Novel Series (Motivasi)

Melukis Warna Senja (Part 8)



Melukis
Warna Senja
Kehidupan Afnan dalam perantauannya mulai menemui titik kesuksesan.
Kini ia telah memiliki seorang istri yang cantik serta sholehah. Anak kedua
dari kiai Hasan; Khaira Talita. Ia hidup bahagia dan memilih menahkodai rumah
tangganya di luar pesantren. Tidak sama halnya dengan Abdullah Yakub dan Hasna
Nabila. Mereka mengabdikan diri untuk pesantren Amirul Mukminin. Afnan sudah
memiliki rumah kontrakan sendiri dari hasil kerjanya. Disela-sela kesibukan
mereka, ia masih sempatkan untuk menjenguk kiai Hasan di pesantren namun Afnan
belum pernah kembali ke kampung halamannya semenjak kepergiannya. Bukan sebab
tidak rindu pada kampung halamannya dan wanita tua yang ia cintai namun
disebabkan oleh ikrar dirinya bahwa kelak ia akan kembali ke kampung halamannya
dengan menghadiahkan kesuksesan pada ibunya. Namun kerinduannya terhadap ibunya
telah terobati kala ia resmi menjadi pasangan suami istri dengan Khaira. Saat
itu ibunya datang dengan dijemput oleh sahabatnya; Yakub. Ibunya bangga pada
Afnan meskipun saat itu ibunya meminta mereka menetap di tanah kelahiran Afnan
tapi Afnan meyakinkan ibunya untuk kesekian kalinya bahwa ia akan kembali tapi
bukan untuk sekarang.
Khaira sangat beruntung memiliki suami seperti Afnan sebab Afnan
merupakan laki-laki romantis yang sering memberikan kejutan cinta dan sayang
padanya. Ia laki-laki yang penuh tanggung jawab dan lapang dada. Segala
sesuatunya mereka selalu memusyawarahkannya secara bersama-sama tanpa ada yang
terzhalimi di antara mereka. Ia membangun rumah tangganya dengan cinta dan
kepercayaan. Dan sudah seyogyiyahnya rumah tangga harus seperti itu. Harus ada
kepercayaan antara suami terhadapa istri. Begitupun dengan sebaliknya
kepercayaan istri terhadap suaminya.
“Dek Khaira punya kesibukan minggu ini?” tanya Afnan pada istrinya.
Ia memanggil istrinya dengan panggilan adek. Panggilan yang menurut mereka
sangat pas dan penuh dengan cinta.
Minggu ini Khairan tidak
sibuk kak hanya di rumah saja.”
“Dek Khairan ingin menemani kakak ke pantai?” ajak Afnan.
“Untuk apa kak?” tanyanya cari tahu.
“Tidak ada apa-apa dek. Kakak Cuma ingin pergi ke pantai. Menikmati
riakan ombak. Hembusan angin dan tentunya menikmati senja yang berlabuh. Dan
alangkah senangnya hati kakak kalau ada adek Khaira di samping kakak sehingga
kita bisa meleburkan cinta kita pada keindahan alam yang terpancar dengan
tasbih mereka kepada penciptanya.”
“Khaira ingin kak. Ingin sekali. Ingin menikmati semuanya berdua.
Di mana kita menyatukan cinta kita pada keindahan alam. Meleburkan semuanya sebagai
tanda syukur kita padaa-Nya. Dan hanya kita berdua. Sungguh romantisnya kak.”
Terawang Khairan.
“Kalau begitu besok kita berangkat. Kita menginap semalam di sana
dan insya Allah untuk penginapannya kakak punya teman yang menyewakan sebuah
vila.” Khaira menganggukan dan perbincangan mereka berakhir. Afnan menuju
tempat kerjanya sementara Khairan melanjutkan pekerjaan rumahnya. Tak lupa
Afnan mencium kening istrinya; Khairan dengan lembut.
***
“Maaf Nan, kami tidak bisa ikut bersama dengan kalian sebab kami
ingin menemui keluarga abah di tanah kelahiran abah. Insya Allah sore ini kami
berangkat bersama dengan abah dan umi.” Tolak Yakub dengan sopan.
“Bagaimana dengan pesantren mas?”
“Insya Allah selama kami pergi, pesantren diambil alih oleh ustad
Ajir beserta dengan ustad dan ustadzah lainnya. Kami berencana sepekan di sana
sebab ada urusan abah yang harus beliau selesaikan sebelum kembali ke
pesantren.” Ujar Yakub sambil memanggil Hasna untuk menyiapkan sarapan pagi
untuk mereka berdua.
“Sudah sarapan akhi?” tawar Yakub sambil menuju meja makan.
“Belum mas kami berangkat ke sini selepas sholat subuh jadi kami
tidak sempat sarapan.”
