Uncategorized

MALPU 298 – TAMBO ALAM MINANGKABAU: Penghapusan Sejarah dan Kekacauan Logika (2)


MEMBONGKAR ADAT LAMO PUSAKO USANG – Seri 298

Oleh: H. Aulia Tasman
Gelar Depati Muaro Langkap
Tanggal 14 November 2017

Kajian MALPU berikut ini, mencoba menarik benang merah sejarah menurut Tambo-Tambo yang berada di Alam Minangkabau dan Tambo Kerinci. Tulisan utuh dari sebuah judul yang menarik yang tertulis dalam ‘minangheritage’ tanggl 17 November 2011 yang berjudul “Tambo Alam Minangkabau: Penghapsan Sejarah dan Kekacauan Logika” akan sangat menarik untuk dikaji dan direnungkan secara bersama bahwa tambo-tambo yang ada beberapa daerah mengakar dari cerita Tambo Alam Minangkabau, termasuk Tambo Kerinci, Kuantan Sanggigi, Indrapura dan lain-lainnya.

Tulisan utuh dari judul yang dimaksud disajikan dalam MALPU seri 297 dan 298, dengan harapan bahwa untuk merunut sejarah masing-masing daerah ‘sangat diperlukan’ panataan ulang periodesasi sejarahnya agar tersusun daerahnya dengan baik.

Penggalan Utuh ke – (2):

TAMBO ALAM MINANGKABAU: Penghapusan Sejarah dan Kekacauan Logika

https://minangheritage.id/2011/11/17/tambo-alam-minangkabau-penghapusan-sejarah-dan-kekacauan-logika/amp/

Penciptaan Tokoh Sentral
Seperti pada naskah-naskah serupa tambo lainnya di pada beberapa daerah yang telah diulas di atas, Tambo Alam Minangkabau juga memerlukan seorang tokoh sentral sebagai pemersatu. Tokoh ini adalah Ninik Sri Maharajo Dirajo yang disebut sebagai putra bungsu dari Raja Iskandar Zulkarnain di Tanah Rum. Dua tokoh pencipta aturan adat Minangkabau yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang adalah keturunan dari tokoh sentral ini.

Disinyalir kedua orang inilah yang menciptakan cerita dan tokoh sentral Sri Maharajo Dirajo ini sebagai landasan konstitusi Minangkabau. Cerita tentang pelayaran yang kemudian mendarat di puncak Gunung Marapi berkemungkinan besar juga diciptakan mereka berdua. Ada perbedaan antara Duo Datuak ini dengan Sri Maharajo Dirajo, mereka berdua adalah tokoh historis dalam artian meninggalkan bukti-bukti fisik (batu batikam) dan non-fisik (aturan adat dan falsafah), sedangkan Sri Maharajo Dirajo dan beberapa pengiriangnya masih merupakan tokoh legendaris.

Kekacauan Logika Antar Versi Tambo

Dengan banyaknya versi tambo yang beredar, ditemukan beberapa ketidaksinkronan yang menyolok dalam tambo, utamanya mengenai garis keturunan. Beberapa diantaranya:

• Tokoh Cati Bilang Pandai disebut dalam Tambo Datoek Toeah sebagai pandai mas yang membuat replika mahkota Sri Maharajo Dirajo yang dibuang saudaranya ke dalam laut. Cati Bilang Pandai kemudian dibunuh setelah menyelesaikan tugasnya. Anehnya pada kesempatan lain tokoh ini kembali muncul di Pariangan, dan menjadi suami kedua janda Sri Maharajo Dirajo. Di sini dia disebut Indra Jati yang bergelar Cati Bilang Pandai. Kawin dengan Puti Indo Jelito (janda Sri Maharajadiraja) punya anak Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Puti Reno Gemilang.

