Uncategorized

MALPU 297 – Tambo Alam Minangkabau : Penghapusan Sejarah dan Kekacauan Logika


MEMBONGKAR ADAT LAMO PUSAKO USANG – Seri 297

Oleh: H. Aulia Tasman
Gelar Depati Muaro Langkap
Tanggal 12 November 2017

Kajian MALPU berikut ini, mencoba menarik benang merah sejarah menurut Tambo-Tambo yang berada di Alam Minangkabau dan Tambo Kerinci. Tulisan utuh dari sebuah judul yang menarik yang tertulis dalam ‘minangheritage’ tanggl 17 November 2011 yang berjudul “Tambo Alam Minangkabau: Penghapsan Sejarah dan Kekacauan Logika” akan sangat menarik untuk dikaji dan direnungkan secara bersama bahwa tambo-tambo yang ada beberapa daerah mengakar dari cerita Tambo Alam Minangkabau, termasuk Tambo Kerinci, Kuantan Sanggigi, Indrapura dan lain-lainnya.

Tulisan utuh dari judul yang dimaksud disajikan dalam MALPU seri 297 dan 298, dengan harapan bahwa untuk merunut sejarah masing-masing daerah ‘sangat diperlukan’ panataan ulang periodesasi sejarahnya agar tersusun daerahnya dengan baik.

Penggalan Utuh ke – (1):
Tambo Alam Minangkabau : Penghapusan Sejarah dan Kekacauan Logika

https://minangheritage.id/2011/11/17/tambo-alam-minangkabau-penghapusan-sejarah-dan-kekacauan-logika/amp/

Tambo dalam arti yang sebenarnya adalah cerita sejarah negeri Minangkabau. Tambo-tambo lama Minangkabau didapati hampir di tiap-tiap nagari di Minangkabau yang ditulis dengan tangan dan memakai aksara Arab. Tambo-tambo tersebut sangat dimuliakan orang, bahkan adakalanya dipandang sebagai pusaka keramat. Sehingga yang memegangnya adalah kepala suku atau orang yang akan mengantikan kepala suku itu. Tidak sembarang orang yang boleh membaca, bahkan untuk membacanya harus didahului upacara khusus.

Beberapa Saduran Naskah Tambo
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Edwar Djamaris, tambo-tambo yang banyak itu ditulis dalam bahasa Melayu berbentuk prosa. Naskah Tambo Minangkabau ini sebagian besar ditulis dengan huruf Arab-Melayu, dan sebagian kecil ditulis dengan huruf latin. Naskah Tambo Minangkabau yang berhasil diketemukan sebanyak 47 naskah, masing-masing tersimpan di museum Nasional Jakarta sebanyak 10 naskah, di perpustakaan Universitas Leiden sebanyak 31 naskah, di perpustakaan KITLV Leiden Belanda sebanyak 3 naskah, di perpustakaan SOAS Universitas London 1 naskah, dan di perpustakaan RAS London 2 naskah.

Ada delapan saduran cerita Tambo Minangkabau yaitu:
• Curai Paparan Adat Lembaga Alam Minangkabau ( Dirajo 1979 dan 1984)
• Mustika Adat Alam Minangkabau (Dirajo 1953 dan 1979)
• Tambo Minangkabau ( Batuah 1956)
• Tambo Alam Minangkabau (Sango 1959)
• Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau (Basa 1966)
• Tambo Pagaruyung (Basri 1970a)
• Tambo Alam (Basri a970b)
• Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah (Mahmoed 1978)

Tujuan Penulisan Tambo
Secara umum dapat dikemukakan bahwa fungsi utama cerita Tambo Minangkabau adalah untuk menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal usul nenek moyang, adat, dan negeri Minangkabau. Hal ini dimaksudkan untuk mempersatukan masyarakat Minangkabau dalam satu kesatuan. Mereka merasa bersatu karena seketurununan, seadat dan senegeri.

A.A Navis seorang Budayawan Minang mengatakan Kisah tambo yang dipusakai turun-menurun secara lisan oleh orang Minangkabau hanya mengisahkan waktu dan peristiwa secara samar-samar, campur baur, bahkan ditambahi dengan bumbu yang kedongeng-dongengan. Adalah wajar bila kisah tambo itu mengandung berbagai versi karena tambo itu yang diceritakan oleh pencerita sesuai dengan keperluan atau kehendak pendengarnya.

Subjektivitas dan Falsafah Minang Dalam Penulisan Tambo
Terlepas dari kesamaran objektivitas historis dari Tambo tersebut namun Tambo berisikan pandangan orang Minang terhadap dirinya sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Navis, peristiwa sejarah yang berabad-abad lamanya dialami suku bangsa Minangkabau dengan getir tampaknya tidaklah melenyapkan falsafah kebudayaan mereka. Mungkin kegetiran itu yang menjadikan mereka sebagai suku bangsa yang ulet serta berwatak khas.

