EKOLOGI KOMUNITAS

EKOLOGI KOMUNITAS


EKOLOGI KOMUNITAS

Pengertian Komunitas. Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Komunitas memiliki derajat keterpaduan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan individu dan populasi.

Nama Komunitas. Nama komunitas harus dapat memberikan keterangan mengenai sifat-sifat komunitas tersebut. Cara yang paling sederhana, memberi nama itu dengan menggunakan kata-kata yang dapat menunjukkan bagaimana wujud komunitas seperti padang rumput, padang pasir, hutan jati.
Cara yang paling baik untuk menamakan komunitas itu adalah dengan mengambil beberapa sifat yang jelas dan mantap, baik hidup maupun tidak. Ringkasannya pemberian nama komunitas dapat berdasarkan :
1) Bentuk atau struktur utama seperti jenis dominan, bentuk hidup atau indikator lainnya seperti hutan pinus, hutan agathis, hutan jati, atau hutan Dipterocarphaceae, dapat juga berdasarkan sifat tumbuhan dominan seperti hutan sklerofil
2) Berdasarkan habitat fisik dari komunitas, seperti komunitas hamparan lumpur, komunitas pantai pasir, komunitas lautan,dll
3) Berdasarkan sifat-sifat atau tanda-tanda fungsional misalnya tipe metabolisme komunitas. Berdasarkan sifat lingkungan alam seperti iklim, misalnya terdapat di daerah tropik dengan curah hujan yang terbagi rata sepanjang tahun, maka disebut hutan hujan tropik.

Macam-macam Komunitas. Di alam terdapat bermacam-macam komunitas yang secara garis besar dapat dibagi dalam dua bagian yaitu (1) Komunitas akuatik, komunitas ini misalnya yang terdapat di laut, di danau, di sungai, di parit atau di kolam, (2) Komunitas terrestrial, yaitu kelompok organisme yang terdapat di pekarangan, di hutan, di padang rumput, di padang pasir, dll.

Struktur Komunitas
Karakter komunitas 
1) Kualitatif, seperti komposisi, bentuk hidup, fenologi dan vitalitas. Vitalitas menggambarkan kapasitas pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme.
2) Kuantitatif, seperti Frekuensi, densitas dan densitas relatif. Frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies di dalam suatu habitat. Densitas (kepadatan) dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per unit contoh, atau persatuan luas/volume, atau persatuan penangkapan
3) Sintesis adalah proses perubahan dalam komunitas yang berlangsung menuju ke satu arah yang berlangsung lambat secara teratur pasti terarah dan dapat diramalkan. Suksesi-suksesi terjadi sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitasnya dan memerlukan waktu. Proses ini berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem yang disebut klimas. Dalam tingkat ini komunitas sudah mengalami homoestosis. Menurut konsep mutahir suksesi merupakan pergantian jenis-jenis pioner oleh jenis-jenis yang lebih mantap yang sangat sesuai dengan lingkungannya.

 
Suksesi dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Suksesi primer yaitu bila ekosistem mengalami gangguan yang berat sekali, sehingga komunitas awal (yang ada) menjadi hilang atau rusak total, menyebabkan ditempat tersebut tidak ada lagi yang tertinggal dan akhirnya terjadilah habitat baru.
2) Suksesi sekunder yaitu prosesnya sama dengan yang terjadi pada suksesi primer, perbedaannya adalah pada keadaan kerusakan ekosistem atau kondisi awal pada habitatnya. Ekologi tersebut mengalami gangguan, akan tetapi tidak total, masih ada komunitas yang tersisa.

INTERAKSI 
Dalam komunitas, semua organisme merupakan bagian dari komunitas dan antara komponennya saling berhubungan melalui keragaman interaksinya. Interaksi antarkomponen ekologi dapat merupakan interaksi antarorganisme, antarpopulasi, dan antarkomunitas.

