Catatan

DEKONSTRUKSI: MEMAHAMI FILSAFAT DERRIDA


 


Oleh: NANI EFENDI

 

Ide besar yang dibawa oleh filsuf Prancis Jacques Derrida adalah “dekonstruksi”. Yang intinya: tak ada struktur, tak ada
kebenaran yang pasti. Dan mungkin juga, kata Fahruddin Faiz, termasuk pemikiran
Derrida sendiri. Derrida tak mau dipatok, tak mau disetir oleh aliran atau
metode apa pun. Yang penting berpikir. Derrida juga evokatif. Artinya, dia
membangunkan orang untuk berpikir dan mencari konteks sendiri. Berpikir dengan
mempertimbangkan berbagai hal di sekeliling kita.

Teks menurut Derrida, maknanya
tidak satu. Itu asumsi paling dasar dari pikiran-pikiran Derrida. Itu khas
post-modern. Hampir semua tulisan-tulisan Derrida, gagasan-gagasan Derrida itu
sifatnya komentar, tafsir terhadap karya siapa saja yang ingin dia bahas.
Semacam syarah. Tapi, kata Fahruddin Faiz, Derrida ini lebih kepada takwil:
menafsirkan dengan tidak setia pada makna asalnya. Jadi, ia semacam tafsir yang
melahirkan makna baru secara terus-menerus. Tafsir yang memproduksi teks, bukan
reproduksi. Derrida menulis, mengomentari. Tapi hasil komentar dia itu
melahirkan teks baru. Kadang-kadang komentarnya lebih panjang dari teks
aslinya.

Kata Fahruddin Faiz, kalau ada di
antara kita yang ingin menjadi penulis, tapi susah cari ide, cari saja tulisan para
penulis besar, komentari, kritik. Yang penting melahirkan ide baru dari sana.
Itu tidak apa-apa. Kita terkadang buntu mau menulis apa, kita ambil buku Cak
Nur, misalnya, kita olah menjadi versi kita, dan itu pasti akan melahirkan teks
baru. Itu merupakan pembacaan yang produktif, tidak repetitif
(mengulang-ulang). Jadi, membaca versiku. Sesuai aku. Tak setia lagi dengan
maksudnya si pengarang. Itu yang disasar oleh Derrida. Itulah yang disebut
“dekonstruksi”. Ketika seseorang membaca teks lagi, ia sedang
meletakkannya dalam konteks yang baru, dan dengan demikian sedang memproduksi
makna baru.

Teks tak hanya yang
tertulis

Kalimat paling terkenal dari
Derrida adalah: “Nothing outside the text; tidak ada yang di luar
teks”. Maksudnya, semua yang dipahami, semua yang punya makna, yang bisa
dioleh dengan akal budi, itulah teks. Tak mesti tulisan. Tak harus dalam bentuk
teks buku. Bagi Derrida, lukisan, bangunan, lembaga, bahkan ngaji filsafat pun,
kata Fahruddin Faiz, juga sejenis teks. Kalau istilah Gadamer, segala yang bisa
dipahami itu merupakan bahasa (teks). Jadi, maksudnya, jelas Fahruddin Faiz,
teks tidak selalu yang tertulis. Makna tidak ada di dalam teks, tapi merupakan
hasil membacanya. Ini bisa kita bandingkan dengan “iqra'” dalam
Islam.

Semua yang bisa dipahami, itulah
teks. Semua yang punya makna bagi kita, itulah teks. Jika sesuatu itu tidak
dipahami, maka ia bukan teks. Orang SAD (Suku Anak dalam) diberikan smartphone,
misalnya, tapi dia tak mengerti itu alat apa, dan itu tidak bermakna bagi dia,
maka itu bukan teks. Teks itu ialah segala yang bermakna. Bahkan, teks yang
sama, dibaca berulang-ulang dapat melahirkan teks baru.