Dalam versi Tambo Kerinci tokoh Indra Jati kawin dengan Indo Jelatah dan mempunyai anak Indar Bayang dan Parpatih Nan Sabatang. Tokoh sentral Indar Bayang inilah yang menjadi tokoh utama yang datang ke Kerinci bersama dengan Indra Jati dan menetap di Hiyang Tinggi. (versinya sedikit berbeda dengan cerita yang ada di daerah Minangkabau).

• Harimau Campo, Kucing Siam, Kambing Hutan dan Anjing Mualim disebutkan sebagai pendekar-pendekar dan pendiri Silek Minang, namun di tempat lain keempatnya disebut sebagai perempuan pengiring yang sudah dianggap anak sendir oleh Sri Maharajo Dirajo. Cerita lain keempat orang ini melahirkan anak perempuan yang kemudian dikawinkan dengan 4 orang tukang perahu yang memperbaiki perahu Sri Maharajo Dirajo yang kandas di Pulau Jawa dekat Gunung Serang.

• Tokoh Datuak Katumanggungan disebut sebagai anak dari Sri Maharajo Dirajo dengan Indo Jalito (adik dari Datuk Suri Dirajo), dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang adalah anak dari Indra Jati (Cati Bilang Pandai) dan Indo Jalito. Pada kesempatan lain disebut ayah dari Datuak Katumanggungan adalah Sang Sapurba (Rusa Emas dari lautan).

• Tokoh Cati Reno Sudah, tiba-tiba muncul tanpa asal usul yang jelas, dan bertindak sebagai juru runding dengan seorang nahkoda dari laut. Ia diutus oleh Datuk Suri Dirajo dan memenangkan pertandingan adu kerbau yang terkenal itu dan dua teka-teki yang diajukan sang nahkoda.

• Tokoh Sang Sapurba (Rusa Emas dari lautan) atau Raja Natan Sang Sita Sangkala. Tokoh ini disebut juga dalam mitologi Palembang sebagai menantu Demang Lebar Daun. Entah sejak kapan pula tokoh ini muncul dalam Tambo Alam Minangkabau. Dalam buku Minangkabau Tanah Pusaka, disebutkan Datuk Suri Dirajo mengawinkan Sang Sapurba ini dengan adiknya yaitu Indo Jalito. Padahal Indo Jalito adalah istri dari Ninik Sri Maharajo Dirajo pada tambo-tambo arus utama. Otomatis dalam versi ini Sang Sapurba menjadi ayah dari Datuak Katumanggungan.

Versi ini juga menyebutkan Sang Sapurba datang ratusan tahun setelah meninggalnya Ninik Sri Maharajo Dirajo. Lucunya yang memerintah pada masa itu adalah Datuk Suri Dirajo, orang yang sama yang ada di perahu Ninik Sri Maharajo Dirajo. Apakah Datuk Suri Dirajo bisa berumur ratusan tahun atau yang memerintah di zaman Sang Sapurba hanya keturunannya yang memakai gelar yang sama, tidak ada penjelasan lebih lanjut. Untuk membuat cerita versi ini rujuk dengan arus utama disebutkan pula bahwa Sang Sapurba akhirnya diberi gelar Sri Maharaja Diraja, gelar yang sama dengan nenek moyang pertama orang Minangkabau.

Selanjutnya dibuatkan tempat ibadah dan candi untuknya ditempat yang kemudian bernama Pariangan (Par Hyangan = tempat menyembah dewa). Selanjutnya adalah kisah heroik ketika Sang Sapurba dapat mengalahkan Naga Sikati Muno (Shati Muna dalam mitologi Palembang). Setelah ini baru Sang Sapurba memerintahkan pencarian tanah-tanah baru untuk pemukiman dan berdirilah Nagari Sungai Tarab, Bungo Satangkai dll. Cerita selanjutnya sama. Dampak dimasukkannya tokoh Sang Sapurba ini ke dalam tambo adalah terjadinya pergeseran waktu yang luar biasa antara mendaratnya Ninik Sri Maharajo Dirajo dengan pendirian Nagari Sungai Tarab. Inilah perbedaan yang amat mendasar antara tambo yang memuat Sang Sapurba dan yang tidak memuatnya.