1. Interaksi antar organisme
Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari populasi lain. Interaksi demikian banyak kita lihat di sekitar kita.
Interaksi antar organisme dalam komunitas ada yang sangat erat dan ada yang kurang erat. Interaksi antarorganisme dapat dikategorikan sebagai berikut.
1) Netral adalah hubungan tidak saling mengganggu antarorganisme dalam habitat yang sama yang bersifat tidak menguntungkan dan tidak merugikan kedua belah pihak, disebut netral. Contohnya : antara capung dan sapi.
2) Predasi adalah hubungan antara mangsa dan pemangsa (predator). Hubungan ini sangat erat sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup. Sebaliknya, predator juga berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa. Contoh : Singa dengan mangsanya, yaitu kijang, rusa,dan burung hantu dengan tikus.
3) Parasitisme adalah hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, bilasalah satu organisme hidup pada organisme lain dan mengambil makanan dari hospes/inangnya sehingga bersifat merugikan inangnya. Contoh : Plasmodium dengan manusia, Taeniasaginata dengan sapi, dan benalu dengan pohon inang. 
4) Komensalisme adalah merupakan hubunganantara dua organisme yang berbeda spesies dalam bentuk kehidupan bersama untuk berbagi sumber makanan; salah satu spesies diuntungkan dan spesies lainnya tidak dirugikan. Contohnya anggrek dengan pohon yang ditumpanginya.
5) Mutualisme adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Contoh, bakteri Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-kacangan.

2. Interaksi Antarpopulasi
Antara populasi yang satu dengan populasi lain selalu terjadi interaksi secara langsung atau tidak langsung dalam komunitasnya.Contoh interaksi antarpopulasi adalah sebagai berikut.
Alelopati merupakan interaksi antarpopulasi, bila populasi yang satu menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain. Contohnya, di sekitar pohon walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain karena tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik. Pada mikroorganisme istilah alelopati dikenal sebagai anabiosa.Contoh, jamur Penicillium sp. dapat menghasilkan antibiotika yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu.
Kompetisi merupakan interaksi antarpopulasi, bila antarpopulasi terdapat kepentingan yang sama sehingga terjadi persaingan untuk mendapatkan apa yang diperlukan. Contoh, persaingan antara populasi kambing dengan populasi sapi di padang rumput.

3. Interaksi Antar Komunitas
Komunitas adalah kumpulan populasi yang berbeda di suatu daerah yang sama dan saling berinteraksi. Contoh komunitas, misalnya komunitas sawah dan sungai. Komunitas sawah disusun oleh bermacam-macam organisme, misalnya padi, belalang, burung, ular, dan gulma. Komunitas sungai terdiri dari ikan, ganggang, zooplankton, fitoplankton, dan dekomposer. Antara komunitas sungai dan sawah terjadi interaksi dalam bentuk peredaran nutrien dari air sungai ke sawah dan peredaran organisme hidup dari kedua komunitas tersebut.
Interaksi antarkomunitas cukup komplek karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga aliran energi dan makanan. Interaksi antarkomunitas dapat kita amati, misalnya pada daur karbon. Daur karbon melibatkan ekosistem yang berbeda misalnya laut dan darat. 

4. Interaksi Antarkomponen Biotik dengan Abiotik
Interaksi antara komponen biotik dengan abiotik membentuk ekosistem. Hubunganantara organisme dengan lingkungannya menyebabkan terjadinya aliran energi dalam sistem itu. Selain aliran energi, di dalam ekosistem terdapat juga struktur atau tingkat trofik, keanekaragaman biotik, serta siklus materi. 
Dengan adanya interaksi-interaksi tersebut, suatu ekosistem dapat mempertahankan keseimbangannya. Pengaturan untuk menjamin terjadinya keseimbangan ini merupakan ciri khas suatu ekosistem. Apabila keseimbangan ini tidak diperoleh maka akan mendorong terjadinya dinamika perubahan ekosistem untuk mencapai keseimbangan baru.

