Hidup itu absurd kata Albert Camus. Apa itu absurd? Kalau diartikan dengan bahasa sederhana: “enggak jelas”, “susah dimengerti”, “susah dipahami”. Tapi, walau begitu, orang harus tetap bertahan menghadapi dan menjalaninya dengan “senang”. Bukan menghindarinya. Ada tiga cara menghadapi absurditas menurut filsuf Albert Camus.
1. Bunuh diri (fisik);
2. Bunuh diri filosofis (leap of faith). Lari ke agama atau ke keyakinan-keyakinan tertentu;
3. Bertahan dengan cara menjalani dan menyenangi kehidupan dengan gembira, dengan membuat nilai-nilai hidup versi kita sendiri dan hidup secara otentik. Cara ketiga ini disebut juga “memberontak”. Memberontak—Goenawan Mohamad mengartikan dengan “membangkang”—terhadap semua nilai-nilai ciptaan orang lain atau masyarakat. Bahasa sederhana: hidup secara eksistensial (menjadi seorang eksistensialis). Membangkang artinya tak mau tunduk, tak mau patuh, dan tak mau ikut-ikutan pada cara hidup yang berlaku secara mainstream dalam kehidupan sosial masyarakat. Ia ingin hidup dengan versi sendiri secara otentik. Kalau saya menginterpretasikan secara bebas: jadilah diri sendiri. Hiduplah sesuai dengan kesukaan, bakat, dan minat kita sendiri: diri kita yang sebenarnya—diri yang sejati. Tak perlu ikut-ikutan sesuatu yang pada dasarnya tak kita sukai, tak kita minati. Walaupun orang banyak meminatinya. Sikap seperti itulah yang disebut “membangkang”. Membangkang pada mainstream dan tren kehidupan masyarakat banyak. Tak ikut-ikutan pada apa kata orang atau tren orang (adat-istiadat, tradisi, cara dan gaya hidup orang kebanyakan, moralitas, dan lain sebagainya). Cara pertama dan kedua dimungkinkan dilakukan manusia dalam menghadapi kehidupan yang absurd. Tapi Camus tak menganjurkan orang melakukan itu. Yang diinginkan Camus ialah cara ketiga: memberontak (membangkang). Camus mencontohkan pada Sisifus. Walaupun yang dikerjakan Sisifus—mendorong batu ke puncak bukit, kemudian setelah batu itu sampai di puncak bukit, jatuh lagi, di dorong lagi, begitu seterusnya—adalah suatu absurditas, tapi kita harus membayangkan bahwa Sisifus bahagia seperti itu.
Kalau saya tafsirkan secara bebas: jadilah diri sendiri. Hidup sesuai dengan kesukaan, bakat, dan minat kita sendiri. Diri kita yang sebenarnya—diri yang sejati. Tak perlu ikut-ikutan sesuatu yang pada dasarnya tak kita sukai, tak kita minati. Walaupun orang banyak meminatinya. Sikap seperti itulah yang disebut “membangkang”. Berani mengatakan ya dan mengatakan tidak. Membangkang pada mainstream dan tren kehidupan masyarakat secara umum—termasuk soal-soal sosial-politik. “Apa itu manusia pemberontak (pembangkang)? Seorang pria yang mengatakan tidak,” kata Albert Camus
Menurut Martinus Suhartono, memberontak yang dimaksud Camus adalah memberontak terhadap setiap ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan manusia. (lihat Martinus Suhartono, “Albert Camus: Dari yang Absurd ke Pemberontakan”, dalam Tim Redaksi Driyarkara (peny), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta: Gramedia, 1993, h.163-175).
Martinus Suhartono menyebutkan: bahwa Camus menemukan satu-satunya tempat berpijak di tengah samudera absurditas, yaitu pemberontakan. Orang harus menghadapi absurditas dengan gagah berani, bertahan dengan tabah, dan memberontak dengan jalan melibatkan diri seutuhnya pada nasib sesamanya. Memberontak dengan menjadi pejuang yang menentang ketidakadilan. Orang harus berani berkorban diri bagi sesamanya, jelas Martinus, walaupun tanpa ganjaran surga. Menjadi “orang suci tanpa adanya Tuhan”.
NANI EFENDI, Alumnus HMI
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.