• Tokoh Adityawarman. Dalam tambo versi Datuak Sangguno Dirajo Adityawarman dikisahkan sebagai seorang bergelar Sri Paduka Berhala yang datang dari laut menemui datuk yang bertiga di Pariangan (Lagundi Nan Baselo). Di saat itu timbul perbantahan diantara ninik yang bertiga mengenai Adityawarman. Datuak Katumanggungan mengatakan bahwa dia adalah raja, sedangkan menurut Datuk Parpatiah Nan Sabatang orang itu bukan raja melainkan mentri saja, dan menurut Datuk Sri Maharaja Nan Banego Nego orang itu hanya seorang utusan raja. Akhirnya datuk yang berdua menurut kepada apa yang dikatakan Datuk Katumanggungan karena beliau berniat akan mengambil orang itu sebagai semendanya. Adityawarman kemudian dikawinkan dengan adik Datuk Katumanggungan yang bernama Puti Reno Mandi, dan diberi gelar Sri Maharaja Diraja pula. Tambo versi ini akan membuat kesimpulan bahwa datuk yang berdua hidup se zaman dengan Adityawarman.

Agaknya versi ini berusaha mencocok-cocokkan tambo dengan prasasti Padang Roco yang memuat nama Dewa Tuhan Perpatih yang diterjemahkan sebagai Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Tambo ini juga berusaha mencocok-cocokkan tahun peristiwa ini dengan masa Ekspedisi Pamalayu yang dicatat dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Dalam hikayat tersebut disebutkan tokoh Patih Sewatang dari Minangkabau berhadapan dengan Patih Gadjah Mada dari Majapahit. Konsekuensi dari memasukkan penafsiran Sri Paduka Berhala sebagai Adityawarman adalah bergesernya latar cerita Ninik Sri Maharaja Diraja ke sekitar tahun 1000 M (Periode Dharmasraya), akibatnya hubungan keterkaitan Minangkabau dengan Kerajaan Malayu Tua (Minanga) yang eksis tahun 671 menjadi berantakan.

• Tokoh Dang Tuanku. Dang Tuanku sebenarnya tokoh dalam Kaba Cindua Mato, namun beberapa versi tambo dan cerita rakyat menafsirkan Dang Tuanku sebagai Adityawarman, dan Dara Jingga ibunya sebagai Bundo Kanduang. Dalam Kaba Cindua Mato tersebut ada peperangan antara Pagaruyung (sudah berbentuk kerajaan) dengan Sungai Ngiang (Kuantan Singingi) dimana berakhir dengan kekalahan Pagaruyung. Penafsiran ini agak sulit diterima akal karena Adityawarman adalah seorang panglima militer yang kuat pada zaman itu. Apalagi ia dididik di Majapahit dan pernah terlibat dalam pemadaman beberapa pemberontakan. Namun jika dihubungkan dengan Tambo Lubuk Jambi maka menurut mereka kisah Dang Tuanku ini terjadi pada abad ke 8 Masehi, se zaman dengan Kerajaan Koto Alang.

• Tokoh Indo Jalito. Indo Jalito punya banyak penafsiran pula, ia dikisahkan sebagai istri Ninik Sri Maharaja Diraja, sedangkan di lain tempat sebagai istri Sang Sapurba, bahkan ada yang menganggap dia adalah Bundo Kanduang itu sendiri.

