Mayang Manguri Rahayu

[PIKIR] PILAH PILIH BERDAULAT


Oleh: Mayang Manguri Rahayu

Tuntutan kemajuan jaman yang mengacu pada
kepraktisan dan majunya iklim bisnis, yang eksponensial dengan perkembangan
ekonomi masyarakat di suatu wilayah, mendorong iklim konsumsi beranjak naik. Negara-negara
Asia Tenggara khususnya Indonesia mengalami percepatan. Menurut Anggraeni
(2019), mengutip apa
yang dijabarkan oleh Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani bahwa tahun 2010,
kelas menengah kita berjumlah 45 juta orang. Dan kini terus bertambah. Berbagai
lembaga yang melakukan studi lalu menggolongkan kelas menengah dalam tiga
bagian, yaitu di atas kemiskinan, masih rapuh, dan sebagian sudah establish.
Tahun ini, kelas menengah sudah naik mendekati 60 juta orang. Tahun 2020,
diperkirakan 80 juta orang. Negara lain di ASEAN tidak sebesar ini. Jadi ini
akan menjadi penggerak ekonomi Indonesia.

Kelas menengah memiliki daya beli yang baik, namun konsumerisme tinggi tidak
dapat dielakkan.
Produktivitas tinggi
menyebabkan iklim konsumsi ingin yang serba praktis. Apapun tinggal beli,
bungkus, kemudian ‘tidak sempat’ memikirkan tanggung jawab buangan konsumsi.
Hal ini mengakar selama beberapa dekade di Indonesia. Sebelum Indonesia
dinyatakan darurat sampah, karena kejadian Longsor Sampah di TPA Leuwigajah
tahun 2005,

terjadi
penutupan di banyak TPA-TPA akibat over-kapasitas. Belum
lagi, masalah pelik di TPA Bantar Gebang, kota-kota
mengalami darurat sampah, ledakan dan longsor di TPA Supit Urang
Malang 2019,
juga pernyataan tentang
Indonesia merupakan pembuang sampah plastik nomer 2 dunia.
Gaung zero waste  belum
terlalu menjadi sesuatu yang dekat dan populer di
masyarakat.
Walau kesadaran
mengenai pengelolaan sampah yang juga masih terbatas, telah banyak
kampung-kampung atau wilayah yang inspiratif di Indonesia yang menerapkan zerowaste secara komunal, seperti
Kampung di
daerah
Cibunut Bandung, dan Jodipan Malang.
Keduanya memanfaatkan rakyat dalam menghimpun kekuatan dan menunjukkan bahwa
Indonesia sebenarnya bisa melakukannya. Namun banyak yang terlupa, jika
kesadaran komunal berasal dari kesadaran 
individu, kemudian berkembang pada kesadaran keluarga berbasis rumah
untuk memilah dan memilih sisa konsumsi.
Tentunya, untuk
memilah dan memilih sisa konsumsi dibutuhkan kecermatan yang dimulai dari dalam
diri. Manusia pada dasarnya tidak dapat terhindar dari konsumsi pangan,
sandang, dan papan baik secara bahan baku atau bahan jadi.  Sisa hasil konsumsi, atau yang terkenal
dengan sebutan sampah. Sebenarnya, apa itu memilah sampah? Sekadar memilah
, atau memilih apa yang akan kita konsumsi?

Sisa hasil konsumsi seperti ini dapat diolah menjadi kompos.
Praktisi Zero Waste, Bea Johnson telah merumuskan
bahwa hidup minim sampah dilakukan atas prinsip 5 R, yaitu:
1. Refuse, menghindari, dalam hal ini
menghindari konsumsi yang tidak perlu. Misalkan menghindari konsumsi teh dalam
kemasan, karena
akan menimbulkan sampah botol
plastik dan akhirnya
memilih membawa bekal teh
dari rumah.
2. Reduce, dalam hal ini mengurangi, misalnya masih tergantung dengan beras yang kemasannya masih berbungkus
plastik.
Kita dapat mengurangi pembelian produk tersebut
misalkan diselang-seling
dengan beras yang bisa kita dapatkan di bulk store , dan /atau pasar
tradisional dengan
berbelanja tanpa kantong
plastik

dan membawa kantong sendiri
.
3. Reuse, memakai kembali barang-barang
yang masih berdaya guna, misalkan memakai baju/alat-alat lama yang layak tanpa
membeli barang baru
4. Recycle, daur ulang hasil konsumsi baik
kita sendiri yang melakukan, atau pendaur ulang
lain. Namun perlu dicatat, tidak semua bahan dapat didaur
ulang.
5. Rerot, membusukkan kembali sampah basah/
organik dengan membuat komposter untuk kesuburan tanah. Bisa dilakukan juga
dengan membuat lubang biopori.
Kurangi sampah plastik dengan membawa tas belanja sendiri.