STRUKTUR KOMUNITAS
A. Karakter kominitas 
1. Kualitatif, seperti komposisi, bentuk hidup, fenologi dan vitalitas. 
Vitalitas menggambarkan kapasitas pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme.
2. Kuantitatif, seperti Frekuensi, densitas dan densitas relatif.
Frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies di dalam suatu habitat.

Jumlah unit contoh di mana sp. A ditemukan
FK A = ———————————————————- x 100%
Jumlah semua unit contoh

Apabila 
FK = 0%-25% : Kehadiran sangat jarang (aksidental)
FK = 25%-50% : Kahadiran jarang (assesori)
FK = 50%-75% : Kehadiran sedang (konstan)
FK = 75%-100% : Kehadiran absolut

Jumlah individu jenis A
K jenis A = —————————————- x 100 %
Σ unit contoh/luas/volume

Densitas (kepadatan) dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per unit contoh, atau persatuan luas/volume, atau persatuan penangkapan
3. Sintesis, seperti kehadiran dan konstansi, fidelitas, dominansi, indeks diversitas, indeks similiaritas, dsb.

Dalam analisa komunitas, dikenal istilah keanekaragaman spesies. Dalam menentukan indeks keragaman tersebut, ada beberapa metode analisa yang dapat digunakan, antara lain Indeks Margalelef, Indeks Simpson, Indeks Menhenick, Indeks Brillouin, dan Indeks Shanon. Sedangkan indeks similiaritas biasanya dianalisa dengan indeks equitabilitas (e) dengan nilai kisaran antara 0-1. 

Ada tujuh faktor yang mempengaruhi keanekaragaman spesies, yaitu :
1. Heterogenitas habitat
2. kompetisis
3. ekologi lingkungan
4. predasi
5. stabilitas lingkungan
6. habitat yang produktif
7. waktu

 
DESKRIPSI DAN ANALISIS VEGETASI FLORISTIKA DAN NON FLORISTIKA
(materi ini diambil untuk kepentingan terbatas berasal dari: http://zaifbio.wordpress.com/2009/01/30/deskripsi-dan-analisis-vegetasi-floristika-dan-non-floristika/ 

Vegetasi di definisikan sebagai mosaik komunitas tumbuhan dalam lansekap dan vegetasi alami diartikan sebagai vegetasi yang terdapat dalam lansekep yang belum dipengaruhi oleh manusia (Kuchler, 1967). Ilmu vegetasi sudah dimulai hampir tiga abad yang lalu. Mula-mula kegiatan utama yang dilakukan lebih diarahkan pada diskripsi dari tentang alam dan vegetasinya. Dalam abad ke XX usaha-usaha diarahkan untuk menyederhanakan eskripsi dari vegetasi dengan tujuan untuk untuk meningkatkan keakuratan dan untuk mendapatkan standart dasar dalam evaluasi secara kuantitaif. Berbagai metode analisis vegetasi dikembangkan, dengan penjabaran data secara detail melalui cara coding dan tabulasi. Berbagai metode yang digemari dan banyak diterima oleh banyak pakar adalah dari Raun kiaer (1913, 1918), Clements (1905, 1916), Du Rietz (1921, 1930), Braun (1915), dan Braun Bienquet (1928). Deskripsi umum dari vegetasi dan komunitas tumbuhan melalui bentuk hidup dan species dominan adalah tekanan pada zaman yang telah lalu.

