseluruhan{إطلاق الجزء على أرادة الكلّ}
(mata-mata) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan sebagian
dengan menghendaki arti keseluruhan{إطلاق الجزء على أرادة الكلّ}
Karena Mata merupakan bagian dari Seseorang.
4.
Kulliyah (Keseluruhan)
Kulliyah (Keseluruhan)
Contoh :وَيَجْعَلُوْنَ
أَصَابِعَهُمْ فِيْ آذانِهِمْ
أَصَابِعَهُمْ فِيْ آذانِهِمْ
“Mereka menjadikan jari-jari mereka (ujung jari) pada telinganya
“
“
Mengucapkan kata الأصابع (Jari tangan)
dengan arti الأنامل (Ujung jari) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan
keseluruhan dengan menghendaki artisebgian.
dengan arti الأنامل (Ujung jari) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan
keseluruhan dengan menghendaki artisebgian.
Karena Ujung jari
merupakan bagian dari Jari.
merupakan bagian dari Jari.
{إطلاق الكل على أرادة الجزء}
5.Memandang Asalnya
(pada masa sebelumnya).
(pada masa sebelumnya).
Contoh :وَآتُوا اليَتَامَى
أموالهُمْ أي البَالِغِيْن
أموالهُمْ أي البَالِغِيْن
“Dan berikanlah kepada Anak- anak yatim (Orang Baligh) atas
beberapa hartanya”
beberapa hartanya”
Mengucapkan kata اليتامى (Anak-anak yatim)
dengan arti البالغين (Orang Baligh) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan
Sifat sebelumnya dengan menghendaki arti Sifat yang sedang terjadi.
dengan arti البالغين (Orang Baligh) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan
Sifat sebelumnya dengan menghendaki arti Sifat yang sedang terjadi.
{إطلاق إطلاق ما كان على أرادة ما يكون}
6.Memandang sesuatu yang akan terjadi.
Contoh :إنِّيْ أرانِيْ أعصر
خمرا أي عِنبًا
خمرا أي عِنبًا
“Saya meyakini bahwa saya
sedang memeras arak (anggur).”
sedang memeras arak (anggur).”
Mengucapkan kata خمر (arak) dengan
arti عنب (Anggur) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan bentuk yang akan
terjadi dengan menghendaki arti bentuk
sebelumnya
arti عنب (Anggur) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan bentuk yang akan
terjadi dengan menghendaki arti bentuk
sebelumnya
{إطلاق ما يكون على أرادة ما كان}
7.Mahalliyah (tempat)
Contoh :قَرَّرَ المَجْلِسُ
ذالك أي أهْلُهُ
ذالك أي أهْلُهُ
“Majlis (Ahli
Majlis) itu telah menetapkan keputusan”
Majlis) itu telah menetapkan keputusan”
Mengucapkan kata المجلس (Majlis) dengan
arti اهل المجلس (Ahli Majlis) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan
tempat dengan menghendaki arti Orang yang menempati
arti اهل المجلس (Ahli Majlis) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan
tempat dengan menghendaki arti Orang yang menempati
{إطلاق المكان على أرادة الحالّ فيه}
8.Perkara yang
menempati / Keadaan (Halliyah).
menempati / Keadaan (Halliyah).
Contoh :فَفِي رَحْمَةِ اللهِ
هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْن أي جنته
هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْن أي جنته
“Dan dalam Rohmat Allah (Syurga-Nya), mereka kekal didalamnya”
Mengucapkan kata رَحْمَةِ اللهِ (Rohmat Allah) dengan arti جنته(Surga
Allah) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan Perkara yang
menempati dengan menghendaki arti Tempat.
Allah) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan Perkara yang
menempati dengan menghendaki arti Tempat.
{إطلاق الحالّ على أرادة المحلّ}
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hakiki dan Majazi
merupakan salah satu ilmu bahasa yang sangan
penting yang digunakan dalam memahami konteks atau teks khususnya lagi dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an, maka dari itu kami dapat menympulkan dari makalah
yang kami buat ini, bahwasanya Hakiki adalah lafat yang
didunakan menurut arti yang sebagaimana mestinya atau arti yang di tetapkan
baginya. Contoh: رَأَيْتُ الرّجُلَ فِي المَسْجِدِ
(saya mengetahui pemuda di dalam masjid).
merupakan salah satu ilmu bahasa yang sangan
penting yang digunakan dalam memahami konteks atau teks khususnya lagi dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an, maka dari itu kami dapat menympulkan dari makalah
yang kami buat ini, bahwasanya Hakiki adalah lafat yang
didunakan menurut arti yang sebagaimana mestinya atau arti yang di tetapkan
baginya. Contoh: رَأَيْتُ الرّجُلَ فِي المَسْجِدِ
(saya mengetahui pemuda di dalam masjid).
