PENDAHULUAN
manfaat besar bagi umat muslim. Karena biografi beliau (para ulama) akan
menginspirasi kita guna menghidupkan kembali tradisi Islam sebagai panutan
kehidupan. Mereka bukan sekedar fuqaha yang menjelaskan berbagai masalah
keagamaan atau menyimpulkan hukum-hukum syariat namun lebih dari itu. Mereka
adalah tulang punggung dimana umat Islam bertopang diatasnya. Dan diingat
sebagai pendiri madzhab Islam, pelopor pemikiran, pekerja keras dan pejuang
keadilan.
ijma’, sahabat Nabi, dan pendapat sahabat, secara hirarkis, sebagai rujukan
dalam membangun pandangan-pandangan hukum mereka. Dalam hal ini, mereka hanya
menukil dan mendeskripsikan aspek-aspek hukumnya dan menjelaskannya secara
deduktif (istidlali da istinbath). Kasus-kasus hukum yang tidak sepadan dengan
kasus-kasus hukum yang terjadi pada masa Nabi dan sahabat di respon berbeda
oleh para imam madzhab empat sejalan dengan konteks sosial, letak geografis,
dan tingkat pengetahuan mereka terhadap hadis-hadis dan fatwa-fatwa sahabat.
pemikiran dari empat imam madzhab tersebut, yaitu imam abu hanifah, meliputi
sejarah hidup, karya, guru dan murid abu hanifah, metode penetapan hukum
madzhab hanafi, kecerdasan abu hanifah, dan sebagainya.
PEMBAHASAN
A. Biografi Abu
Hanifah
Nama lengkap Abu Hanifah ialah Abu Hanifah An-Nu’man bin
Tsabit Ibn Zutha al-Taimy. Lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ia berasal
dari keturunan Parsi, Lahir di Kufah tahun 80H/699M dan wafat di Baghdad tahun
150H/767M.[1] ia
menjalani hidup di dua lingkungan sosio-politik, yakni dimasa akhir dinasti
umayyah dan masa awal dinasti Abbasiyah. Abu Hanifah adalah pendiri madzhab
hanafi yang terkenal dengan “Al-Imam Al-A’zham” yang berarti Imam terbesar. Madzhab
ini lebih banyak menggunakan akal (nalar) dalam berijtihad.
mendasarkan ajarannya dari al qur’an dan sunnah, ijma, qiyas serta istihsan.
Beliau sendiri tidak mengarang kitab, tetapi muridnyalah yang menyebarkan
pahamnya, kemudian ditulis dalam kitab-kitab mereka. Mazhab ini berkembang di
Turki, Afganistan, Pakistan, Asia tengah, India, Irak, Brazil, Amerika latin
dan Mesir[2].
birokrat. Ia menyukai kebebasan berpikir, bahkan sering memberikan kesempatan
kepada sahabat-sahabatnya untuk mengajukan keberatan terhadap jalan pikirannya.
Abu Hanifah pernah menolak jabatan qadi pada masa khalifah Marwan II dan
penolakan kedua kalinya dilakukan pada masa Abbasiyah.[3]
Hanifah, karena ia mempunyai seorang putera bernama hanifah. Menurut kebiasaan,
nama anak menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu
(Bapak/Ayah), sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Tetapi, menurut
Yusuf Musa, ia disebut Abu Hanifah, karena ia selalu berteman dengan “tinta” (dawat)
dan kata hanifah menurut bahasa arab berarti “tinta”. Abu hanifah senantiasa
membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari
teman-temannya.
dalam mengerjakan kewajiban agama. Kata hanif dalam bahasa arab berarti condong
atau cenderung kepada yang benar. Kakeknya bernama Al-Zutha penduduk asli
Kabul. ia pernah ditawan dalam suatu peperangan lalu dibawa ke kufah sebagai
budak. Setelah itu ia dibebaskan dan menerima Islam sebagai agamanya, ayahnya
bernama Tsabit, seorang pedagang sutra di kota kuffah dan abu hanifah sendiri
suka ikut berdagang, tanpa melupakan dalam menuntut ilmu pengetahuan. Abu Hanifah
pada mulanya gemar belajar ilmu qira’at, hadis, nahwu, sastra, syi’r,teologi,
dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Diantara imu-ilmu yang
diminatinya ialah teologi, sehingga ia menjadi salah seoranag tokoh terpandang
dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya ia sanggup menangkis
serangan golongan khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.
yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para ulama fiqh yang cenderung
rasional. Di Irak terdapat madrasah kuffah yang dirintis oleh Abdullah Ibnu
Mas’ud (wafat 63H/682M). Kepemimpinan madrasah kufah kemudian beralih kepada
Ibrahim al-Nakha’i, lalu Hammad ibn Abi Sulaiman al-Asy’ari (wafat 120H).