“Kalau begitu akhi Afnan sarapan dengan kami, Hasna sudah
menyiapkan di meja makan sekalian Khaira juga dipanggil,”
“Iya mas. Abah dan umi tidak ikuts mas?” tanyanya sambil menuju
meja makan. Begitupun dengan Hasna dan Khaira mengikut di belakang mereka
sambil membawa sop panas.
“Mereka sudah akhi sejam yang lalu. Silahkan akhi jangan
sungkan-sungkan.” Afnan tersenyum sambil mengambil nasi hangat dan ikan goreng
sambel buatan Hasna dan Khaira. Mereka melebur dalam nuansa satu keluarga
besar. Keluarga kiai Hasan.
Mentari telah beranjak dan waktu awal duha telah berlalu. Afnan dan
Khaira mohon pamit. Keduanya berlalu meninggalkan pesantren menggunakan motor
Jupiter MX warna biru hitam. Ia mengenderainya dengan laju diatas rata-rata.
Afnan melebur dengan lalu lalang kendaraan yang lain di ruas jalan raya. Mereka
menikmati perjalanannya berdua menuju pantai pesisir berpasir putih di sudut
kota. Mereka sudah memesang vila panggung di tempat yang dekat dengan ombak.
Mereka sengaja memilih tempat yang paling dekat dengan pantai agar mereka bisa
menikmati angin malam dan irama irakan ombak yang saling berkejaran.
“Silahkan dek Khairan istrahat dulu melepas penat, kakak cari makan
dulu abis itu baru kita memulai petualangan cinta kita.” Saran Afnan pada
istrinya. Khaira memang tampak kelelahan akibat perjalan mereka. Ia merebahkan
tubuh di kamar vila tersebut sementara Afnan keluar mencari makanan untuk
mereka selama di vila. Sebenarnya pemilik vila sudah menyiapkan makanan untuk
para pengunjung dengan harga yang terjangkau namun Afnan menolak sebab ia ingin
memanjakan istrinya dengan memasakan makan malam untuk mereka. Ia benar-benar
ingin menikmati kebersamaan mereka berdua dengan penuh cinta. Meleburkan
cintanya yang membuat penduduk langit iri dengan mereka. Afnan ingin menjadi
suami romantis yang bisa terus dirindukan oleh istrinya. Salah satunya dengan
memanjakan Khaira disetiap moment-moment yang terkadang membuat Khairan
melompat kegirangan penuh manja padanya.
Afnan menelusuri jalan dan tempat disekitar vila tersebut namun tak
ada yang tampak penjual. Maka ia keluar mengendarai jupiter MX-nya menuju jalan
utama hingga ia menemukan super market yang cukup luas. Ia memilih beberapa
makanan dan bumbu yang ia butuhkan untuk mempersiapkan makan malam mereka. Tak
lupa juga ia membeli sebuah lilin berwarna sebagai tanda keromantisan yang akan
ia ciptakan di bawa temara dan bintang kejora. Setelah Afnan rasa semua yang ia
butuhkan ada ia kemudian kembali menuju vila dekat pantai.
Ia mendapati istri tertidur pulas karena kelelahan. Ia menatap
istrinya cukup lama hingga Khaira terjaga dari tidurnya.
“Kakak sudah pulang.” Ujarnya kala melihat Afnan di hadapannya.
Afnan hanya tersenyum.
“Adek kelelahan?”
“Iya kak namun tidak lagi. Khaira sudah tidur dan ini cukup untuk
memulihkan stamina Khaira.” Ucap Khaira sambil mengucek matanya ia terasa
gatal.
“Dek Khaira mandi dulu, lepas itu kita jalan ke pantai. Bukankan
dek Khaira ingin menikmati senja berlabuh?”
“Iya kak.” Jawab Khaira sambil memeluk suaminya; Afnan. Afnan
kembali memeluk Khaira sambil mencubit pipinya. Khaira histeris manja sambil
membalas cubitan suaminya. Merekapun bermanja-manjaan seperti anak kecil
diiringi dengan teriakan kecil dan tawa keduanya. Sungguh bahagia.
Mereka berjalan bergandengan tangan menelusuri sepanjang pantai.
Merasa halusnya pasir putih dan irama ombak yang saling berkejaran. Petala
langit tak lagi berwarna biru muda namun ia telah terganti dengan warna orengen
pengaruh bias-bias sinar senja yang akan berlabuh. Gerimis berjatuhan
mengiringi perjalanan senja yang akan berlabuh sementara Afnan dan Khaira
memilih duduk berdua di bibir pantai sambil menyandarkan kepalanya di punggung
suaminya. Mereka selonjorkan kakinya hingga kakinya menyentuh sejuknya air laut
nan jernih.
“Dek Khaira apa yang engkau rasakan?” tanyanya sambil mengelus
kepala Khaira.