Well, lima
hal di atas menjadi produk pop seolah-olah merupakan teori baru, yang
sebenarnya telah nenek moyang kita lakukan. Saya ingat di tahun-tahun 1990
awal, ingatan saya tentang buyut saya yang hanya memiliki minim pakaian,
beberapa stel kebaya untuk keseharian, tiga pasang daster, dan empat pasang
selendang kerudung.Di halamannya terdapat banyak sekali tanaman buah, lubang-lubang
khusus menaruh sisa sampah makanan, membawa kantong belanjaan setiap ke pasar,
membuat mie sendiri, selalu menaruh daging atau ayam di besek, membuat makanan
sehari-hari sendiri dengan lalaban dari kebunnya. Apakah beliau tinggal di
desa? Tidak, beliau tinggal di Hegarasih Bandung sebelum ada pembangunan Sultan
Plaza (Sekarang Grand Tjokro). Hidup apa adanya namun tanah di mana-mana.
Akhirnya saya pelajari korelasinya. Minim konsumsi, minim sampah, hidup sehat,
dan berdaulat.

Jika buyut saya hidup
di era kolonial 1903- 1992, saya yang menerima tren di akhir 1980
an hingga sekarang merasa sungguh pola hidup manusia
sudah sangat berbeda. Alasan-alasan yang dikemukakan ketika saya bertanya
mengapa seseorang
mengalami ketergantungan
produk-produk instan yang akhirnya menciptakan sampah adalah alasan
kepraktisan.Tidak salah
, namun secara tak sadar tren tersebut menjadi senjata
makan tuan bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Plastik, yang hanya
terolah sekitar 14% (Data Waste4Change, 2019) menyebabkan masalah besar mulai
dari mikroplastik, dioksin dari pembakaran plastik, kimia B3 dari pembuangan
domestik yang tidak terurus, dan akhirnya berbalik kepada tubuh manusia dengan
meningkatnya angka penyakit termutasi, degeneratif, hingga kanker. Apakah
sebagai kaum urban saya pernah termakan tren juga? Ya, sering. Namun setelah
punya anak, saya langsung berpikir mengenai masa depan bumi, pangan, dan
kelestariannya. Cukuplah, dengan hidup cukup dan merdeka dari rumah sendiri.


Merdeka artinya berdaulat.
Berdaulat dari rumah bisa apa saja dilakukan yang penting berawal dari suatu
niat. Untuk saya
, niat yang paling kuat
adalah mengurangi sampah. Organis maupun non organis. Selain masalah lingkungan
dan kesehatan, sampah telah menjadi masalah politis. Negara dunia ketiga
termasuk Indonesia banyak disalahkan, namun di sisi lain Indonesia harus
memiliki bargaining power  yang mumpuni untuk mengembalikan sampah
kiriman luar negeri. Bargaining power  inilah yang membuktikan wibawa akan kedaulatan
kita, Indonesia. Dari mana kekuatan kedaulatan bisa kita ciptakan? Dari diri
sendiri dan dari rumah
.

Kedaulatan dimulai dari diri sendiri, sesederhana membawa botol minum sendiri saat bepergian.
Niat mengurangi
sampah dari sisa hasil organis yang merupakan penghasil gas metan dan etilen
penyebab pemanasan global tidaklah sulit asalkan ada niat Misalkan, nasi,
sering sekali ada sisa nasi dari cucian piring atau dari penanak nasi yang bisa
dijemur dan dijadikan
kerupuk tanpa takut bahan kimia dari kerupuk yang ada di pasaran.
Ingin susu kacang, bisa
kacang kedelai, kedelai hitam, kacang merah, kacang hijau, kenari atau mede
, yang terpenting kacang lokal. Saya harus membuatnya
tanpa sampah, ampasnya saya jadikan tempe gembus. Dapat makanan, dapat minuman
untuk beberapa hari. Saya ingin memberikan nutrisi dari labu untuk anak saya
, misalkan, kulitnya masuk kompos, dagingnya untuk bubur
labu, bijinya untuk saya makan kuaci yang terkenal dengan pumpkin seeds  yang terkenal
menyehatkan. Konsumsi sehat rutin yang lainnya adalah buah-buahan
. Sebelum masuk kompos, saya memilih memperpanjang
umur sisa konsumsi dan menambah gunanya. Dengan bermodal 2 kg gula di setiap
bulan, pandan dan sereh Rp 5000,- beserta 6 kg kulit buah konsumsi bulanan,
saya berhemat pembersih serbaguna untuk lantai, kaca,
baju, piring, 
pupuk cair untuk tanaman, hingga 3-5 bulan ke
depan jika siklus itu penuh dijalankan. Begitu juga
dengan konsumsi jus apel, kulit dan bagian tengahnya dijadikan cuka apel. 



