Uncategorized

Rekaya sosial…

 



Tahun 2019 dalam short business trip di New York, saya sempatkan telp Tania. Dia senang sekali. “ I miss you, B. ” Katanya. “ Yes sure. I will be there.” Katanya menyanggupi menemui aku di Hotel. Kami janjian di Café and Bar yang ada di hotel. Sambil menanti dia datang. Lamunan saya kepada 1 tahun lalu. Saya mengenal Tania tahun 2018 saat di Bullet train dari Beijing ke Guangzhou. 


Penampilanya yang seperti common lady. Tubuhnya slim. Celana Panjang warna hitam dengan kaus warna hitam juga. Tentu saja ia langsung menyita perhatian saya. Mungkin karena ia cantik. Tapi banyak wanita China  yang juga cantik. Bahkan melebihi dirinya. Saya lirk dia yang duduk sebelah. Dia memang berbeda. 


“ Luar biasa.” katanya saat kereta melaju.


“ Apanya yang luar biasa? Tanya saya dengan tersenyum.


“ Kalau ini dibangun di Eropa atau Jepang atau AS itu biasa saja. Karena mereka membangun by design dan berbasis riset. Tapi China, dengan luas daratan yang luar biasa, dan penduduk diatas 1 miliar, itu tidak mudah. Kamu tahu, kereta ini hanya mesin. Secara tekhnologi tidak sulit mengerjakannya. Tapi dibalik mesin yang berkecepatan tinggi ini, ada masalah sosial dan ekonomi yang tidak sederhana.


Bayangkan, lanjutnya. kereta ini bergerak dengan energi yang besar dan mempunyai daya magnit yang tinggi, dan sangat merusak apabila ada hunian di dekat lintasan kereta. Beda dengan kereta biasa, yang dampak medan magnitnya tidak significant.. Otomatis dengan adanya kereta cepat, tata ruang juga berubah. Ini engga mudah, apalagi di kawasan padat.


Engga mungkin kereta ini di-drive dengan manual. Pengoperasiannya menggunakan IT system secara wireless. Sementara wireless kan menggunakan Frekwensi. Anda tahu, frekwensi itu sumber daya terbatas. Belum lagi dampak dari adanya kereta cepat itu akan mengganggu frekwensi digital yang ada  di sekitar lintasan kereta. 


Lagi lagi ini berhubungan dengan tata ruang. Apa mau orang suruh bergeser sekian mill dari lintasan kereta? ini engga mudah. “ Katanya.  Saya tersenyum. Orang AS memang melek teknologi dan tentu literasi high tech mereka cukup. Ya negara pemenang perang dunia kedua yang bertransformasi dari negara pertanian, low tech dan akhirnya high tech.


“ Itu berkat social engineering.” Kata saya.


“ Bagaimana mereka bisa melakukan social engineering.  Padahal kebudayaan mereka sudah terbentuk 5000 tahun..” Tanya Tania.


“ Mudah saja. Tidak sulit” Jawab saya dengan tersenyum. 


“ Bagaimana bilang mudah? Ini kan soal perubahan peradaban dari penduduk diatas 1 miliar. Tak mungkin kemajuan terjadi tanpa social engineering yang tidak berbenturan dengan kebudayaan. Manusia kan bukan mesin. “ Kata Tania.


“ Sebenarnya dalam diri manusia sudah ada software, yaitu  akal dan hati. Yang bersuara tentang kebaikan sebagai mahluk terbaik dibandingkan dengan mahluk lain. Kalau anda pernah baca buku, cellular programing and reprograming oleh Sheng Ding, secara sains bisa dijelaskan tentang kemampuan cell programming entity, bahwa manusia punya kemampuan diprogram dan memprogram ulang diri.” Kata saya.


“ Apa itu di program ? 


“ Contoh dari kecil anda mengenal cinta dari kedua orang tua maka selanjutnya itu akan menjadi program dalam diri anda. Guru di sekolah menanamkan program dalam diri anda. Lingkungan keluarga juga berperan meng create program dalam diri anda. Lingkungan persahabatan juga berperan. Itu value kebudayaan.