“Aku sangat merasa bahagia kak. Merasa menikmati senja yang akan
berlabuh. Senja yang sejenak rehat dari perjalanan panjangnya yang akan
digantikan oleh perjalanan rembulan dan bintang pada jubah kelam malam,”
“Kakak sendiri bagaimana yang dirasakan?” Khaira balik bertanya. Ia
ingin mendengarkan cintanya tentang apa yang ia rasakan sore ini. Sore di mana
ia bercengkraman mesra dengannya.
“Kakak berharap.” Jawabnya pendek. Khaira kaget dengan jawaban
suaminya sebab tidak ada korelasi dengan jawaban suaminya dengan pertanyaannya.
“Kakak berharap ada pelangi. Pelangi yang muncul kala gerimis
berlalu.” Lanjutnya yang mengerti perasaan Khaira.
“Kenapa harus pelangi kak?”
“Sebab pelangi selalu memberikan keindahan dan ketenangan. Ia
menggambarkan betapa indahnya sebuah perbedaan yang dibalut dalam persamaan
visi dan misi. Pelangi yang menggambarkan bahwa kita harus mengerti dan siap
menerima perbedaan sehingga bisa saling menyatu dalam kebersamaan yang dinaungi
cinta dari-Nya. Namun senja, kata orang senja menginsyaratkan kekosongan.
Kekosongan terhadap individu yang selalu menikmatinya. Aku tidak ingin menjadi
salah satu bagian orang-orang yang hidup dalam kekosongan. Kekosongan pada
hati. Kekosongan dalam langkah dan kekosongan dalam visi dan misi. Maka aku
berharap dengan adanya pelangi ia bisa mengisi kekosongan itu. Kekosongan hatiku.
Kekosongan langkahku dan kekosongan visi dan misiku. Aku berharap selalu ada
pelangi kala gerimis berlalu tak kenal ia hadir saat senja ingin berlabuh atau
kala sang surya bersinar terang.”
“Bukankah mustahil pelangi beriringan dengan senja yang akan berlabuh?”
tanya Khaira.
“Tak ada yang tak mungkin bagi Allah. Aku akan selalu berharap ada
pelangi.”
“Semoga saja.” Jawabnya pendek sambil mengaminkan dalam hatinya.
Semoga harapan suaminya terkabul sebab salah satu waktu doa yang akan diijabah
oleh-Nya adalah saat tetesan air bening berjatuhan dari langit membasahi tanah
kering di bumi.
“Kakak percaya dengan kuasa-Nya dek.” Ujar Afnan penuh keyakinan.
Gerimis berlalu dan tak ada indikasi datangnya pelangi namun senja berjalan
untuk berlabuh. Afnan hanya tersenyum dan mengarahkan pandangannya di ujung
laut lepas. Namun sungguh besar kuasa-Nya sebab gradasi tujuh warna keindahan
alam perlahan membentang membentuk setengah lingkaran yang menguasai petala
langit. Ia terbentang menjadi sebuah keindahan yang disebut dengan pelangi.
Pelangi yang tepat berawal di ujung senja.
“Pelangi di ujung senja.” Ujar Afnan dengan senyum mengembang.
“Subhanallah……” respon Khaira dengan dada yang berdegup kencang
penuh takjub.
“Inilah bukti kuasa-Nya dek. Ia mampu memunculkan pelangi di ujung
senja. Pelangi yang mengiringi berlabuhnya senja untuk mengisi kekosongannya
dalam rehatnya menanti perjalanan yang sama kala malam tenggelam.”
“Subhanallah…..” tasbih keduanya penuh syukur. Afnan kembali
mengecup kening istrinya, Khaira dengan mesra hingga riakan ombak mendendangkan
syair kecemburuan atas rajutan kasih sayang yang mereka perlihatkan.
Burung-burungpun nampak iri dengan kemesraan kedua yang begitu menghadirkan
alunan syahdu nan merdu sebagai irama yang menemani perjalanan senja menembus
perut bumi.
Afnan telah menemukan cintanya yang suci. Dan dengan cinta mereka
yang terbina atas dasar cinta karena-Nya sehingga Afnan dan Khaira mampu
menghadirkan kehangatan dan keromantisan dalam bahtera rumah tangga mereka.
Afnan bahkan mampu melukis warna senja yang ia peruntuhkan untuk istrinya,
Khaira dalam bentuk kasih sayang dan cinta yang tulus serta menempatkannya
sebagai perempuan pertama dan terakhir dalam hidupnya sebagai tanda bahwa ia
benar-benar beruntung mempersunting Khaira menjadi belahan jiwa seutuhnya.
“Aku akan melukis warna senja dalam rumah tangga yang kita jalani
sayang. Melukisnya dalam bentuk nyata sebagai tanda bahwa kaulah bidadari
duniaku dan kelak akan menjadi bidadariku di surga. Insya Allah.” Imbuh Afnan
dengan mantap.
***
BERSAMBUNG ……

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top