Indonesia membentang sepanjang lebih dari 5000 km dari barat sampai ke timur dan luasan lahannya mencakup anekaragam Vegetasi lahan kering dan rawa. Penelaahan biologi, termasuk penelitian Vegetasi di Indonesia belum terlalu banyak, baru kulitnya saja, meskipun telah dimulai sejak permulaan abad ke-18. Uraian sejarah penelitian yang dilaksanakan sebelum tahun 1945 disarikan dalam buku Science and Scientists in Netherlands Indies (Honig and Verdoorn, 1945) dan kemudian Chronica Naturae, volume 106 (6) pada 1950. Penelitian Vegetasi dan ekologi, termasuk ekologi tumbuhan, terutama menyangkut eksplorasi flora dan fauna serta inventarisasi, pertelaan berdasarkan pengamatan visual, peri kehidupan, dan sampai tingkat tertentu faktor ekologi. Banyak hasil penelitian ini diterbitkan dalam jurnal ilmiah yang terbit di Indonesia, antara lain Tropische Natuur, Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, Treubia, Bulletin du Jardin Botanique de Buitenzorg, dan Annales du Jardin Botanique de Buitenzorg
Di Indonesia Perkembangan penelitian Vegetasi sampai tahun 1980 telah dilaporkan oleh Kartawinata (1990), yang mengevaluasi pustaka yang ada mengenai Vegetasi dan ekologi tumbuhan di Indonesia, menunjukkan bahwa bidang ini belum banyak diteliti. Banyak dari informasi tentang ekologi tumbuhan dalam berbagai pustaka seperti serie buku Ekologi Indonesia (misalnya MacKinnon dkk., 1996 dan Whitten dkk.,1984) berdasarkan berbagai penelitian di Malaysia. Berbagai penelitian sebagian besar terfokus pada ekosistem hutan, terutama hutan pamah dipterokarp (lowland dipterocarp). Sebagian besar informasi untuk kawasan fitogeografi Malesia (Brunei, Filipina, Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste) telah disintesis oleh Whitmore (1984) dalam bukunya Tropical Rain Forests of the Far East. Data vegetasi biogeografi dan ekologi tentang Papua New Guinea (misalnya Paijmans, 1976; Gressitt, 1982; Johns, 1985, 1987a,b; Brouns, 1987; Grubb dan Stevens 1985) dapat diterapkan untuk Papua

Analisis vegetasi
Para pakar ekologi memandang vegetasi sebagai salah satu komponen dari ekosistem, yang dapat menggambarkan pengaruh dari kondisi-kondisi faktor lingkungn dari sejarah dan pada fackor-faktor itu mudah diukur dan nyata. Dengan demikian analisis vegetasi secara hati-hati dipakai sebagai alat untuk memperlihatkan informasi yang berguna tentang komponen-komponen lainnya dari suatu ekosistem.