Menurut Fahruddin Faiz,
dekonstruksi itu isinya dua: deskripsi dan transformasi. Yaitu, menggambarkan
maksud teks, sekaligus mengubah dan mengembangkan dalam makna baru, sesuai
versi kita. Jadi, lebih lanjut Fahruddin Faiz menjelaskan, dekonstruksi
meskipun tak bisa didefinisikan, tapi anggap saja adalah sebuah strategi untuk
mendekati teks, kemudian membongkarnya, mempertanyakan asumsi-asumsi awalnya
yang dianggap pasti benar.

Makna sesuatu itu tak tergantung
pada pernyataan dan bendanya, tapi tergantung kita tarik ke mana. Makna tidak
akan pernah berakhir. Yang disebut makna itu bukan dari teks ke realitas, tapi
dari teks ke teks. Contohnya, ada orang menunjuk pada seekor kucing. Orang
berkata, “Ada kucing”. Kalau orang tanya apa itu kucing. Ya, kucing
itu binatang yang kakinya 4, kukunya tajam. Kalau dikejar terus definisinya,
itu juga teks. Kalau dikejar terus, binatang itu apa? Ya binatang itu makhluk
hidup yang berbeda dengan manusia. Jadi kalau setiap kata dikejar definisinya,
tak akan selesai. Jadi kalau kita mengejar definisi, mengejar hakikat
(esensinya apa), tak akan ketemu. Itulah yang dikejar oleh filsuf Barat klasik
dan modern: mengejar esensi (mengejar hakikat). Padahal, tak ada. Hakikat itu
tinggal ditarik kemana dulu. Itu yang disebut jaringan makna. Hidup kita ada
dalam jaringan teks.

Contoh yang paling mudah dipahami
adalah bendera Indonesia “merah putih”. Mungkin diartikan: merah adalah berani,
putih artinya suci. Tapi jika ditarik ke konteks lain, ia bisa bermakna lain.
Contohnya lampu merah artinya berhenti. Jika seseorang kalah dalam pertandingan
tinju, melempar handuk putih bermakna menyerah. Dalam perang, bendera putih juga
berarti menyerah. Jadi, maksudnya, jangan sekali-kali mengklaim finalitas
kebenaran. Tak ada kebenaran pasti, eksak, selalu begitu dan selamanya begitu. Tak
ada. Benar menurut saya belum tentu benar menurut dia, atau setengah benar
menurut dia yang lain.

Itulah mengapa dalam Islam ada
banyak mazhab, aliran, organisasi seperti NU, Muhammadiyah, dan lain
sebagainya. Tak ada yang paling benar. Dan tak ada yang benar total, dan benar
final. Masing-masing sesuai persepsi dan perspektifnya sendiri-sendiri. Jadi,
jangan ada satupun pemikiran yang diberhalakan. Begitulah Derrida. Jadi apa pun
yang kita anggap benar, harus terus kita dekonstruksi. Dekonstruksi itu
maksudnya apa? Maksudnya, kita bongkar lagi kemungkinan makna yang selama ini
kita tutup-tutupi. Itulah yang dilakukan oleh Muhammad Arkoun, seorang filsuf
Islam. Arkoun meminjam pikiran Derrida untuk menjelaskan kondisi umat Islam
saat ini. Umat Islam saat ini yang disakralkan bukan Islam-nya tapi pikirannya.
Mengapa? Karena kita tak mau melakukan dekonstruksi: tak mau melihat bahwa ada
banyak kemungkinan makna selain makna yang kita anggap benar.

Contoh dekonstruksi dalam
praktik

Contoh aplikasinya: konsep
keadilan. Menurut Derrida, keadilan itu enak didiskusikan, tapi tak bisa
didapatkan. Mengapa? Karena ia tak bisa diobjektivasi. Adil dan tak adil itu
sifatnya tidak eksak. Sifatnya cair. Terlebih dalam praktik: keadilan
disandingkan dengan hukum. Ia aporia. Aporia itu kontradiksi antara hukum dan
keadilan. Adanya hukum itu adalah untuk mewujudkan keadilan. Padahal, hukum itu
eksak (pasti), sedangkan keadilan itu sifatnya moral cair atau tak pasti.
Sesuatu yang pasti tegas, tapi untuk tujuan yang tak pasti, itulah aporia
(kontradiksi). Hukuman 20 tahun untuk Angelina Sondakh itu adil apa tidak? Bagi
keluarganya, tidak. Karena Angelina cuma bawahan. Tapi bagi orang lain, itu
adil. Karena mengkorupsi uang rakyat. Rakyat susah, tapi ia enak-enak ngambil
uang rakyat.

