Uncategorized

Menemukan Makna Arsitektur Atap Rangka Gedung Baru Untan

Gedung konferensi Untan dengan
latar langit senja
(dok. arsitekemarinsore, 2023)

Suatu pagi di hari minggu, seperti biasa kawasan kampus Untan ramai dikunjungi oleh warga yang berolahraga sekaligus berekreasi. Salah satu tempat yang paling diminati dan ramai dikunjungi akhir-akhir ini adalah area kolam ruang terbuka yang terletak di antara Gedung Konferensi dan Gedung Perpustakan Untan. Kedua bangunan yang saling berseberangan ini memiliki ketinggian 3 lantai dengan bentuk atap pelana segitiga yang identik. Fasad utama kedua gedung ini menghadap ke arah gerbang masuk utama kampus menyambut pengunjung yang datang dari arah bundaran Digulis. Arsitektur bangunannya yang unik memberikan nafas baru bagi identitas maupun aktifitas di dalam kawasan kampus Untan. 

Selain tampilan yang modern dengan material kaca dan secondary skin yang menutupi dinding bangunan, salah satu keunikan Gedung Konferensi dan Perpustakaan Untan adalah bagian atap pelana segitiga yang secara arsitektural berbentuk rangka. Rangka atap itu dibuat dari baja-baja bulat yang tersusun dari elemen kuda-kuda dan susunan gording horizontal dengan perkuatan tali baja yang menyilang. Rangka atap segitiga yang dicat warna cokelat tua ini bertumpu di atas bangunan berkonstruksi beton di bawahnya dengan ukuran yang cukup masif dan terkesan gigantik. 

Dengan tampilan demikian ternyata atap rangka ini sempat memancing komentar warga yang sedang bersantai di atas tempat duduk berundak gedung perpustakaan yang menghadap gedung konferensi. Salah satu percakapan yang penulis curi dengar dari dua orang ibu muda ini adalah ketika salah seorangnya berkata : “ngape (pelapis) atapnya ndak dipasang?” Kemudian ibu yang satunya menjawab: “atapnye tu udah ade di bawahnye yang warne merah.” Sambil mendengar penulis pun memperhatikan atap warna merah yang dimaksud ibu tersebut. Atap tersebut landai dan terlindung dari pandangan kalau kita melihat dari jalan. Ibu itu mencoba menunjukkan bahwa atap asli yang berfungsi melindungi bangunan dari panas dan hujan adalah atap berwarna merah tersebut. Sementara atap rangka raksasa yang ada di atasnya bukanlah atap yang berfungsi untuk itu. 

***

Berwujud masif serta memberikan nuansa kebaruan bagi kampus Untan, tentunya atap rangka raksasa gedung konferensi dan perpustakaan memperoleh perhatian dan tanggapan banyak orang. Percakapan kritis di antara ibu-ibu awam setidaknya mengindikasikan adanya perhatian masyarakat umum pada ikon arsitektur yang notabene berperan dalam membentuk citra kawasan atau wajah kota. Sebagai informasi, desain gedung Untan ini adalah hasil sayembara desain yang diadakan pihak kampus secara nasional di tahun 2015. Dalam proses pembangunannya bentuk bangunan yang terwujud saat ini diarahkan agar sesuai dengan visi arsitektur yang diusulkan oleh arsiteknya. 

Visi arsitektur tersebut memancing argumen kritis arsitek lokal yang menitikberatkan pada biaya pembangunan yang dianggap boros untuk menghasilkan bangunan dengan desain atap yang masih berupa ‘rangka.’ Namun demikian, menurut penulis ada aspek nilai arsitektural yang kiranya perlu dimaknai lebih jauh dari atap rangka gedung baru Untan ketimbang hanya ditinjau dari aspek nominal.

Interpretasi simbolik pendidikan akademik

Jika kita duduk di lantai berundak gedung perpustakaan menghadap gedung Konferensi, kemudian menggeserkan pandangan sedikit ke kanan, maka akan terlihat atap gedung terpadu Politeknik Negeri Pontianak (Polnep) di lokasi yang tidak terlalu jauh. Bila diamati bentuk atap gedung Konferensi Untan dan gedung terpadu Polnep sama-sama berbentuk atap pelana. Atap pelana gedung Polnep tertutup lapisan atap sebagaimana mestinya atap. Sementara gedung Untan terkesan sebagai gedung yang belum dilapisi lapisan atap. Fenomena ini menarik jika kita tarik realitas bentuk atap kedua kampus ini sebagai representasi perbedaan antara orientasi pendidikan akademik (Untan) dengan pendidikan vokasi (Polnep). 

Dengan model pendidikan vokasi yang berfokus pada penerapan keahlian suatu bidang tertentu, atap gedung terpadu Polnep yang tertutup lapisan atap menunjukkan bagaimana seharusnya sebuah atap dibangun untuk memenuhi fungsinya. Namun tidak demikian pada atap gedung Untan. Dari sudut Pandang pendidikan akademik yang berkutat pada teori dan konsep-konep disiplin ilmu, perwujudan atap bukan tentang bagaimana atap yang ‘seharusnya’ tapi lebih kepada ‘kemungkinan’ sebuah atap. 

Dengan demikian atap Polnep dimaknai sebagai fenomena wujud keterselesaian sementara atap Untan lebih tentang pemaknaan abstrak yang tak habis-habis. Karenanya atap di gedung Untan bukan berbicara tentang fungsi atap tetapi tentang ‘konsep sebuah atap’.