Ada dua fase dalam kajian vegetasi ini, yaitu mendiskripsikan dan menganalisa, yang masing-masing menghasilkan berbagi konsep pendekatan yang berlainan. Metode manapun yang dipilih yang penting adalah harus disesuaikan dengan tujuan kajian, luas atau sempitnya yang ingin diungkapkan, keahlian dalam bidang botani dari pelaksana (dalam hal ini adalah pengetahuan dalam sistimatik), dan variasi vegetasi secara alami itu sendiri (Webb, 1954).
Pakar ekologi dalam pengetahuan yang memadai tentang sistematik tumbuhan berkecenderungan untuk melakukan pendekatan sacara florestika dalam mengungkapkan suatu vegetasi, yaitu berupa komposisi dan struktur tumbuhan pembntuk vegetasi tersebut.
Pendekatan kajianpun sangat tergantung kepada permasalahan apakah bersifat autekologi atau sinetologi, dan juga apakah menyangkut masalah produktivitas atau hubungan sebab akibat. Pakar autelogi biasanya memerlukan pengetahuan tentang kekerapan atau penampakan dari suatu species tumbuhan, sedangkan pakar senitologi berkepentingan dengan komunitas yaitu problema yang dihadapi sehubungan dengan keterkaitan antara alam dengan variasi vegetasi. Pakar rkologi produktivitas memerlukan data tentang berat kering dan kandungan kalori yang dalam melakukannya sangat menyita waktu dan juga bersifat destruktif.
Deskripsi vegetasi juga memerlukan bagian yang integral dengan kegiatan survey smber daya alam, misalnya sehubungan dengan investarisasi kayu untuk balok dihutan,dan menelaah kapasitas tamping suatu lahan untuk sutu tujuan ternak atau penggembalaan.pakar, tanah, dan sedikit banyak pakar geologi dan pakar iklim tertarik dengan vegetasi sebagai ekspresi dari factor – factor yang mereka pelajari.
Kehutanan memerlukan penelaahan tentang komposisi spesies tumbuhan sebagai penunjuk (indicator) potensi dari tapak sebagai bahan bantu dalam menentukan jenis kayu yang ditanam. Dalam mendiskripsikan suatu vegetasi haruslah dimulai dari suatu titik pandang bahwa vegetasi merupakan suatu pengelompokan dari tubuh – tumbuhan yang hidup bersama dialam suatu tempat tertentu yang mungkin dikarakterisasi baik oleh spesies sebagai komponennya, maupun oleh kombinasi dari struktur dan fungsi sifat – sifatnya yang mengkarekterisasi gambaran vegetasi secara umum atau fisiognomi.
Metode dengan pendekatan secara fisignomi tidak memerlukan identifikasi dari species dan sering lebih berarti hasilnya untuk gambaran vegetasi dengan skala kecil (area yang luas),atau untuk gambaran habitat bagi disiplin ilmu lainnya.misalnya pakar hewan menghendaki deskripsi vegetasi yang dapat dipakai untuk menggambarkan relung atau nisia,habitat dan sumber pakan untuk hewan.
Metode berdasarkan komposisi atau floristika species lebih bermanfaat untuk menggambarkan vegetasi engan skala besar ( area yang sempit )yang lebih detail,yang biasannya dipergunakan oleh pakar dieropa daratan dalam klasifikasi vegtasi dan pemetaan pada skala yang besar dan sangat rinci.

Beberapa metode analisis vegetasi
Dalam ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai metode untuk menganalisis suatu vegetasi yang sangat membantu dalam mendekripsikan suatu vegetasi sesuai dengan tujuannya. Dalam hal ini suatu metodologi sangat berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan dalam bidang-bidang pengetahuan lainnya, tetapi tetap harus diperhitungkan berbagai kendala yang ada (Syafei, 1990).

Metodologi-metodologi yang umum dan sangat efektif serta efisien jika digunakan untuk penelitian, yaitu metode kuadrat, metode garis, metode tanpa plot dan metode kwarter. Akan tetapi dalam praktikum kali ini hanya menitik beratkan pada penggunaan analisis dengan metode garis dan metode intersepsi titik (metode tanpa plot) (Syafei, 1990).
Metode garis merupakan suatu metode yang menggunakan cuplikan berupa garis. Penggunaan metode ini pada vegetasi hutan sangat bergantung pada kompleksitas hutan tersebut. Dalam hal ini, apabila vegetasi sederhana maka garis yang digunakan akan semakin pendek. Untuk hutan, biasanya panjang garis yang digunakan sekitar 50 m-100 m. sedangkan untuk vegetasi semak belukar, garis yang digunakan cukup 5 m-10 m. Apabila metode ini digunakan pada vegetasi yang lebih sederhana, maka garis yang digunakan cukup 1 m (Syafei, 1990).
Pada metode garis ini, system analisis melalui variable-variabel kerapatan, kerimbunan, dan frekuensi yang selanjutnya menentukan INP (indeks nilai penting) yang akan digunakan untuk memberi nama sebuah vegetasi. Kerapatan dinyatakan sebagai jumlah individu sejenis yang terlewati oleh garis. Kerimbunan ditentukan berdasar panjang garis yang tertutup oleh individu tumbuhan, dan dapat merupakan prosentase perbandingan panjang penutupan garis yang terlewat oleh individu tumbuhan terhadap garis yang dibuat (Syafei, 1990). Frekuensi diperoleh berdasarkan kekerapan suatu spesies yang ditemukan pada setiap garis yang disebar (Rohman, 2001).
Sedangkan metode intersepsi titik merupakan suatu metode analisis vegetasi dengan menggunakan cuplikan berupa titik. Pada metode ini tumbuhan yang dapat dianalisis hanya satu tumbuhan yang benar-benar terletak pada titik-titik yang disebar atau yang diproyeksikan mengenai titik-titik tersebut. Dalam menggunakan metode ini variable-variabel yang digunakan adalah kerapatan, dominansi, dan frekuensi (Rohman, 2001).
Selain menggunakan kedua metode di atas namun, secara garis besar metode analisis dalam ilmu vegetasi dapat dikelompokkan dalam dua perbedaan yang prinsip, yaitu:
a. Metode diskripsi dan
b. Metode non diskripsi