Tentu
saja, uang yang dahulu dialokasikan untuk snack sehat, makanan, pembersih dan
cuka apel, sekarang dapat menjadi tabungan emas setiap bulannya (Jumlah minimal
tabungan emas Rp. 150.000) untuk anak dan menabung untuk hal lain
, terutama ekoproyek dari rumah, yang menghasilkan sayuran, buah-buahan, ikan air tawar,
unggas, daur air, dan investasi tenaga surya untuk listrik (
yang terakhir ini akan
dilaksanakan tahun 2020). Ada
perasaan yang berbeda ketika memetik tomat, berry, pisang, ubi, kacang kapri,
oyong,  singkong, bayam yang berasal dari
kebun sendiri (di halaman dan di lahan sewa yang diurus sendiri) juga telur
ayam kampung. Jika hasil panen sedang banyak, bisa dibagikan pada tetangga atau
tukang sayur. Perasaan puas, dan syukur tidak akan tergantikan. Kelak kita akan
memberi contoh kepada generasi penerus, untuk berdaulat secara sederhana, hanya
beberapa langkah di rumah dalam menghasilkan gizi. Selain itu dengan
mengumpulkan sampah yang masih bernilai di lingkungan sekitar yang tidak
terkendali,
menyetornya pada bank sampah,
hasilnya untuk charity. Jika sudah
banyak memberikan pengaruh, bentuklah sistem ini bagi masyarakat sekitar.
Banyak manfaat dari
kehidupan yang terkenal dengan gaya frugal
ini. Kita yang menjalani akan terkesan aneh, dalam pandangan masyarakat urban.
Tapi dengan memberikan contoh yang telah dilakukan  suatu saat akan menularkan kebiasaan pada
orang lain lalu berdampak pada lingkup yang lebih besar. Bersatu, berdaulat,
adil dan makmur adalah tujuan yang akan tercapai, bukan hanya paradoks
belaka. 
Inspirasi saya dalam
menjalankan frugal living yang terintegrasi
dengan zero waste dan homegardening concept awalnya adalah
Nicole
, yaitu penggagas blog frugalchiclife.com
.
Ketika itu saya
sedang mengalami kebangkrutan usaha. Uang pegangan tinggal Rp. 80.000 untuk
satu minggu dan butuh pencerahan mengenai manajemen finansial. Sudah pasti,
untuk masak sehari-hari
kami makan sayur yang berasal dari kebun
sendiri. Begitu pula dengan bumbu-bumbuan. Tak ada bawang putih dan bawang
merah yang ranum,
maka saya mencoba memasak hanya dengan daun bawang, salam, jahe,
sayur-sayuran, daun pucuk mangga, daun kedondong, dan tempe tahu yang saya
beli, untuk seminggu seharga Rp. 20.000,- lalu jalan kaki sejarak 4-10 km
menuju tempat kerja. Merasa miskinkah saya? Awalnya iya, lama-lama saya melihat
dan berpikir, pola kehidupan ini menghasilkan sedikit sekali sampah karena
memang hampir tidak membeli apa-apa (akibat rumah kami berhenti menggunakan
jasa tukang
sampah untuk menghemat), lebih sehat karena berjalan kaki, serta
memetik keuntungan
bertani rumahan. Keuangan malah surplus bersisa di akhir bulan
sehingga saat itu tidak ada
istilah bulan tua, sejalan dengan adanya kembali pemasukan. Jadilah, saya dan
suami bersepakat untuk menyumbangkan uang sisa kami.


Kompos yang berasal dari sisa material organis dari kehidupan manusia sehari-hari

Saat kita mendefinisikan kaya-miskin, atau sekedar memandang hidup dari
makna ‘secukupnya’
, pernahkah kita berpikir jika rasa itu tidak dapat diukur oleh angka,
bahkan lebih bermakna untuk menyelamatkan bumi, berdaulat pangan selama kita
mempersiapkannya, adil untuk keadilan sosial masyarakat yang membutuhkan,
makmur secara batiniah? Jika kita bisa menularkan kebiasaan ini untuk komunitas
lebih luas dan mempersatukan berbagai kalangan, maka bersatu, berdaulat, adil
dan makmur bukan hanya menjadi cita-cita Indonesia yang tersurat
.


Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top