• Tokoh Ananggawarman, putra dari Adityawarman. Dalam Tambo Pagaruyung tokoh ini disebut kawin dengan Puti Reno Dewi (anak Datuk Katumanggungan dengan Puti Samputi). Mereka dikaruniai tiga anak perempuan yaitu Puti Panjang Rambut, Puti Salareh Pinang Masak dan Puti Bungsu. Sejak Ananggawarman mangkat tahun 1417 kepemimpinan di Pagaruyung khususnya Raja Alam telah dipegang oleh Datuk Bandaro Putih – Tuan Titah IV yang juga bergelar Rajo Bagewang I yang kemudian diteruskan oleh Yang Dipertuan Sutan Bakilap Alam.
Menyoal Tokoh Asing di dalam Tambo
Dari berbagai versi tambo tersebut terjadilah sebuah jalinan cerita yang tidak logis baik secara alur, genealogis maupun latar. Sumber kekacauan tersebut tidak lain adalah keinginan sebagian penulis dan penafsir tambo untuk mencocok-cocokkan tambo dengan data-data yang diambil dari prasasti dan legenda masyarakat lain. Dari tokoh-tokoh yang dipaparkan di atas, setidaknya ada 3 tokoh besar yang sebenarnya tokoh ‘asing’ dalam tambo yaitu Sang Sapurba, Adityawarman dan Ananggawarman. Mereka dibawa ke dalam tema sentral cerita tambo oleh dua kelompok berikut:

• Kelompok Pengagung Budaya Malayu Tua. Kelompok ini merasa perlu untuk mengintegrasikan Tambo Alam Minangkabau dengan mitologi dan sejarah masyarakat di Greater Melayu (Pesisir Timur, Sriwijaya, Malaka, Jambi). Analisa kelompok ini pada umumnya didukung oleh keturunan Minangkabau yang tinggal di Malaysia. Konsep Greater Melayu ini meyakini semua kerajaan yang pernah berdiri di Tanah Melayu, yaitu eks Sundaland (termasuk di dalamnya Minangkabau) saling terhubung dan kait berkait secara silsilah dari awal abad pertama Masehi sampai sekarang.

Tokoh Sang Sapurba adalah simpul yang diperlukan untuk penyatuan kisah-kisah yang bertebaran di seluruh Tanah Melayu. Di Palembang ia dijadikan menantu Demang Lebar Daun, di Bintan dia mengawinkan anaknya dengan putri Raja Bintan, di Kuantan dia diangkat jadi raja dan di Minangkabau dia “dijerat”, dijadikan semenda oleh Datuak Suri Dirajo. Pengintegrasian Sang Sapurba ke dalam Tambo Alam Minangkabau dilakukan dengan cara menafsirkan Rusa Emas yang datang dari laut sebagai dirinya.

• Kelompok Pengagung Kerajaan Pagaruyung (keluarga bangsawan Pagaruyung). Kelompok ini mengeluarkan Tambo Pagaruyung pada tahun 1970 yang sudah memuat nama Adityawarman. Sebelum penemuan Prasasti Padang Roco dan Arca Amoghapasa di Nagari Siguntur pada tahun 1911, tidak ada ditemukan kemunculan nama Adityawarman dalam tambo-tambo yang beredar di Minangkabau. Kelompok Pagaruyung sangat bersemangat merevisi tambonya (atau lebih tepat mengarang tambonya) setelah satu persatu batu basurek (prasasti) yang dibuat Adityawarman ditemukan dan dapat diterjemahkan.

Seluruh isi Tambo Pagaruyung kemudian dikonsep ulang supaya cocok dengan fakta-fakta sejarah yang terukir di prasasti. Bahkan teori terbaru dari kelompok ini menyebutkan bahwa Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya adalah fusi/persatuan dari 3 dinasti kerajaan yang telah ada sebelumnya, yaitu Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Dharmasraya dan Kerajaan Gunung Marapi. Ketiganya di bawah Adityawarman diintegrasikan dalam satu kesatuan yaitu Kerajaan Malayapura. Tampaknya kelompok Pagaruyung berusaha pula rujuk dengan kelompok Greater Malayu dengan menggandeng Sriwijaya sebagai salah satu nenek moyangnya. Sang Sapurba oleh beberapa penafsir juga diakui sebagai nama asli dari Dapunta Hyang, pendiri Kerajaan Sriwijaya yang masih misteri itu.