Metode destruktif
Metode ini biasanya dilakukan untuk memahami jumlah materi organik yang dapat dihasilkan oleh suatu komunitas tumbuhan. Variable yang dipakai bisa diproduktivitas primer, maupun biomasa. Dengan demikian dalam pendekatan selalu harus dilakukan penuain atau berarti melakukan perusakan terhadap vegetasi tersebut.

Metode ini umumnya dilakukan untu bentuk bentuk vegetasi yang sederhana, dengan ukuran luas pencuplikan antara satu meter persegi sampai lima meter persegi. Penimbangan bisa didasarkan pada berat segar materi hidup atau berat keringnya. Metode ini sangant membantu dalam menentukan kualitas suatu padang rumput denan usaha pencairan lahan penggembalaan dan sekaligus menentukan kapasitas tampungnya. Pendekatan yang terbaik untuk metode ini adalah secara floristika, yaitu didasarkan pada pengetahuan taksonomi tumbuhan.

Metode non-destruktif
Metode ini dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yaitu berdasarkan penelaahan organism hidup/tumbuhan tidak didasarkan pada taksonominya,sehingga dikenal dengan pendekatan lainnya adalah didasarkan pada penelaahan organisma tumbuhan secara taksonomi atau pendekatan floristika.

Metode non-destruktif,non-floristika
Metode non-floristiaka tealah dikembangkan oleh banyak pakar vegetasi. Seperti Du Rietz (1931), Raunkiaer (1934), dan Dansereau (1951). Yang kemudian diekspresiakan oleh Eiten (1968) dan Unesco (1973). Danserau membagi dunia tumbuhan berdasarkan berbagai hal, yaitu bentuk hidup, ukuran, fungsi daun, bentuk dan ukuran daun, tekstur daun, dan penutupan. Untuk setiap karakteristika di bagi-bagi lagi dalam sifat yang kebih rinci, yang pengungkapannya dinyatakan dalam bentuk simbol huruf dan gambar.

Bentuk HidupMetode ini, klasifikasi bentuk vegetasi, biasanya dipergunakan dalam pembuatan peta vegetasi dengan skalakecil sampai sedang, dengan tujuan untuk menggambarkan penyebaran vegetasi berdasarkan penutupannya, dan juga masukan bagi disiplin ilmu yang lainnya (Syafei,1990).
Metode telah banyak dikembangkan oleh berbagai pakar ilmu vegetsi, seperti Du Rietz (1931) ; Raunkiaer (1934) dan Dansereau (1951). Yang kemudian diekspresikan juga dengan cara lain oleh Eiten (1968) dan UNESCO (1973).
Untuk memahami metode non floristika sebaiknya kita kaj dasar-dasar pemikiran dari beberapa pakar tadi. Pada prinsipnya mereka berusaha mengungkapkan vegetasi berdasarkan bentuk hidupnya, jadi pembagian dunia tumbuhan secara taksonomi sama aekali diabaikan, mereka membuat klasifikasi tersendiri dengan dasar-dasar tertentu.