Hammad ibn Sulaiaman adalah seorang imam besar (terkemuka) ketika itu. Ia murid
dari “al-Qamah ibn Qais dan al-Qadhi Syuriah, keduanya adalah tokoh dan pakar
fiqh yang terkenal di kuffah dari golongan tabi’in. Dari Hammad ibn Abi
Sulaiman itulah Abu Hanifah belajar fiqh dan hadis. Setelah itu, Abu Hanifah
beberapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fiqh dan hadis sebagai nilai
tambah dari apa yang ia peroleh di Kufah. Sepeninggal Hammad, majlis madrasah
Kufah sepakat untuk mengangkat abu hanifah menjadi kepala madrasah.
B. Karya-Karya Abu
Hanifah
isinya mengenai hubungan dengan iman dan amal.
orang yang pertamakali mengarangkan kitab “Al-Faraidl”, suatu kitab yang khusus
menguraikan urusan pembagian pusaka sepanjang pimpinan agama Islam, dan kitab
“Asy-Syurut”, suatu kitab yang berisi khusus soal-soal perjanjian sepanjang
pimpinan agama Islam.[5]
C. Guru dan Murid
Abu Hanifah
1. Guru Abu Hanifah
Kufah, Basrah, Mekah dan Madinah. Al-Hafizh berkata, “Dia meriwayatkan dari
beberapa diantanya: Atha’ bin Abi Rabah, Asim bin Abi An-Najwad, Al-Qamah bin Martsad,
Hammad bin Sulaiman, Al-Hakam bin Utaibah, Salamah bin Kuhail, Abu Ja’far
Muhammad bin Ali, Ali bin Al-‘Aqmar, Ziyad bin Alaqah, Said bin Masru As-sauri,
Adi bin Tsabit al-Ansori, Athiyyah bin Said Al Aufi, Abu Sufyan As-Sa’di, Abdul
Karim Abi Umayyah, Yahya bin Sid Al-Ansori, Hisyam bin Urwah, dan yang lainnya.[6]
2. Murid-murid Abu Hanifah
masih dikenal diseluruh dunia Islam yaitu berikut ini:
Ibrahim ibn Habib Al-Anshari. Ia dikenal dengan sebutan Qadhi Al-Qudhah,
artinya hakim dari para hakim, sebuah jabatan tertinggi dalam lembaga
peradilan. Beliau menjadi murid Imam Abu Hanifah yang terbesar dan terkemuka,
dan banyak membantu gurunya.
asy-Syaibani.
sebuah desa di Ray Irak. Ia sering menghadiri kuliah-kuliah Abu Hanifah hingga
sang imam meninggal. Setelah itu, ia melanjutkannya dengan menimba ilmu dari
Abu Yusuf.[7]
menuntut ilmu hadis, kemudian berbalik pendirian amat suka mempelajari ilmu
akal atau ra’yi. Beliau wafat pada tahun 158 H, dan beliaulah murid Imam Hanafi
yang wafat lebih dulu dari pada yang lainnya.
belajar kepada Imam Ibnu Juraij dan lain-lainnya. Pada masa kemudian Imam
Hanafi wafat, beliau belajar kepada Imam Abu Yusuf dan selanjutnya beliau
belajar kepada Imam Muhammad bin Hasan.[8]
D. Metode Istinbath
(Penetapan) Hukum Imam Abu Hanifah
adalah penggunan akal sehat. Susunan metode pemikiran Abu Hanifah terlihat
dalam pernyataan berikut:[9]
mengambil sunnah Rasulullah SAW. jika tidak aku dapatkan di dalam kitabullah
dan sunnah Rasulullah, aku berpegang pada pendapat para sahabat. Aku mengambil
perkataan-perkataan yang ku kehendaki dan aku tinggalkan perkataan-perkataan
yang tidak ku kehendaki. Aku tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila telah
sampai urusan itu pada Ibrahim An-Nakha’i, Asy-Sya’bi, Ibnu Sirin, Al-Hasan
Al-Basri, Atha’, Sa’id Ibnul Musayyab (Abu Hanifah menyebutkan beberapa orang
ulama lagi), mereka adalah orang-orang yang telah berijtihad. Oleh karena itu,
akupun berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad.
