Artikel

PENGANGKATAN PJ BUPATI: HARUSKAH MEMPERHATIKAN ASPIRASI MASYARAKAT?


Oleh: NANI EFENDI


Pilkada serentak di seluruh Indonesia masih relatif lama: 27 November 2024. Oleh karena itu, bagi daerah yang masa jabatan bupatinya telah berakhir sebelum pilkada, akan ditunjuk Pj Bupati sampai terpilihnya bupati definitif. Di beberapa daerah, persoalan penentuan Pj Bupati sudah menjadi isu politik yang krusial. Bahkan, di daerah tertentu, terjadi penolakan oleh sekelompok masyarakat terhadap nama-nama calon Pj Bupati yang diusulkan oleh DPRD Kabupaten. 

Sekelompok masyarakat menolak beberapa nama calon Pj Bupati karena dianggap tak mencerminkan aspirasi masyarakat. Pertanyaannya, apakah pengangkatan Pj Bupati suatu daerah mesti memperhatikan aspirasi masyarakat? Bukankah Pj itu hanyalah sebatas jabatan administratif ASN, yang bersifat penugasan, bukan jabatan politik yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum?

Apa itu Pj Bupati?

Pj adalah singkatan dari “Penjabat”, bukan “Pejabat”. Harus dibedakan istilah “penjabat” dan “pejabat”. “Penjabat” artinya orang yang menjabat untuk sementara, menunggu terpilihnya pejabat definitif. Pj Bupati bukanlah jabatan politik yang dipilih oleh masyarakat secara langsung melalui mekanisme demokrasi, yakni pilbup. Ia hanyalah “jabatan administratif” pemerintahan yang berasal dari ASN. Karena itu, untuk menjadi Pj, syaratnya haruslah seorang ASN aktif.

Karena bukan jabatan politik, maka Pj tak memiliki wewenang seluas wewenang bupati definitif. Salah satu contoh, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Pj Bupati dilarang melakukan mutasi ASN. Ia juga dilarang membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan oleh pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan bupati sebelumnya.

Pj Bupati dilarang membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan bupati sebelumnya. Juga Pj Bupati tak boleh membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan bupati sebelumnya. Ini artinya apa? Artinya, Pj tak lebih sebagai “pelaksana tugas (plt)” administratif pemerintahan daerah menunggu dipilihnya bupati melalui pilbup.

Tapi, dan ini yang harus dipahami, meskipun wewenangnya terbatas, dalam praktiknya, Pj Bupati saat ini sudah bisa disebut “setengah bupati”. Bahkan, di daerah tertentu, Pj sudah “rasa bupati”, bergaya bupati, dan dipanggil sebagai “Pak Bupati”. Saya terkadang merasa lucu juga mendengar orang memanggil seorang Pj dengan sebutan “Pak Bupati”. “Sejak kapan ia dipilih oleh masyarakat,” pikirku. Bukankah ia hanya seorang pegawai ASN, tak ubahnya seorang sekda, kepala dinas, kepala instansi, dan semacamnya? Mestinya Pj dipanggil “Pj” saja, bukan “bupati”. Karena ia memang bukan bupati. Pj itu hanyalah seorang ASN, bukan pejabat politik yang dipilih berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi.

Namun demikian, dalam praktik, Pj juga punya peran besar yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Bahkan, sebagaimana saya sebutkan di atas, ia seolah-olah menjadi “setengah bupati”. Artinya, saat ini, Pj tak bisa juga dipandang sebagai ASN belaka. Pj memiliki tugas, kewenangan, kewajiban, dan larangan yang sama dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan larangan bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah. Walaupun dalam hal-hal tertentu wewenangnya terbatas dan tak bisa bertindak layaknya bupati definitif sebagaimana yang saya jelaskan di atas.

Dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban, Pj Bupati juga memiliki hak keuangan dan hak protokoler yang setara dengan kepala daerah definitif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam perspektif negara hukum demokratis, ada benarnya juga Pj itu diangkat dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.

Masyarakat, dalam perspektif politik, menurut saya, idealnya memang harus didengarkan aspirasinya dalam pengangkatan Pj. Karena Pj tak bisa dipandang sebagai pegawai administratif ASN biasa. Pj punya akses luas dan pengaruh besar dalam memimpin administrasi pemerintahan daerah. Karena itulah mekanisme pengusulannya ke presiden tak murni dari menteri, maupun gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Pj juga diusulkan melalui mekanisme politik oleh DPRD Kabupaten. Nah, kalau sudah melibatkan DPRD, berarti Pj tak murni lagi jabatan ASN. Ia sudah bermuatan politik.

Kalau sudah bermuatan politis, maka masyarakat berhak ikut terlibat dalam penentuan Pj Bupati. Protes masyarakat dalam pengusulan Pj Bupati, menurut saya, tidaklah keliru. Oleh karena itu, dalam pengusulan nama-nama Pj Bupati, DPRD—yang merupakan wakil rakyat—mesti mendengarkan pertimbangan, masukan, dan aspirasi masyarakat. DPRD Kabupaten semestinya membuka ruang-ruang diskusi publik terkait nama-nama yang dinilai layak untuk menjabat Pj Bupati. Mesti ada transparansi dan penjelasan rasional: mengapa si A, mengapa tidak si B, si C, dan seterusnya.

Mekanisme pengangkatan Pj Bupati

Ada yang mengatakan wewenang itu ada pada gubernur. Ada juga yang mengatakan wewenang itu dimiliki oleh DPRD Kabupaten. Padahal, DPRD Kabupaten hanya sebatas punya kewenangan mengusulkan, bukan menetapkan. Yang punya kewenangan mengangkat dan menetapkan Pj Bupati adalah Presiden. Bagaimana mekanismenya? Mekanisme pengangkatan Pj Bupati diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota.

Pengusulan Pj Bupati dilakukan oleh Menteri, gubernur, dan DPRD melalui ketua DPRD kabupaten. Menteri mengusulkan 3 (tiga) orang calon. Gubernur juga dapat mengusulkan 3 (tiga) orang calon. Dan DPRD melalui ketua DPRD kabupaten dapat juga mengusulkan 3 (tiga) orang calon Pj Bupati yang memenuhi persyaratan kepada Menteri. Nama yang diusulkan bisa berjumlah 9 (sembilan) orang. Kemudian dilakukan pembahasan oleh Mendagri dan mengerucut menjadi 3 (tiga) nama. Mendagri menyampaikan 3 (tiga) nama usulan calon Pj Bupati kepada Presiden melalui Mensesneg untuk dipilih satu di antara tiga nama. Pengangkatan Pj Bupati ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Jadi, kalau dilihat dari dasar hukumnya, yakni Permendagri Nomor 4 Tahun 2023, wewenang pengusulan itu ada pada Mendagri. Gubernur dan DPRD hanya sebatas “dapat” mengusulkan. Keputusan ada di tangan Presiden. Tapi, sebagaimana yang saya jelaskan di atas, karena Pj bisa menjadi “setengah bupati”, maka idealnya, pertimbangan dan aspirasi masyarakat kabupaten yang bersangkutan—yang diusulkan melalui DPRD Kabupaten—menjadi bahan pertimbangan yang harus diperhatikan. Bagaimanapun, Indonesia adalah negara demokrasi, yang kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.

NANI EFENDI, Alumnus HMI



Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top