Tetapi dalam perkembanganya, terjadi distorsi dan malah menjadi mindset. Orang tua, sekolah dan lingkungan justru membuat anda punya mindset follower, lemah kreatifitas, paranoid, pembenci dan anti perubahan. Ini bukan value kebudayaan. China tahu itu. Makanya mereka mengubahnya lewat revolusi kebudayaan. Mereka mulai menggali budaya luhur bangsanya untuk menjadi inspirasi dan menirunya untuk membangun peradaban lebih baik. “ Kata saya.


“ Apa mungkin bisa semudah itu mengubah mindset yang terlanjur terdistorsi ? tanya Tania.


“ Sebenarnya dalam diri manusia itu sudah disediakan Tuhan cetak biru kebaikan, kehebatan dan kekuatan termasuk untuk memprogram ulang diri. Dalam buku Self induce and mind control oleh Gregory T. Peele, dijelaskan cara mencapai sukses dalam hidup dengan mengatur pikiran, kebiasaan, tindakan anda melalui pemrograman diri dan  self hypnosis. “ Kata saya.


“ Oh I see. Jadi sebenarnya memang tidak sulit. Karena software nya ada pada diri kita. “ Kata Tania mengangguk tanda paham “ Bagaimana melakukan program ulang diri ? tanyanya.


“ Pertama, anda harus paham apa itu tujuan dan apa itu metodelogi. Nah disini anda harus punya kemampuan literasi dan kebiasaan membaca. Contoh, agama itu metodelogi mencapai nilai spiritual, bukan tujuan. Jadi jangan dihapal, tetapi dipahami untuk jadi program dalam membentuk mindset. Idiologi itu metodelogi membangun nilai nilai kebangsaan, bukan tujuan. Jadi jangan cinta buta dengan idiologi, tetapi dipahami bahwa idiologi itu bertujuan mencapai kebersaman dan persatuan untuk kebaikan dan kebenaran.


Kedua, pentingnya kebebasan berpikir, yang bisa membedakan mana metodelogi dan mana tujuan. Orang china memandang pelajaran sekolah, idiologi, agama hanyalah metodelogi mencapai tujuan. Makanya mereka engga pusing walau hanya ada satu partai komunis. Engga pusing siapa presiden. Engga pusing dengan urusan keyakinan beragama orang lain. Engga pusing dengan titel. Kan hanya metodelogi , bukan tujuan. Di China, di era presiden Hu Jintao, pendidikan luar sekolah diakui sejajar dengan pendidikan formal. Sehingga orang belajar di sekolah motif nya ya murni untuk belajar. “ Kata saya.


“ Gimana belajarnya ? 


“ China menghapus program hapalan yang menentukan salah benar. Makanya di China ujian sekolah lebih banyak menggunakan essay daripada multiple choice. Nilai dan rangking ijasah dihapus” 


“ Mengapa ? 


“ Reformasi pendidkan di China orientasinya adalah mengarahkan orang untuk mampu memprogram dirinya sendiri. Jadi, kehormatan akan kebebasan berpikir itulah yang dibangun di sekolah. “ Kata saya. 


“ Terus …”


“ Ketiga, hapus stigma. Salah dan benar itu relatif. Ukuran bukan dari orang lain tetapi kembali kepada diri kita sendiri. Apa yang baik untuk kita pasti datang dari Tuhan, maka kerjakan dengan sungguh sungguh. Jangan biarkan persepsi anda di create orang lain. Jangan!  Hidup anda adalah takdir anda, dan anda sendiri yang merasakan, bukan orang lain. Bahasa mesranya adalah kemandirian. “ Kata saya tersenyum.  Dia menoleh ke saya “ Teruskan..” katanya 


“ Nah revolusi kebudayaan China hasilnya adalah mengembalikan nilai nilai lama itu, yaitu kemampuan memprogram diri sendiri untuk menjadi diri sendiri. Jadi, saat tahun 80an China membuka diri lewat reformasi , mereka juga melakuan social engineering. Akal dan hati mereka bisa menerima setiap kebijakan negara untuk melakukan perubahan dan bergerak ke masa depan. Karena memang pemerintah meng apply semua program itu, bukan sekedar retorika “ Kata saya. 