ialah mengambil kepercayaan dan menghindari keburukan, memperhatikan muamalah
manusia, dan semua yang telah mendatangkan maslahat bagi urusan mereka. Beliau
menjalankan urusan atas qiyas. Apabila qiyas tidak baik dilakukan, beliau
melakukan istihsan atau maslahah mursalah selama dapat melakukannya. Apabila
tidak dapat dilakukan, beliau kembali pada ‘urf masyarakat dan mengamalkan
hadis yang telah terkenal dan telah disepakati para ulama. Kemudian beliau
qiyas kan sesuatu pada hadis itu selama masih dapat dilakukan qiyas, dan beliau
kembali pada istihsan. Mana diantara keduanya yang lebih tepat beliaupun
kembali padanya. [10]
baru, bahkan beliau banyak menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi. Sebagai
dasar yang beliau jadikan dalam menetapkan suatu hukum . kita dapat
menyimpulkan sebagaimana diucapkan oleh imam Abu hanifah sendiri, dalil yang
menjadi madzhab hanafi adalah:[11]
E. Cara Imam Abu
Hanifah dalam Memberikan Pengajaran
tidak menempuh jalan imla, melainkan cara menempuh cara belajar bersama. Dalam
mengemukakan suatu masalah beliau mengajak para sahabat dan para murid-muridnya
untuk berdiskusi. Sering kali dalam mempergunakan qiyas, Abu Hanifah mengungguli
para sahabatnya dan sering pula terjadi perdebatan sengit antara beliau dan
muridnya. Cara seperti ini meningkatkan ilmu dan kecerdasan bagi kedua belah
pihak, yaitu pihak yang mengajar dan pihak yang diajar.[12]
debat dan bukannya ahli catat. Beliau juga sering memperhatikan kecenderungan
murid-muridnya pada suatu ilmu. Apabila murid-muridnya ingin berdiri sendiri,
beliau langsung menganjurkannya agar mereka mengadakan majlis sendiri. Abu
Hanifah sering menguji lebih dahulu murid-muridnya yang merasa sudah kuat dan
selalu memberikan nasihat kepadanya jika mereka akan berpisah dengan beliau
atau ketika akan memegang jabatan penting.
F. Kecerdasan dan Kerajinan Imam Abu Hanifah dalam Menuntut Ilmu
memang tidak dapat digambarkan ketinggiannya. Akan tetapi paling tidak kita dapat
mengikuti pendapat para cerdik pandai dan ulama pada masa itu tentang kecerdasan
Imam Abu Hanifah, Imam madzhab yang mulia.[13]
melihat seorang lelaki yang lebih cerdik daripada Imam Abu Hanifah”.
ditimbang akal dan kecerdasan Abu Hanifah dengan akal penduduk kota ini tentu
akalnya dapat mengalahkan akal mereka”.
ketika Abu Hanifah menuntut ilmu kepada Imam Asy-Sya’bi, sang guru melihat dan
memperhatikan pribadi Abu Hanifah dan kecerdasannya maka ia pun menasihatinya
supaya rajin belajar dan mengambil tempat belajar khusus di majlis-majlis ulama
serta kaum cerdik pandai kenamaan dikala itu.
bersangkut paut dengan hukum keagamaan, lalu pengetahuan yang bertalian dengan
soal kepercayaan dengan Tuhan atau biasa yang disebut ilmu kalam. Oleh karena
itu, Abu Hanifah di kenal luas pengetahuannya tentang masalah ilmu kalam dan
kerap kali membahas atau membicarakannya, dan bertukar pikiran atau berdebat
tentang masalah ketuhanan, baik dengan kawan maupun dengan pihak lawan.
PENUTUP
Nama lengkap Abu Hanifah ialah Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Ibn Zutha
al-Taimy. Lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ia berasal dari keturunan
Parsi, Lahir di Kufah tahun 80H/699M dan wafat di Baghdad tahun 150H/767M.
karya-karyanya antara lain Al-Fiqhul Akbar, Al-‘Alim wal Muta’allim, Risalah
yang ditulis secara khusus kepada Utsman Al-Bitti yang isinya mengenai hubungan
dengan iman dan amal, dan Risalah membantah faham Qidariyah.
berpegang pada Al-Kitab, As-Sunnah, Aqwalush shahabah, Al-Qiyas, Al-Istihsan,
dan ‘Urf. Imam Abu Hanifah dalam memberikan pengajaran, beliau tidak menempuh
jalan imla, melainkan cara menempuh cara belajar bersama. Dalam mengemukakan
suatu masalah beliau mengajak para sahabat dan para murid-muridnya untuk
berdiskusi.
digambarkan ketinggiannya. Akan tetapi paling tidak kita dapat mengikuti
pendapat para cerdik pandai dan ulama pada masa itu tentang kecerdasan Imam Abu
Hanifah, Imam madzhab yang mulia.
DAFTAR PUSTAKA
Madzhab; dalam Keagungan Syariat Islam. Bandung: CV. Pustaka setia.
Madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambaly. Jakarta: Bulan Bintang
pustaka Al-Kautsar.
RajaGrafindo Persada.
CV Pustaka Setia.
Madzhab. Jakarta: Logos wacana Ilmu.
Logos wacana Ilmu, 1997), hlm. 95-97.
Syariat Islam, (Bandung: CV Pustaka setia, 2001), hlm. 172-173.
Imam Madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambaly, (Jakarta: Bulan Bintang,
1996), hlm. 76-77.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.