Sistem Klasifikasi dan Bentuk hidup
Klasifikasi sistematis pada masyarakat tumbuhan menerima suatu daya dorong khusus melalui Braun-Blanquet, yang mengkombinasikan banyak inisiasi dari para pendahulunya kedalam suatu rencana yang meyakinkan. Sistem phytosociology-nya (1928,1932) diterima sangat baik di seluruh dunia, dan telah mempengaruhi pengembangan Ilmu pengetahuan Tumbuh-Tumbuhan Eropa dalam beberapa dekade. Hirarki unit sistemat isnya sengaja dipolakan setelah pengetahuan vegetasi akan menemukan suatu akhir dalam penetapan, penamaan, dan penerapan seperti classcategories terpadu. 

Kecenderungan ini tidak sesuai dengan niat asli Braun-Blanquet. Di dalam cetakan pertama buku terkenalnya, ia mengabdikan lebih dari separuh ruang untuk ekologi didalam pengert ian yang sesuai, yaitu untuk hubungan fungsional dan hubungan sebab akibat. Hubungan masyarakat tumbuhan pada habitatnya menjadi penekanan oleh banyak pengarang. seperti Unger (1836), Sendtner (1854) Drude (1896), Warming (1909), Schimper (1898), Schroter (1904), dan banyak orang yang lain. Beberapa dari mereka, khususnya Warming Dan Drude (1913), membuat hubungan lingkungan, dasar studi vegetasi-nya. Mereka juga mengembangankan sistem klasif ikasi tumbuhan menurut lingkungannya. Ilmu pengetahuan Tumbuh-Tumbuhan menjadi suatu cabang ekologi yang penting di sekitar peralihan abad itu. Pemahaman ini menjadikan definisi ekologi dikenal dan ditafsirkan dalam semua negara-negara yang berbahasa Inggris. 
Saat ini, kecenderungan nampak mempengaruhi arah dari studi-studi hubungan lingkungan. Penggunaan dari kriteria lingkungan untuk mencirikan masyarakat tumbuhan menjadi lebih umum, dan usaha hingga mencapai suatu sintesis tentang floristic dan perlakuan ekologi vegetasi (Krajina 1969, Daubenniire 1968). Penekanan tertentu diberikan untuk menjelaskan penelitian ekologi pada komunitas tunggal.(Odum 1959, Ovington 1962). Bersamaan dengan ini terjadi suatu perubahan pent ing dalam metodametoda sepanjang dekade terakhir. Pengarang yang lebih awal bekerja sebagian besar secara deduktif dan menggambarkan ekologis mereka dan bahkan kesimpulan fisiologis dari perbandingan pengamatan di lapangan, tanpa mencoba untuk mendukungnya dengan eksperimen. Berlainan dengan penyelidik modern yang bekerja secara induktif dan menggunakan eksperimen untuk meningkatkan ketelit ian dari kesimpulan mereka.

Analisis kuantitatif komunitas
Konsep komnitas termasuk konsep tertua dalam ekologi.pada tahun 1844 Edward Forbes, dosen botani pada kings college, London, mempelajari distribusi binatang laut di laut Aegean. Dia menyimpulkan adanya delapan daerah kedalaman yang dibdakan satu sama lain oleh kelompok spesies yang ada di dalamnya( kormondy, 1965) kemudian karl mobius (1877),ahli tidak hanya didiami oleh tiram sendiri, tetapi didiami binatang – binatang lain. Setiap tempat tinggal merupakan suatu kehidupan dimana sejumlah spesies dan individu – individu satu sama lain dibatasi, dan selanjtnya terjadi seleksi dan pemilikan teitori tertentu.ruang dan makanan merupakan kebutuhan pertma setiap komunitas social. Berdasarkan alas an ini, Eugene warming (1909), ahli botani Denmark, menyimpulkan spesies tertentu bahwa membentuk kelompok alami,dengan kata lain membentuk kelompok alami,dengan kata lain membentuk komonitas, yang memperlihatkan kombinasi bentuk pertumbuhan.