Tania mengangguk.. “ Kesimpulannya, program pendidikan adalah melatih orang untuk punya kemampuan memprogram dirinya sendiri. Menjadi manusia yang bisa membentuk dirinya sendiri, yang mandiri, kreatif, inovasi. “ Katanya menyimpulkan. “ Kebetulan profesi saya guru di Delaware, AS. “ sambungnya. Wah pantas dia antusias dalam dialogh ini. Padahal baru kenal. Sebelum berpisah dia minta nomor telp saya dan sebelumnya memberi nomor telpnya. Kami berharap bisa bertemu lagi


***

Dari lounge saya meliat Tania datang.  Saya jabat tangannya dengan erat. Dia menyambut dengan ringan. Saya memberikan ruang untuk dia duduk. “ Anda berbisnis di China, sementara kini Trump nyatakan perang dagang dengan China. Apa yang bisa saya katakan sebagai teman. Moga semua baik baik saja.” Katanya denga nagak canggung. Saya tersenyum menatapnya.


“ Tapi kalau ingat kata kata anda tahun lalu, saya yakin China akan baik baik saja. Perubahan terjadi disegala bidang berkat  social engineering. Sukses membawa China ke masa depan dengan kemajuan yang spektakuler. “ Katanya. 


“ Sebenarnya China tidak punya konsep yang spektakuler seperti Sarjana Harvard atau MIT. Mereka berpikir sederhana menyikapi tuntutan perubahan. Yaitu, mereka menerima pasar terbuka dan melakukannya dengan apa yang bisa mereka lakukan. Mereka mengadalkan keunggulan komparatif. Orang lain untung, mereka juga untung” kata saya.


“ Yang jadi masalah adalah kepemimpinan pasar itu sepenuhnya dikendalikan oleh kekuasaan yang totalitarian. Itu terasa sekali di era Xi Jinping dengan tampilnya state capitalisme. AS anggap ini tidak demokratis. Tidak sesuai dengan prinsip kebebasan pasar bagi semua” Kata Tania. Saya menyimak. 


“ Pertumbuhan ekonomi China yang pesat  “ Lanjut Tania. “ setelah Mao wafat dan reformasi Deng dilaksanakan. China mempersiapkan diri untuk bergabung dengan WTO. Proses berlajut dibawah sikap China terhadap pasar terbuka. Tahun 2001 China bergabung dalam WTO. Hasilnya memang luar biasa. Pada tahun 1970, produk domestik bruto (PDB) riil China hanya  USD 200  miliar something. Namun, setelah pasar meluas dan individu memiliki lebih banyak peluang untuk menjadi kaya, PDB riil tumbuh diperkirakan tahun 2019 akan mencapai $16 triliun.


Tapi kemajuan itu tidak berada di ruang hampa. Banyak hal yang dilanggar Xi Jinping terutama hubungan antara pemerintah dan pasar.  Koleganya yang juga Perdana Menteri, Li Kegiang, udah peringatkan hal itu. Tapi Xi Jinping mengabaikan saran itu. Baginya melepaskan kontrol negara terhadap pasar justru akan mendegradasi kekuasaan Partai. Seharunya Xi memahami bagaimana demokrasi seharusnya di apply” Kata Tania.


Saya tertegun. Sepertinya Tania belajar banyak tentang China setelah pertemuan dengan saya setahun lalu.  Saya berusaha tersenyum memahami sudut pandangnya. “ Bagaimana pendapat anda “ Tanyanya.


