Setelah menyusuri berbagai kelompok serta ajarannya, Abu Hamid Al-Ghazali pun sampai kepada jalan Sufi yang merupakan akhir pendakiannya.
Pengalaman yang diceritakan olehnya pada bab ini secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga bagian –meskipun ini tidak disampaikan secara eksplisit. Pertama, telaah Al-Ghazali tentang Tasawuf. Kedua, Keinsyafan dan Pergulatan batin. Ketiga, pengalaman dan pengaruh uzlah baginya.
Telaah Al-Ghazali tentang Tasawuf
Al-Ghazali mempelejari tasawuf secara teoritis dengan menelaah sejumlah kitab tasawuf seperti Quut al-Qulub milik Abi Tholib Al-Makkiy, Mutafarriqat al-Ma’tsurrat milik Haris Al-Muhasibiy, karya-karya Abu Yazid Al-Bistomi, Al-Syibli dsb. Dengan kemampuan penalarannya yag kuat ia pun sampai pada esensi dan tujuan dari tasawuf.
Namun ia sadar bahwa buku-buku tersebut hanya menyajikan wacana tasawuf. Adapun Hal-hal inti dari yang inti (akhossul khowaas) dalam tasawuf tidaklah diperoleh hanya dengan dipelajari, melainkan dengan rasa (dzauq), pengamalan (haal) dan keadaan yang temporer (maqaam).
Menurutnya, beda antara orang yang hanya mengetahui dengan yang lansung merasakan. Orang yang mengetahui definisi kenyang dan orang yang merasakan kenyang itu berbeda, atau mengetahui definisi mabuk dan orang yang ‘merasakan’ langsung mabuk itu sendiri. Sebab disana ada orang yang sekadar mengetahui tanpa merasakan, ataupun sebaliknya merasakan namun tidak mengetahui.
Nah, para ahli tasawuflah yang kata al-Ghazali merupakan orang-orang yang bermain pada level ‘pengamalan’ (arbabu ahwal) bukan sekadar omong kosong (arbabul aqwaal).
“Adapun apa-apa yang dicapai dengan ilmu/belajar, sungguh itu telah kudapatkan, yang tersisa hanyalah hal-hal yang tidak bisa diperoleh dengan itu semua melainkan dengan dzauq dan salik. (wa anna maa yumkinu tahsiiluhu bithoriiqil ilmi faqad hassholtuhu wa lam yabqo illa ma la sabiila ilaihi illa bissamaa’I wat ta’allum bal bidzzauqi wassuluuki), ujar Al-Ghazali.
Sebuah Keinsyafan dan Pergulatan Batin
Sebelum memutuskan untuk mengasingkan diri (uzlah) dan menyendiri (khalwah) al-Ghazali mengalami perang batin yang begitu kuat. Ia mengintropeksi dirinya yang konon larut dalam berbagai ‘ikatan’ (al-‘Alaaiq) yang membelitnya dari berbagai sisi. Berbagai amalan baiknya, seperti megajar, dinodai dengan niat kotor seperti mencari penghargaan dan popularitas, bukan karena Allah.
“maka aku pun sadar bahwa diriku berada di bibir jurang yang rapuh dan nyaris celaka kecuali jika diriku membetulkan keadaan”, ujar al-Ghazali
Ketika hendak memutuskan untuk pergi meninggalkan Baghdad dan meninggalkan semua ikatan itu, muncul suara lain yang membuatnya ragu hingga mengurungkan niatnya. Perang batin pun kembali terjadi antara dorongan akhirat dan syahwat dunia. Setan pun terus menghasutnya untuk tetap berdiam diri dan jangan menghiraukan ajakan itu. Demikianlah perang batin tersebut terjadi kurang lebih 6 bulan lamanya.
Dirinya lesu, lidahnya kelu, selera makan dan minumnya hilang. Dokter pun memvonis bahwa ini semua bukan penyakit pada bagian fisik melainkan pada jiwa yang terdalam yang mempengaruhi kondisi tubuhnya.
Dalam kondisi tak berdaya inilah ia bermunajat pada Allah untuk dapat dikuatkan untuk meninggalkan status, kekayaan, keluarga dan para kerabatnya, hinnga akhirnya al-Ghazali pun keluar dari Bagdad dengan niat uzlah.
Pengalaman sekaligus Efek Uzlah
Pada fase inilah al-Ghazali mengaplikasikan teori tasawuf yang ia pelajari dulu. Hampir 10 tahun al-Ghazali menghabiskan waktu untuk mengasingkan diri dari suatu tempat ke tempat lain, menyepi dan mengunci diri selama sehari penuh di menara masjid Damaskus, tafakkur di puncak baitul Maqdis melakukan ibadah haji dan berziarah ke makah Rasulullah Saw.
Meski konsentrasinya sempat diganggu oleh berbagai peristiwa, urusan keluarga dan tuntutan hidup, namun ia terus bertahan untuk terus fokus.
Sampai akhirnya dahaga intelektualnya terbayarkan dengan ini semua. Ia merasakan berbagai hal yang menurutnya tidak bisa untuk diceritakan. Dirinya yakin bahwa ahli tasawuf lah pelopor jalan menuju Allah Swt yang mempunyai gaya hidup yang terbaik; diam dan geraknya merupakan pancaran dari cahaya kenabian, dan apakah ada yang menandingi cahaya kenabian di muka bumi ini?
Dalam perjalanan ini juga al-Ghazali mengaku banyak merasakan dan melihat hal-hal yang selama ini tertutup; seperti wujud malaikat dan ruh-ruh para Nabi, atau bahkan suara-suara petuah mereka. Bahkan menurut Dr. Syam pada tingkat yang lebih tinggi mereka tidak hanya melihat bentuk dan rupa tetapi juga hl-hal ain yang apabila diungkapkan dengan kata-kata pasti salah.
Masih menurut Dr. Syam, karamat itu merupakan hasil, buah atau hadiah dari usahanya mendekatkan diri pada Allah Swt. “Gampangnya begini, kalau anda mencintai seorang tokoh kemudian Anda berusaha dekat dengannya, dan saat sudah dekat anda diberikan hal-hal yang mungkin tidak diberikan selain kepada Anda,” ujar Dr. Syam
Namun diakhir pembahasan, al-Ghazali menyayangkan orang-orang yang mengingkari ‘kelebihan’ yang dimiliki para sufi ini, dari dzauq atau hal-hal lainnya. Orang-orang itu kata al-Ghazali adalah orang bodoh yang hanya mendengar namun tidak merenung. Allah Swt membuat mereka tuli dan buta karena mengikuti nafsunya, sebagaimana yang disebutkan oleh al-Quran.
Inilah akhir dari pendakian al-Ghazali
Bana Fatahilah
17 Oktober 2020
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.