Majazi adalah suatu lafadz yang
digunakan untuk lafadzlain yang bukan tercetak dari lafadz tersebut.
digunakan untuk lafadzlain yang bukan tercetak dari lafadz tersebut.
Contoh: فُلانٌ يَتَكَلَّمُ
بِالدُّرَرِ =Dia sedang berbicara
dengan Kata-kata fasih .
بِالدُّرَرِ =Dia sedang berbicara
dengan Kata-kata fasih .
lafadz itu digunakan
pada selain arti aslinya, karena Arti aslinya adalah Beberapa Mutiara, lalu
dirubah menjadi arti ” Beberapa kalimah Fashihah” sebab
diantara arti keduanya masih ada kaitan dalam hal keindahan.
pada selain arti aslinya, karena Arti aslinya adalah Beberapa Mutiara, lalu
dirubah menjadi arti ” Beberapa kalimah Fashihah” sebab
diantara arti keduanya masih ada kaitan dalam hal keindahan.
Majaz dibagi menjadi dua:
1. Majaz Isti’aroh
Majaz yang
keterkaitan makna Aslinya dengan makna yang digunakan, itu ada keserupaan.
keterkaitan makna Aslinya dengan makna yang digunakan, itu ada keserupaan.
2.
Majaz Mursal
Majaz Mursal
Majaz yang hubungan ma’nanya tidak ada keserupaan.
B. KRITIK DAN SARAN
Dari makalah yang kami buat ini, pastinya banyak kesalahan dan kekurangan atau
masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mohon kritik dan saran anda,
agar makalah yang kami buat ini bisa lebih sempurna dan agar bisa membuahkan
kemanfaatan dan kebarokahan kepada seluruh manusia jami’al alamin khususnya
diri pribadi kami.
masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mohon kritik dan saran anda,
agar makalah yang kami buat ini bisa lebih sempurna dan agar bisa membuahkan
kemanfaatan dan kebarokahan kepada seluruh manusia jami’al alamin khususnya
diri pribadi kami.
DAFTAR PUSTAKA
·
Imam Akhdori, terjemah jauharul maknun (ilmu balaghoh), Al-Hidayah,
Surabaya.
Imam Akhdori, terjemah jauharul maknun (ilmu balaghoh), Al-Hidayah,
Surabaya.
·
Syeh
Zainudin ibnu Abdul Aziz, Fathul Mu’in
Syeh
Zainudin ibnu Abdul Aziz, Fathul Mu’in
·
Al hafidz Jalaluddiin Abdu ar Rahman as Suyuti,
Syarah ukudu al- Juman fi ilmi ma’ani
Al hafidz Jalaluddiin Abdu ar Rahman as Suyuti,
Syarah ukudu al- Juman fi ilmi ma’ani
·
Ali Al- Jarim dan Musthofa Usman, Al Balaaghatul Waaghihah, Sinar
Baru Algensindo, bandung 2005.
Ali Al- Jarim dan Musthofa Usman, Al Balaaghatul Waaghihah, Sinar
Baru Algensindo, bandung 2005.
·
http://berandasyariah.wordpress.com/2010/08/10/metode-pemaknaan-istilah/
http://berandasyariah.wordpress.com/2010/08/10/metode-pemaknaan-istilah/
[1] Terjemah Al- Balaaghotul Waadhihah, hal.6
[2]Abdul Qodir Hamid, Terjemah jauharul maknun (ilmu balaghoh), hal. 170
[8]Terdapat makna
hakiki urfi yang bersifat khusus, yaitu yang ditetapkan oleh para pakar dalam
setiap disiplin ilmu, misalnya istilah fa’il dan maf’ul bih di
kalangan para ahli ilmu Nahwu, istilah unsur dan senyawa di
kalangan ahli kimia, dan sebagainya. (Lihat Muhammad Husain Abdullah, op.cit.,
II/hal. 8).
hakiki urfi yang bersifat khusus, yaitu yang ditetapkan oleh para pakar dalam
setiap disiplin ilmu, misalnya istilah fa’il dan maf’ul bih di
kalangan para ahli ilmu Nahwu, istilah unsur dan senyawa di
kalangan ahli kimia, dan sebagainya. (Lihat Muhammad Husain Abdullah, op.cit.,
II/hal. 8).
[10]Husnu as- Siyaghoh, hal. 97
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.