Mungkin kegetiran itu yang menjadi motivasi mereka untuk menghapus sejarah masa silam dengan menciptakan tambo yang kedongeng-dongengan, di samping alasan kehendak falsafah mereka sendiri yang tidak sesuai dengan falsafah kerajaan yang menguasainya. Mungkin kegetiran hidup dibawah raja-raja asing yang saling berebut tahta dengan cara yang onar itu telah lebih memperkuat keyakinan suku bangsa itu akan rasa persamaan dan kebersamaan sesamanya dengan memperkukuh sikap untuk mempertahankan ajaran falsafah mereka yang kemudian mereka namakan adat.

Cerita Sentral Tambo Alam Minangkabau

Ringkasan cerita dalam Tambo Alam Minangkabau adalah seputar pendirian masyarakat yang kini dikenal sebagai Minangkabau. Cerita bermula dari pelayaran tiga orang anak raja Iskandar Zulkarnain mencari wilayah baru. Salah seorang anaknya yaitu Sri Maharajo Dirajo (yang menjadi titik sentral cerita) akhirnya mendarat di puncak Gunung Marapi. Dari sini lah Sri Maharajo Dirajo mulai membangun masyarakatnya yang diawali dengan berpindah-pindah mencari tanah yang baik untuk ditempati dan ditanami.

Selanjutnya keturunan-keturunan mereka yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang menciptakan aturan-aturan adat untuk mengatur masyarakat yang semakin berkembang. Episode selanjutnya diteruskan oleh tambo-tambo nagari yang tersebar di setiap nagari, antara lain berkisah tentang asal muasal nenek moyang pendiri nagari-nagari tersebut.

Naskah Semacam Tambo di luar Minangkabau:

Daerah-daerah di Pesisir Timur Sumatera dan Alam Kerinci juga memiliki naskah-naskah semacam tambo dengan tujuan yang sama, diantaranya:

• Sejarah Malayu (Sulalatus Salatin) yang secara harfiah berarti Istana Para Raja. Kitab ini dipercaya di Semenanjung Malaysia dan Sumatera Selatan, tokoh sentralnya adalah Sang Sapurba (Sang Nila Utama Sri Tribuana) atau Raja Natan Sang Sita Sangkala serta Demang Lebar Daun. Sang Sapurba dipercaya sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain. Pada beberapa keterangan, Sang Sapurba ini disebut adalah orang yang sama dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671 M.

• Tombo Lubuk Jambi, dipercaya oleh masyarakat Lubuk Jambi dan Kuantan. Tokoh utamanya masih Sang Sapurba, namun bedanya di sini Sang Nila Utama disebut sebagai putra dari Sang Sapurba. Mitologi Lubuk Jambi ini berpusat pada cerita Kerajaan Kandis dan Kerajaan Koto Alang. Klimaks dari tambo ini adalah kekalahan Raja Aur Kuring dari Koto Alang dan menyingkirnya Patih dan Temenggung ke Gunung Marapi. Tambo Lubuk Jambi diceritakan turun-temurun secara rahasia atau dikenal sebagai Rahasio Penghulu.

• TAMBO ALAM KERINCI, dipercaya oleh masyarakat Kerinci. Tambo ini masih merunut pada Tambo Alam Minangkabau, meskipun tokoh utamanya telah bergeser menjadi Ninik Indar Bayang yang berangkat dari Pasumayan Koto Batu (Pagaruyung) menuju Alam Kerinci.

Masa Penulisan Tambo Alam Minangkabau
Kebanyakan naskah tambo ditulis setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau. Hal ini dibuktikan oleh tulisan pada naskah yang hampir seluruhnya ber-aksara Arab Melayu. Penulisan naskah secara besar-besaran diperkirakan dimulai setelah berakhirnya Perang Paderi atau setelah perjanjian Sumpah Sati Marapalam. Sebelumnya cerita yang dituliskan pada naskah-naskah tambo ini diturunkan secara turun-temurun dari para pemangku adat ke pemangku adat, atau lebih dikenal dengan istilah warih nan bajawek.

