Oleh:
Bana Fatahillah
Di antara
kontroversi Panji Gumilang (PG) adalah perkataan “Qāla Rasūl Fil Qur’ān al-Karīm”
(Rasulullah berfirman dalam Al-Quran). Konsekuensi pendapat ini adalah “Al-Quran
bukan kalam Allah”
Memang ada
kaidah, konsekuensi dari sebuah pendapat bukanlah pendapatnya (Lāzim
Al-Mazhab laisa bi Mazhab). Namun itu jika yang berkata belum menegaskan
konsekuensi itu. Permasalahannya, PG secara tegas menyatakan konsekuensi
perkatannya di video lain, bahwa Al-Quran bukan Kalam Allah.
Anehnya,
pendapat nyeleneh ini dinyatakan tak bermasalah oleh Dosen Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Sudirman Abbas. “Perkataan itu tidak
bermasalah!” jawabnya saat ditanya tentang kontrversi perkataan PG dalam acara
TV pada Selasa (4/7/2023)
Ringkasnya ia hendak menegaskan bahwa yang dimaksud Panji adalah: Apa
yang ada dalam Al-Quran itu tidak langsung Allah yang menyampaikan. Sebab jika
dikatakan Al-Quran adalah Kalam Allah, maka konsekuensinya adalah
“menyerupakan” Allah dengan selain-Nya yang dalam berbicara memiliki suara dan
huruf.
“Karenanya itu adalah KALAM MUHAMMAD –sekali lagi KALAM Muhammad– yang
merupakan wahyu dari Allah. Semua yang diucapkan Nabi Muhammad adalah dari
wahyu semata,” ujarnya. (lihat https://www.youtube.com/watch?v=_6_bIklGBZU&t=161s)
Inilah tafsiran seorang Doktor atas pernyataan PG.
Kapan Menafsirkan?
Dalam kaidah dikatakan “Al-Ashlu fil Kalām Al-Haqiqah” (hukum
asal sebuah perkataan adalah hakikatnya/zahirnya). Para pembaca silakan jawab,
apa yang Anda tangkap saat PG berkata “Rasul berkata dalam Al-Quran”?
jawabannya tentu, apa yang ada di Al-Quran adalah perkataan Rasul. Konsekuensinya
Al-Quran bukan perkataan Allah.
Seseorang baru bisa masuk ke pemaknaan lain saat ada indikatornya,
seperti penejelasan langsung dari PG. Realitanya itu tidak ada. Terlebih saat
mendengar langsung PG bahwa Al-Quran bukan kalam Allah. Ini semakin meyakinkan,
bahwa perkataannya “Qalaa Rasul…” itu tidak multitafsir. Dalam arti
harus digiring kepada zahir apa yang disampaikannya, bukan yang lain.
Terkait ini Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa seseorang tidak boleh menggiring
(menafsirkan) perkataan seseorang kecuali jika sudah diketahui bahwa itulah
maksudnya.
Masih menurut Ibnu Taimiyyah, dalam kitab Al-Jawaab Al-Shahiih
Liman Baddala Diin Al-Masiih mengatakan bahwa siapa yang menafsirkan maksud
perkataan seseorang, siapapun itu, yang sudah maklum diketahui orang-orang
bahwa tidak demikian, maka dia adalah pendusta dan pembohong.
Oke, anggaplah memang maunya
PG adalah sebagaimana yang disamapaikan Sudirman. Bahwa Allah tidak
menyampaikan wahyunya secara langsung melainkan melalui Rasul-Nya. Maka pertanyaannya, bukankah sedari awal Nabi
sudah membedakan mana yang menjadi perkataannya dan mana perkataan Allah.
Ini dibuktikan dengan perkataan Nabi saat melarang untuk menulis
perkataannya agar tidak tercampur dengan Kalam Allah. Bahkan diminta untuk
menghapuskannya. Sebagai seorang dosen Syariah seharusnya ia tau maklumat ini.