“ Bagi AS demokrasi itu adalah kebebasan berpendapat, dan kesetaraan dihadapan hukum. Apakah juga kebebasan mengakses sumber daya? Apakah juga ketaraan mengakses peluang? Kan tidak ada itu. Kebebasan dan kesetaraan hanya bagi pemodal. Begitu capitalisme bekerja. Tidak berlaku bagi simiskin.


China tentu berbeda meng apply demokrasi. Mereka membangun infrastruktur ekonomi yang massive. Sehingga dimananpun wilayah china bisa di-akses sumber dayanya. Distribusi barang dan jasa efisien. Membangun financial inklusif secara gotong royong yang dipimpin oleh kepala daerah seperti CGVF, sehingga memberi akses permodalan bagi siapa saja. Dibidang hukum, China menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Begitu China menerapkan demokrasi.” Kata saya.


“Mengapa mereka menerapkan kepemimpinan tunggal? Tanya Tania. “ Apakah system itu pemaksaan terhadap HAM? 


“ Ingat apa yang saya katakan setahun lalu. Rakyat China tidak bisa lepas dari  kebudayaan.  Ibarat  ikan dan Air. Kalau mereka tercabut dari kebudayaan, mereka akan jadi bangsa yang kalah. Sejarah mencatat ribuan tahun China dipimpin oleh kerajaan. Dan dinasti itu bertahan ratusan tahun. Tanpa dukungan kebudayaan, mana mungkin bisa bertahan. Nah kepemimpin Tunggal lewat PKC itu  adalah kebudayaan,  namun ia lahir dari social engineering “ Kata saya.


“ Tapi perbedaan system politik itu merugikan kami secara ekonomi. Kini kami suffering dengan uang USD 26 Triliun. Defisit anggaran. Defisit perdagangan dengan banyak mitra dagang kami, terutama dengan China. Banyak pabrik yang tutup.” katanya,


“ Think about it. Apakah China memaksa orang AS membeli barangnya? Kan tidak. AS semakin makmur akibat barang konsumsi dari China yang murah, laba rendah. Apakah China ngiri? Kan engga. Akibat begitu besarnya kapasitas indusri untuk memasok kebutuhan pasar AS, rakyat China harus menghirup polusi udara dari asap pabrik dan menerima upah rendah.  Apakah rakyat China protes kepada pemerintahnya? Kan engga.


Banyak industry di AS yang relokasi ke China. Apakah itu dipaksa China. Kan engga. AS perlu uang untuk mengatasi defisit anggaran.  China beri pinjaman. Padahal PDB China masih tergolong negara berkembang, bukan negara maju seperti Eropa,  Jepang dan Korea. Apakah ratusan juta rakyat miskin China protes ? Kan engga. Bagaimana kalau itu terjadi pada AS? Think about it. “ kata saya dengan tersenyum.


Tania mengangguk. “ Ya, andai itu terjadi di AS, pasti rakyat AS akan protes. Demo besar besaran. Kami punya hak demokrasi untuk protes. “ Kata Tania tersenyum getir.


“ Pahami bahwa AS adalah bangsa yang penduduknya migran dari beragam bangsa dan budaya yang berbeda. Wajar menerapkan sistem demokrasi terbuka. Tidak mungkin disamakan dengan China sebagai bangsa utuh, yang juga wajar menerapkan kepemimpinan tunggal. Kalau tidak menyadari esensi perbedaan ini. Tidak mungkin bisa terjadi dialogh yang kontruktif antara AS dan China. “ kata saya.


 “ Saya paham. Defisit perdagangan itu sebagai konsekuesi sikap kami selama ini. Seharusnya kami tidak menyalahkan negara lain, termasuk China. Yang salah ya kami sendiri. Sepertinya kami perlu social engineering.” Kata Tania. Saya mengacungkan jempol. Setelah COVIDl Tania memberi tahu saya bahwa dia dapat kerja di Shanghai sebagia guru bahasa inggris SMU.

Paling Populer

To Top