Jadi, begitulah paradoks hukum:
mencari yang tidak eksak dengan cara yang eksak. Hukum itu eksak, sedangkan
keadilan tak eksak. Barang yang partikular (khusus), masuk ke yang umum. Norma
itukan umum. Keadilan itu barang umum. Sedangkan hukum itu khusus. Apalagi
fakta hukum itu adalah fakta yang positivistik. Oleh karena itu, gagasan tentang
keadilan harus terus didekonstruksi terus-menerus. Dibongkar makna-maknanya. Karena
bisa jadi yang dianggap adil itu tak adil. 

Kebenaran menurut kita sekarang juga
harus siap diungkap semua alternatif maknanya. Jangan-jangan kita keliru.
Itulah mengapa dalam Islam kita diperintahkan belajar terus-menerus. Mencari
kebenaran terus-menerus dengan cara mencari ilmu tanpa henti. Dalam rangka apa?
Mendekonstruksi kebenaran yang selama ini kita yakini. Mengungkap makna yang
tak terbaca selama ini. Mungkin juga pemahaman kita tentang Tuhan. Jadi, semua
pemahaman kita selama ini tentang sesuatu harus kita dekonstruksi. Begitu
kira-kira Derrida.

Cukup lama saya berusaha memahami apa yang dimaksud Jacques Derrida dengan “dekonstruksi”. Alhamdulillah, ada Fahruddin Faiz, dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, dapat menjelaskan tentang apa itu dekonstruksi. Ditambah lagi penjelasan dari F. Budi Hardiman sebagaimana saya sertakan di catatan tambahan di bawah ini. 

NANI EFENDI, Alumnus
HMI

 

Referensi:

Fahruddin Faiz, Derrida, dalam YouTube. 

F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Catatan tambahan:

Dalam bukunya, Melampaui Positivisme dan Modernitas (h.159), F. Budi Hardiman menjelaskan bahwa Habermas memandang Derrida masuk ke dalam pemikiran post-modern, dengan intensi yang sama seperti Heidegger: meninggalkan rasionalisme Barat dan dekonstruksi metafisika. Derrida, lanjut Hardiman, masuk melalui bidang linguistik dengan anggapan bahwa modernitas ditandai oleh ‘metafisika kehadiran’ dan ‘logosentrisme’. Akarnya adalah pemahaman bahasa sebagai bahasa lisan. Dalam bahasa lisan, penutur diandaikan hadir bersama objeknya dan konsep yang dituturkannya. Inilah biang keladi metafisika dan rasionalisme Barat, kata Hardiman. Karena itu, terang Hardiman, Derrida mengatasi metafisika dengan mengutamakan bahasa tulisan. Teks selalu lepas dari penulisnya dan dapat ditafsirkan sampai tak terhingga oleh pembaca manapun secara lepas konteks. Tak ada teks rujukan. Yang ada adalah tafsir intertekstualitas. Jadi, teks itu harus dianggap hilang. Yang tersisa hanyalah bekasnya. Habermas, kata Hardiman, memandang perspektivisme Nietzsche muncul dengan cara lain dalam dekonstruksi dan intertekstualitas. Tak ada Kebenaran, bahkan makna pun tak ada. Dekonstruksi adalah semacam “metode”, bukan untuk mencapai Kebenaran, melainkan justru untuk memperlihatkan bahwa teks-teks filosofis tak memiliki makna yang dimaksudkan penulisnya. Memang, Derrida digolongkan sebagai ahli waris Nietzsche (lihat F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 159) 


Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top