Artinya, dengan mengatakan “Rasulullah berkata dalam Al-Quran” itu sudah
salah. Mengapa? Sebab, selain sudah dibedakan mana yang menjadi kalam Rasul dan
mana kalam Allah (yang tidak mungkin samar bagi intelektual sekelas PG), peran
Rasulullah di hadapan Al-Quran itu hanya sebatas mubayyin (penjelas),
tidak lebih (Baca Qs. 16:44). Beliau bukan yang menulis dan
mengarangnya.
Nabi Mengarang Al-Quran?
Selanjutnya, statement Sudirman berbunyi:
“Karenanya itu adalah Kalam Muhammad
–sekali lagi KALAM Muhammad– yang merupakan wahyu dari Allah”
cukup berbahaya.
Sebab ini justru semakin mendukung argumen PG bahwa Al-Quran bukan kalam Allah. Dalam kaidah dikatakan, Al-Ashlu fi Al-Isnād al-Haqīqah (hukum
asal penisbatan adalah hakikatnya). Jika mengatakan pulpen ustadz, maka yang
dipahami adalah kepemilikan ustadz atas pulpen. Begitupun perkataan Al-Quran adalah
Kalam Muhammad. Penisbatan Al-Quran sebagai Kalam Muhammad adalah kesalahan
besar.
Padahal Nabi Muhammad sendiri sudah mengaku bahwa bukan ia yang menulis
dan mengarang Al-Quran. (Qs. 10:109 & 29:48). Andai Nabi Muhammad menulis
Al-Quran, harusnya ia menisbatkan itu pada dirinya, bukan justru tidak
mengakuinya sebagaimana yang diungkapkan Al-Quran. Semua pun sepakat bahwa Nabi
adalah ummiy yang tidak bisa baca tulis.
Walhasil, Pak Dosen seperti ingin menyelamatkan orang dari terkaman macan, justru ia yang diterkam.
Allah Berfirman
Itu kritik pertama. Kedua, penafsiran Abbas akan ketakutan adanya
penyerupaan antara sifat berbicara Allah dan makhluk-Nya hanyalah asumsi
belaka. Sebab sejauh ini umat Islam, baik ulama maupun awamnya, tidak pernah
terlintas “penyerupaan” Allah dan selain-Nya saat mengatakan “Qaalallahu fil
Quran”
Al-Quran terjemah pun sudah memberikan lafadz khusus untuk pemaknaan Qaala
jika dinisbatkan pada Allah, yaitu berfirman. Kita semua tentu tidak pernah
mendengar seseorang berkata, “si Fulan Berfirman” sebab lafadz ini -secara
kebiasaan (‘adah)—sudah dikhususkan untuk Allah.
Memang penyucian seperti ini dibahas di kalangan Sarjana Islam. Dua Sekte Raksasa dalam Islam, Asyairah dan Muktazilah memiliki pendapat berbeda soal Kalam Allah. Apa yang dikatakan Sudirman adalah apan yanh disampaikan Asyairah. Tapi konteksnya bukan membenarkan statement
“Rasul Berkata dalam Al-Quran”, melainkan meluruskan sifat Kalam yang disalahpahami.
Namun kendati berbeda, kedua sekte ini tidak –sekali lagi tidak—mengatakan bahwa Al-Quran adalah Perkataan Rasul yang diwahyukan
oleh Allah Swt. Mereka tetap meyakini bahwa Al-Quran itu, lafadz
dan maknanya adalah kalam Allah.
Pesan
Terakhir, kepada Bapak Sudirman, Anda seharusnya tak perlu kekeuh mebela
PG alih-alih menafsirkan perkataannya. Sebab iyu sudah jelas salah. Jangan membenarkan kenyataan, tetapi nyatakanlah
kebenaran. Begitulah nasihat Kyai kami dulu.
Dari kasus ini kita perlu renungi kembali pesan Imam Ali: “jangan mengetahui kebenaran dari
seseorang tapi ketahuilah kebeanran, kelak kau akan tau siapa orangnya”. Semoga
Allah menunjukkan kepada kita yang benar itu sebagai sebuah kebenaran, dan
menunjukkan kita kesalahsan sebagai kesalahan.
Depok, 7 Juli 2023