Penutup
Dari ulasan di atas dapat kita pahami sebab musabab terjadinya kekacauan logika dan versi yang berupa-rupa dari tambo yang beredar di Minangkabau. Menurut A.A Navis, adalah wajar bila kisah tambo itu mengandung berbagai versi karena tambo itu yang diceritakan oleh pencerita sesuai dengan keperluan atau kehendak pendengarnya. Dus pada akhirnya kita pun sudah tahu bahwa tambo bukanlah sejarah, melainkan semacam kitab konstitusi yang dibuat pertama kali oleh Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang untuk menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal usul nenek moyang, adat, dan negeri Minangkabau itu sendiri.
Upaya mencocok-cocokkan tambo dengan sejarah etnik lain dan prasasti tidak akan serta merta membuat tambo menjadi dokumen sejarah, apalagi jika upaya tersebut dicampuri pula dengan egoisme kelompok atau egoisme keilmuan. Usaha ini hanya akan menjadi sebuah karya yang prematur yang akan ditemukan cacatnya di kemudian hari, bak kata pantun adat berikut ini:

Bulek ruponyo daun nipah
Buleknyo nyato bapasagi
Diliek rupo indak barubah
Dibukak tambuak tiok ragi

Marilah kita mulai penelitian baru dengan menempatkan tambo (dan juga warisan kehidupan yang lain seperti nama tempat, bahasa, adat kebiasaan, arsitektur, musik, kuliner, kesenian, pakaian) sebagai pembangun konteks, bukan cetak biru sejarah yang akan direka-reka.

Catatan Kaki:
Sang Sapurba dalam Mitologi Kuantan
Ketika Sang Sapurba datang, Kerajaan Kuantan tidak memiliki raja. Oleh sebab itu, kedatangan Sang Sapurba disambut gembira oleh rakyat Kuantan, baik para pembesar, pemuka masyarakat, maupun rakyat jelata. Kemudian, mereka sepakat mengangkat Sang Sapurba menjadi raja, dengan persyaratan, Sang Sapurba bersedia membunuh Naga Sakti Muna yang telah merusak ladang milik rakyat

Sang Sapurba kemudian memerintahkan hulubalangnya, Permasku Mambang untuk membunuh sang naga dengan berbekal sundang (pedang modern) pemberian Sang Sapurba. Hulubalang Permasku Mambang berhasil membunuh naga tersebut, sehingga Sang Sapurba diangkat menjadi raja di Kuantan dengan gelar Trimurti Tri Buana.

Agar membantu mempermudah memahami Tambo baik Tambo Alam Minangkabau maupun Tambo Kerinci, atau tambo-tambo lain kajian MALPU 297 dan 298 akan menguak tabir sejarah atau yang hanya merupakan legenda yang diceritakan dari satu generasi ke generasi lain. Kebenaran sejarah menuut tambo sangatlah sedikit, sehingga usaha mencocokkan dengan fakta sejarah menyebabkan tambo itu menjadi kehilangan logika sejarahnya. Artinya untuk menyusun sejarah yang baik, rujukan tambo tidak cukup kuat, dan perlu rujukan lain menurut ahli sejarah. …* (tamat)

Sumber:
http://grelovejogja.wordpress.com/2008/11/26/sekilas-tentang-tambo-alam-minangkabau/
http://mozaikminang.wordpress.com/2009/10/25/kerajaan-pertama-di-gunung-marapi/
http://mozaikminang.wordpress.com/2009/10/15/tambo-alam-minangkabau-dt-sangguno-dirajo/
http://id.wikipedia.org/wiki/Sang_Nila_Utama
http://ms.wikipedia.org/wiki/Sang_Nila_Utama

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top