Agama

PROBLEM HASIL TES PPPK: ANTARA LEGALITAS DAN MORALITAS


 


Oleh: NANI EFENDI

 

Kisruh tentang hasil tes PPPK sepertinya belum menemukan titik terang. Peserta tes yang merasa dizalimi masih terus berjuang untuk mendapatkan haknya. Mereka telah melakukan berbagai upaya, mulai dari menggelar demonstrasi, melaporkan ke Ombudsman, sampai kepada menyurati Presiden. Tapi, di sisi lain, pemerintah daerah sepertinya sangat percaya diri menyatakan bahwa tak ada prosedur yang dilanggar. 

Dan DPRD—yang merupakan penyambung lidah masyarakat—juga tak banyak bicara terkait problem PPPK. Mestinya DPRD, dalam menjalankan fungsi pengawasan, harus kritis mempersoalkannya. Tapi nampaknya semua bergeming (tak bersuara). Mungkin akan menjadi catatan penilaian juga bagi masyarakat untuk tak memilih mereka kembali pada pemilu 2024 ini.

Kepmendikbud 298 memberi peluang “bermain”?

Problem hasil tes PPPK yang bisa berbeda dengan perolehan CAT peserta ternyata disebabkan oleh pelaksanaan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT). Padahal, SKTT itu sifatnya tidak wajib. Bisa dilaksanakan, bisa juga tidak. Tergantung daerah. Untuk menjaga objektivitas, sebaiknya SKTT tak usah dilaksanakan. Biarlah peserta bersaing secara fair melalui CAT. Ada yang mengatakan: tapi SKTT tak pernah dilaksanakan? Nah, itu yang mesti dipahami melalui Kepmendikbud Nomor 298 Tahun 2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja untuk Jabatan Fungsional Guru pada Instansi Daerah Tahun 2023. 

Jadi, dalam Kepmendikbud Nomor 298, SKTT itu memang tak dilaksanakan seperti pelaksanaan tes formal semisal CAT maupun wawancara, yakni dikumpulkan dalam suatu tempat. Tidak. SKTT itu hanya penilaian yang bersifat subjektif saja. Yang bersifat “pencermatan” saja. Dan pelaksanaan seperti itu diatur, memang, dalam Kepmendikbud Nomor 298.

Kepmendikbud inilah yang kita sayangkan. Mengapa Menteri Pendidikan, melalui Kepmendikbud Nomor 298 itu, memberikan peluang lagi bagi daerah-daerah untuk melakukan penilaian secara subjektif. Padahal, esensi CAT itu adalah transparansi untuk menghindarkan subjektivitas dalam penilaian. Dan, sialnya lagi, SKTT itu terjadi hanya di kalangan PPPK untuk guru saja. Oleh karena itulah, nilai CAT yang banyak berubah itu adalah kalangan peserta PPPK guru. Karena, pelaksanaan SKTT itu didasarkan pada Kepmendikbud Nomor 298.

Jadi, Kepmendikbud inilah yang memberikan celah pada pejabat di daerah-daerah untuk “mengubah” nilai peserta melalui mekanisme yang namanya “SKTT”. Artinya, secara hukum, perubahan itu “legal” atau sah secara hukum positif. Karena ada dasar hukumnya. Karena itulah mungkin pejabat daerah percaya diri menyatakan tak ada prosedur yang dilanggar. Ya, secara prosedural, mungkin ya. Tapi secara moral, Kepmendikbud ini memberi peluang bagi pejabat bisa mengubah perolehan nilai CAT peserta yang telah diperoleh dengan susah payah. Itulah yang sering dikatakan: “Dalam sistem yang baik, orang jahat bisa dipaksa menjadi baik. Tapi dalam sistem yang buruk, orang yang baik pun bisa menjadi jahat.”

Untuk lebih jelas secara teknis bagaimana bisa hasil nilai CAT berkurang atau bertambah, silakan masyarakat bisa baca sendiri Kepmendikbud 298 Tahun 2023. Bisa di-download di internet. Yang jelas saya ingin mengatakan begini: pelaksanaan tes PPPK maupun CPNS melalui CAT pada dasarnya adalah untuk menghindarkan peluang pejabat atau instansi maupun panitia seleksi untuk mengobok-obok nilai peserta. Kita tidak ingin lagi pelaksanaan tes CPNS hanya formalitas saja seperti di zaman Orde Baru. Dengan adanya sistem CAT, masyarakat puas berkompetensi secara jujur dan fair.

Lah, ini pemerintah pusat—melalui Kepmendikbud Nomor 298—kok menerapkan lagi cara-cara lama: memberikan wewenang lagi pada daerah untuk melakukan perubahan nilai CAT melalui mekanisme yang namanya “SKTT”? Ini yang kita sesalkan. Ini tak sesuai dengan semangat Reformasi ’98. 

Kepmendikbud ini memberi peluang ‘moral hazard‘ (bahaya moral). Kepmendikbud ini, atau aturan sejenis, mesti dicabut atau direvisi agar kedepannya tak ada lagi celah pejabat di daerah untuk “mengubah” nilai peserta tes PPPK maupun CPNS. Artinya, problem PPPK guru saat ini bersumber dari dasar hukumnya itu sendiri. Padahal, menurut Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (1987, h. 85), hukum itu mempunyai fungsi untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan. Karena adanya hukum, kata Magnis, kehidupan bersama masyarakat tidak ditentukan semata-mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan rasional yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak. Tetapi, hukum hanya dapat menjalankan fungsi ini apabila aturan yang ditetapkan memang baik. Dengan kata lain, hukum harus adil.

Antara legalitas dan moralitas

Sekarang kita coba memahami perbedaan legalitas dan moralitas-etis. Jadi, secara prosedural (legalitas), perubahan nilai peserta tes PPPK khusus untuk guru, mungkin legal. Karena ada Kepmendikbud yang menjadi dasar hukumnya. Tapi secara etika-moral, banyak publik, hingga hari ini, tak percaya kalau penilaian itu benar-benar jujur dan adil. Di situlah terkadang sering bertentangan antara hukum positif (legalitas) dan etika (moralitas). Tak semua yang berdasarkan hukum adalah benar secara moral. Karena Nazi membantai jutaan orang Yahudi juga berdasarkan undang-undang. 

Singkatnya begini saja: beranikah pejabat terkait, mengangkat sumpah, semisal mubahalah, bahwa mereka memberi penilaian secara jujur dan adil bukan karena ada permainan uang di belakangnya? Kalau pejabat terkait berani melakukan itu, mungkin masyarakat percaya. Tapi kalau tidak, sampai kapan pun masyarakat tak akan percaya bahwa penilaian benar-benar jujur dan fair.

Saya pikir lebih adil mengabaikan SKTT yang hanya bersifat legal-formal itu demi sesuatu yang lebih tinggi, yakni moralitas dan etika publik. Dan sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata filsuf Yunani kuno, Plato. Kata ini, saya pikir, sangat relevan dengan problem PPPK hari ini. Kata Plato, “Orang-orang baik tidak memerlukan hukum untuk bertindak secara bertanggungjawab, sementara orang jahat selalu mencari-cari celah di dalam hukum.” Maksud Plato ini: kalau seseorang memang sudah beritikad baik, ada tidaknya hukum yang mengatur, tetap ia berusaha berbuat baik; tapi sebaliknya, bagi orang yang berkarakter jahat, sekalipun sudah ada hukum yang mengatur, tetap ia berusaha mencari-cari celah di dalam hukum itu agar tujuannya bisa tercapai.

NANI EFENDIAlumnus HMI



Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top