Geneologi arsitektur yang rancu

Kalau kita bertanya di awal, sebenarnya dari mana asal inspirasi atap gedung konferensi dan perpustakaan? Dugaan kuat inspirasi ini berasal dari bentuk atap gedung rektorat Untan. Alasannya adalah, pertama, ditinjau dari sudut pandang masterplan kawasan tipologi bangunan kampus umumnya mengacu pada kode arsitektural bangunan yang dianggap sebagai induk (master). Gedung rektorat merupakan bangunan induk yang memiliki kedudukan sakral karena berada di tengah aksis kuat yang mengikat kluster gedung-gedung fakultas di seluruh area kampus. Maka wajar ‘DNA’ bangunan induk ini diturunkan ke bangunan sekitarnya termasuk bangunan baru yang muncul kemudian dengan pendekatan arsitektural tertentu. 

Sejauh yang dapat diamati kemunculan gedung-gedung baru yang berdiri di dekat gedung rektorat memiliki strategi pendekatan bentuk atap dalam menghargai konteks gedung rektorat sebagai bangunan induk. Misalnya, gedung konferensi dan perpustakaan yang posisinya di depan dan agak jauh mengadaptasi bentuk atap gedung rektorat namun dalam wujud rangka saja. Sementara itu gedung baru perkuliahan bersama empat lantai yang posisinya lebih dekat, yakni di sisi sayap kiri dan sayap kanan gedung rektorat menyesuaikan diri dengan merendahkan atapnya hingga terkesan beratap datar seolah menjaga kesakralan bentuk atap segitiga gedung rektorat yang berada di tengah.

Namun gedung rektorat sendiri nampaknya mengalami kerancuan pada ‘siapa yang ikut dan siapa yang diikuti.’ Seperti yang dilihat saat ini perubahan fasad atau facelift gedung rektorat terkesan exaggerative dalam meniru bentuk atap rangka gedung konferensi dan perpustakaan yang notabene mengadaptasi atap gedung rektorat di awal. Meskipun terlihat modern gedung rektorat menjadi kehilangan kesakralannya sebagai ‘master DNA’ kawasan Untan, karena saat ini kedudukannya menjadi follower. Ditambah lagi beberapa gedung fakultas mengalami facelift yang mengacu gedung konferensi dan perpustakaan. Agar arsitektur kawasan Untan memiliki akar yang jelas dan tidak rancu kedudukan gedung rektorat harus kembali sebagai master bukan follower. 

Langit sebagai atap

Setidaknya fenomena both-and dapat diungkap dari wujud atap rangka ini, yakni terlihat asing tapi saat yang sama terasa familiar. Terkesan berat sekaligus ringan. Berwujud eksterior sekaligus interior. Tertutup sekaligus terbuka. Solid sekaligus transparan. Modern sekaligus tradisional.

Siapapun yang melihat atap gedung konferensi dan perpustakaan Untan akan merasa familiar karena secara bentuk dan ukuran mirip beberapa atap gedung pemerintahan, seperti kantor gubernur dan gedung DPRD di jalan Ahmad Yani. Dan kalau kita perhatikan lebih seksama, bentuk gedung konferensi dan perpustakaan Untan secara keseluruhan berbentuk siluet sebuah atap rumah tradisional. Kita dapat membayangkan bahwa pipa-pipa baja masif yang miring di sisi kanan gedung konferensi dan lantai berundak yang ada di sisi kiri gedung perpustakaan adalah perpanjangan kemiringan atap yang hampir menyentuh tanah. Konsepsi bentuk atap ini sejalan dengan ciri arsitektur dua musim nusantara dimana bagian atap berukuran lebih dominan dibanding bagian dinding (Prijotomo).

Dalam konteks era modern rangka kayu tradisional diganti oleh batang dan pipa-pipa baja. Elemen bentuk atap tradisional mengalami reduksi kegunaan praktisnya dengan absennya material pelapis atap sehingga memperlihatkan struktur rangka atap yang seharusnya tersembunyi. Reduksi ini menyisakan nilai simbolik dari fungsi atap sehingga relevan dengan tipologi bangunan modern. Kemunculan rangka atap yang terekspos juga mengingatkan kita pada asal dan identitas arsitektur nusantara yang dibangun dengan sistem rangka yang ringan, membedakannya dari arsitektur barat yang dibangun dengan sistem struktur batu yang solid.

Oleh karena itu, kenapa tidak persepsi kita akan sebuah atap dengan material penutup diteruskan diantara celah pipa-pipa baja horizontal hingga ke langit biru. Dengan demikian kita dapat menginternalisasikan elemen langit diantara celah rangka atap yang kosong sehingga langit dan struktur atap bangunan seolah menyatu. Dari arah manapun mata kita memandang, atap rangka tersebut akan meminjam warna langit sebagai pengisi lapisan atapnya. Mungkin inilah keunikan, bahwa dengan wujud yang gigantis itu ia tidak menghalangi pandangan ke arah langit khatulistiwa yang istimewa.

Kembali pada pertanyaan seorang ibu di minggu pagi yang cerah itu, ‘mengapa atapnya belum dipasang?’ Maka jawabnya, alih-alih berlapiskan atap bitumen biarlah bangunan beratapkan langit biru atau jingga. Sementara di malam hari atap ini berselimutkan langit malam bertabur bintang, sebagaimana judul lagu band asal British, Coldplay, sky full of stars.

*Publikasi pertama, Opini Pontianak Post, Sabtu 21 Oktober 2023. 


Paling Populer

To Top