Penghapusan Sejarah di dalam Tambo

Sebagai mana dikatakan oleh A.A Navis, Tambo berisikan pandangan orang Minang terhadap dirinya sendiri. Di dalamnya ada subjektivitas untuk menyamarkan objektivitas historis. Penyebabnya antara lain adalah sejarah Minangkabau yang di masa lalunya pernah menjadi target penguasaan bangsa lain. Majapahit pernah menyerang Minangkabau dan Aceh pernah menduduki Pesisir Barat nya selama ratusan tahun. Subjektivitas dalam penulisan tambo ini akhirnya menghasilkan berbagai versi tambo yang beredar dan menyebar di masyarakat. A.A Navis selanjutnya mengatakan “kisah tambo yang dipusakai turun-menurun secara lisan oleh orang Minangkabau hanya mengisahkan waktu dan peristiwa secara samar-samar, campur baur, bahkan ditambahi dengan bumbu yang kedongeng-dongengan”. Walaupun demikian para penulis tambo tampaknya sepakat bahwa tambo yang ditulis haruslah menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal usul nenek moyang, adat, dan negeri Minangkabau.

Penambahan Hikayat Islam dan Penghapusan Unsur Hindu-Buddha

Dikarenakan sebagian besar tambo ditulis setelah masuknya Islam, maka pada sebagian tambo seperti Tambo Alam Minangkabau versi Datuak Sangguno Dirajo, hikayat-hikayat dan kisah-kisah yang terkait Agama Islam mulai dicampurkan ke dalam tambo, misalnya cerita soal Banjir Nabi Nuh, kisah Nabi Adam dan Puti Bidadari dari Sarugo. Pandangan keagamaan yang dianut Tarekat tertentu seperti Syatariah juga diintegrasikan ke dalam tambo seperti konsep Nur Muhammad yang dikenal dalam tasawuf.

Akibatnya beberapa unsur-unsur Hinduisme dan Buddhisme yang dianut orang Minangkabau sebelumnya dengan sengaja dihapus dari “cerita resmi”. Daerah Minangkabau sendiri secara keagamaan termasuk unik. Berdasarkan catatan I Tsing yang berkunjung tahun 671 ke Sriwijaya, ketika wilayah lain di Sumatera dikuasai Sriwijaya yang menganut Budha Hinayana, wilayah Malayu (proto Minangkabau) tidak diketahui menganut agama jenis apa. Namun dari penghormatan penduduknya terhadap Gunung Marapi, ada indikasi bahwa agama yang dianut adalah campuran Animisme dan salah satu cabang Hinduisme. Sedangkan dari falsafah adat Lareh Koto Piliang dan Bodi Chaniago, ditemukan unsur-unsur norma yang terdapat dalam ajaran Hinduisme dan Buddhisme.

Praktek penghapusan unsur kedua kepercayaan masa lampau itu antara lain diwujudkan dengan penciptaan arti baru dari istilah-istilah kelarasan dan nama-nama nagari.

Berikut adalah contohnya:
• Koto Piliang yang diberi arti baru yaitu Kata Pilihan, padahal akar katanya adalah Katta (benteng), Pili (dharma) dan Hyang (dewa), yang mencerminkan agama dan falsafah yang dianut pendirinya yaitu Hinduisme. Ada pula yang menerjemahkan Piliang dengan istilah banyak dewa. Pili mereka terjemahkan sebagai Pele/Poly (banyak). Tentu amat menggelikan ketika suku kata pertama diterjemahkan dari Bahasa Latin dan yang kedua dari Bahasa Sansekerta.

• Bodi Chaniago yang diberi arti baru Budi yang Berharga, padahal akar katanya adalah Boddhi (pohon boddhisatva) dan Can Yaga (tubuh yang bersila). Jadi dapat disimpulkan bahwa pendiri kelarasan ini adalah seorang penganut ajaran Buddha. Hal ini masih bisa dilacak dari falsafah-falsafah Bodi Chaniago dan ukiran-ukiran bermotif bunga teratai (simbol ajaran Buddha) pada rumah gadangnya.

• Pariangan yang diberi arti baru tempat beriang-riang, padahal akar katanya adalah Para Hyang (tempat dewa-dewa / tempat suci)

• Sangkayan yang diberi arti baru sangkak ayam, berasal dari kata Sanggha (jemaah) Hyang (dewa), pengikut dewa.

• Jambu Lipo yang diberi arti baru janbu lupa, padahal asal katanya adalah Jambhu Dwipa (tanah asal)

• Dan banyak lagi seperti Sungayang (Sungai Hyang) dan Suruaso (Sri Suruwasa)

Meskipun demikian tambo-tambo ini masih mengakui bahwa para nenek moyang yang datang ke Minangkabau berasal dari sebagian daerah di India Selatan, meskipun tidak menyebut agamanya. Di lain hal, gelar-gelar yang dipakai para pemangku adat dan datuak masih mempertahankan istilah-istilah bernuansa India, semisal Maharajo (Maharaj), Indo (Indra), Rajo Indo (Rajendra) dll. Sedangkan istilah datuak sendiri adalah istilah asli Nusantara (bahasa Austronesia), yaitu berasal dari kata Datu (pemimpin). …* (bersambung)

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments
To Top