Diskontinyuitas relative
Komunias komunitas tanaman digunakan sebagai model organisassi komunitas. Banyak ekolog membuktikan bahwa pada bbeberapa keadaan, vegetasi membuntuk continuum, pada keadaan yang lain vegetasi membentuk komunitas yang berbeda dan sebagian besar vegetasi berada dimana mana diantara kondisi tersebut. Yang peril di peranyakan adalah: factor factor apa yang menentukan kontyutas vegetasi (beals, 1969). Beals mengjukan hipotesa bahwa kontinyutas komunitas merupakan fungsi kontinyutas lingkungan. Jika gradient tajam atau curam, komposisi komunitas bisa berubah secara perahan, komposisi komunitas juga akan berubah secara perlahan.

Banyak ekolog eropa menggunakan metiode semi komunikatf untuk mengklsifikasikan komunitas. Metode ini diberi nama sesuai denga penemunya yaitu braun-blantquet (1951).daftar spesies dari sejumlah tegakan kemudian digunakan untuk menetukan ketetapan yaitu proporsi spesies yang ada ddiseluruh tegakan. Satua dari klasifikasi adalah pencampuran, sutu abstaksi yang terdaftar dari spesies yang beraal dari banyak tempat. Spesies dengan constancy intermediate (sedang) digunakan untuk menentukan percampuran, karena baik spesies tersebut ada disetiap tempat maupun hanya ada pada sedikit tempat, tidak berguna untuk pemisahan tipe tipe komunitas (muller-dombis dan ellenberg,1974). Kebenaran spesies ( a spesies fidelity) penting sekali dalam menentukan percampuran. Spesies yang bisa dipercaya (faithful spesies), terbatas pada tipe komunitas tertentu dan digunakan untuk mendiaknosa komunitas.
Selain itu untuk menentukan apakah suatu spesies cenderung berada bersama beberapa spesies dan tidak ada dengan kehadiran spesies lainya, maka Agmew (1961) mencatat kehadiran spesies di 99 paya (marsh) di North Wales. Tanaman utama dalam paya yang dijadikan sampel adalah gelaga (rush), Juncus efufus. Keberadaan spesies yang kurang dari 5 kali, dihilangkan sehingga tingal 53 spesies yang dihitung nilai X2 nya. Di dalam paya-paya, beberapa spesies yang bercampur secara positif dan negativ. Pencampuran positif dihasilkan jika spesies terjadi dalam komunitas secara bersamaan dan tidak terjadi tanpa kehadiran spesies lainnya. Pencampuran negatif dihasilkan jika spesies tidak terjadi bersamaan. Dia tidak menggunakan spesies yang hanya memiliki satu kali pencampuran dari 20 kali pencampuran.
Analisa ini menggunakan bahwa kelompok spesies bercampur dengan spesies lainyya. Dan menunjukan adanya sekelompok spesies tertentu yang cenderung berada bersama-sama di payau tersebut dan tipe komunitas tersebut dapat dikenali dengan metode yang obyektif. Akan tetapi, tidak satupun dari kelompok tersebut terisolasi secara sempurna terhadap kelompok lain, bermacam – macam spesies berhubungan di antara kelompok tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Jumin, Hasan Basri. 1992. Ekologi Tanaman. Rajawali Press: Jakarta
Michael, P. 1995. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. UI Press: Jakarta.
Rahardjanto, Abdulkadir. 2001. Ekologi Umum. Umm Press: Malang.
Rohman, Fatchur dan I Wayan Sumberartha. 2001. Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan. JICA: Malang.
Syafei, Eden Surasana. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. ITB: Bandung.
Wolf, Larry dan S.J McNaughton. 1990. Ekologi Umum. UGM Press: Jogjakarta.


Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top