Sumber: Kumparan 2 Juli 2022 18:19
Tulisan dari Dr Damos Dumoli Agusman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pernah jadi Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI, dan saat ini bertugas sebagai Dubes RI untuk Austria dan Slovenia, serta Wakil Tetap RI pada PBB
Oleh: Damos Dumoli Agusman dan Akbar Nugraha*
Kejahatan lintas negara saat ini semakin kompleks. Pelaku kejahatan transnasional ini sudah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Mulai dari kejahatan yang berkaitan langsung dengan ITK itu sendiri seperti hackers, phisers, ransom, dst, atau yang berkaitan dengan content ITK seperti pornografi anak, ujaran kebencian, dst. Wilayahnya di dunia maya, dan tidak mengenal batas negara ini, memaksa negara harus bekerja sama menanganinya. Dari sini negara-negara anggota PBB mulai sadar tentang perlunya instrumen hukum internasional yang mengatur secara khusus pencegahan dan penanggulangan kejahatan lintas batas ini.
Untuk itu, Sidang Majelis Umum ke-74 pada akhir tahun 2019 telah mengesahkan Resolusi yang membentuk suatu open-ended Ad Hoc Intergovernmental Committee (AHC) dengan mandat menyusun konvensi internasional yang komprehensif untuk menanggulangi penggunaan teknologi komunikasi dan informasi untuk tujuan kriminal . Indonesia termasuk salah satu pendukung resolusi ini.
Keputusan ini menjadi torehan penting karena diharapkan menghasilkan suatu legally binding instrument yang didukung oleh negara-negara anggota PBB. Walau saat ini sudah ada instrumen internasional dan regional serupa mengenai kejahatan siber, seperti Budapest Convention, Arab Convention on Combating Information Technology Offences, dan African Union Convention on Cybersecurity and Personal Data Protection , namun dinilai belum cukup mendapat dukungan secara global. Konvensi Budapest yang telah berlaku sejak tahun 2004, misalnya, hanya memiliki 66 pihak.
Draft Konvensi sendiri akan dibahas dalam 6 sesi pertemuan Ad Hoc Committee (AHC) yang dimulai sejak awal tahun 2022 dan diharapkan dapat diajukan pada SMU PBB sesi ke-78 tahun 2023. Indonesia turut aktif dalam proses ini dan bahkan bertindak sebagai Rapporteur, yang bertugas membuat laporan setiap pembahasan.
Seperti lazimnya dalam pembentukan Konvensi di bidang hukum, terdapat perbedaan tajam mengenai jenis kejahatan apa yang akan disepakati untuk dikriminalisasikan. Namun negara-negara sepakat memberikan kategori kejahatannya. Pertama, cyber-dependent crime, kejahatan yang hanya dapat lahir karena ITC itu sendiri seperti hackers dan phisers. Kedua, kategori cyber-enabled crime, kejahatan bisa terjadi diluar ITC namun semakin berat jika menggunakan ITC, seperti ujaran kebencian, cyber terrorism, fraud, infringement of intelectual property rights, bullying, non-consensual distribution of sexual image (NCDSI), religious-hatred, xenophobia, racism, Nazism, crimes against humanity, incitement of violence, serta content-related crimes (CRC).
Sejumlah negara lebih menginginkan agar konvensi ini fokus pada cyber-dependent crime. Namun sejumlah negara lainnya juga mengusulkan agar beberapa jenis cyber-enabled crime masuk dalam cakupan Konvensi termasuk hoax. AHC sedang berupaya mencari titik temu dan ini bukan perkara yang mudah mengingat ratusan negara PBB memiliki prioritas yang berbeda.
Untuk judul saja masih jadi perdebatan yaitu apakah akan menggunakan terminologi “ICT for Criminal Purposes” atau “Cyber Crime”. Pilihan istilah ini mungkin sangat terkait dengan soal kategori diatas, karena istilah “ICT for Criminal Purposes” akan membuka kategori cyber-enabled crime secara luas, sedangkan cyber crimes justru akan mempersempitnya.
Dengan bergulirnya proses elaborasi konvensi internasional ini, penting bagi Indonesia untuk dapat memainkan peran dan mempersiapkan diri dalam negosiasi draft teks. Indonesia telah memiliki UU ITE dan berbagai legislasi terkait lainnya, namun regulasi yang khusus tentang kejahatan siber masih menjadi wacana. Namun perdebatan public tentang ini sudah mulai merebak.
Sekalipun demikian, Indonesia telah berpartisipasi dalam proses perundingan ini dan sedapat mungkin membukan ruang antisipatif bagi perkembangan legislasi di Indonesia.
Setidak-tidaknya terdapat beberapa hal yang perlu diantisipasi oleh Indonesia. Pertama, Indonesia telah menyampaikan submission berupa masukan tertulis terkait “Objectives, Scope, dan Structure” di awal pertemuan. Namun mengingat prosesnya sudah memasuki soal substantif, maka Indonesia perlu merumuskan posisi yang jelas dan detail dalam berbagai elemen yang akan diusung dalam berbagai chapters, termasuk mengenai jenis maupun kriteria cyber-enabled-crimes yang perlu dimuat dalam konvensi. Masukan pakar, akademisi maupun multi-stakeholders nasional lainnya sangat diperlukan.
Kedua, Indonesia perlu memastikan bahwa konvensi yang disusun dapat merefleksikan kepentingan global dan tidak hanya memajukan legislasi nasional masing-masing negara pihak. Perlu memastikan pula bahwa konvensi ini nantinya dapat menjadi rujukan dan menutup gap dalam legislasi nasional sehingga lebih efektif dalam menanggulangi kejahatan siber.
Ketiga, penekanan pada kerja sama internasional. Penanggulangan kejahatan siber tidak bisa ditangani oleh suatu negara tanpa kerja sama dengan negara lain. Oleh karena itu, dorongan bagi kerja sama internasional, termasuk dalam pertukaran informasi, bukti elektronik, investigasi, serta pembangunan kapasitas dan kerja sama teknis sangat penting.
Keempat, UN instruments seperti the United Nations Convention against Transnational Organized Crime and the Protocols Thereto (UNTOC) dan the United Nations Convention against Corruption (UNCAC) dapat menjadi rujukan awal dalam beberapa ketentuan konvensi, namun dengan sifat kejahatan siber yang berbeda dengan kejahatan transnasional lainnya perlu dipertimbangkan ketentuan yang relevan dan tepat.
Pada akhir Agustus 2022, pertemuan substantif ketiga akan berlangsung di New York, Amerika Serikat, dan negosiasi draf teks akan dimulai pada pertemuan keempat di Wina, Austria pada awal tahun 2023. Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan negara-negara anggota, upaya pembentukan konvensi internasional ini perlu terus bergulir dan memastikan dihasilkannya sebuah konvensi internasional yang dapat diterima dan memperoleh dukungan seluruh anggota PBB dan pihak lainnya.
Implementasi efektif konvensi internasional ini akan melindungi masyarakat, baik generasi sekarang maupun mendatang, dari kejahatan terorganisir yang memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang sangat cepat.
Wina, 2 Juli 2022.
* Penulis adalah masing-masing Ketua dan anggota Delegasi Indonesia pada Pertemuan-pertemuan Ad-hoc Committe Intergovernmental Committee.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.