MEMBONGKAR ADAT LAMO PUSAKO USANG – Seri 306
Oleh: H. Aulia Tasman
Gelar Depati Muaro Langkap
Tanggal 17 Desember 2017
MENGUKUR KETUAAN NEGERI LEMPUR – (4 tamat)
Lempur Berdaulat Menjadi Wilayah Kedepatian
Wilayah Lekuk 50 Tumbi Lempur yang pada sekitar tahun 1776 Masehi atau abad ke 18 masih bernama dengan ‘genah padang buku’ yaitu di sekitar antara Lempur Tengah sampai Lempur Hilir sekarang dan sering pula disebut sebagai daerah ‘ujung tanjung muara danau’, dan juga oleh orang Tamiai disebut sebagai daerah ‘ujung tanjung muaro sakeau’. Muara Sekeau dulunya adalah sebutan dari daerah Tamiai sekarang yang terletak di muara sungai Air Lingkat sekarang, sehingga daerah hulunya disebut dengan ‘Ujung Tanjung Muaro Sakeau’. Pusat permukiman penduduk pada zaman itu terdiri dari dua tempat yaitu di Lempur Tengah sekarang dan di sekitar ‘aceh tinggi’ dekat Mesjid Lempur Mudik sekarang.
Awalnya penduduk di dua wilayah itu adalah masyarakat yang hidup dalam kelompok kecil hidup di sektor pertanian yang berada di wilayah Pamuncak Tuo (Pulau Sangkar), masyarakat ini berkembang biak pada dua wilayah itu yang mengelompok sampai dengan pertengahan abad ke 18 M hanya terdiri dari 50 keluarga (tumbi), yang tinggal dalam bentuk rumah berderet panjang.
Setelah Mampado (cucu Itam – gelar Depati Talago yang ke 4) dewasa dan hidup dengan tenteram bersama saudaranya Meh Telok yaitu saudara berlainan ibu yang berasal dari Pulau Raman (Kecamatan Muara Siau – sekarang) hidup di renah padang Buku (Lempur sekarang). Pada suatu hari Meh Telok bercakap-cakap dengan adiknya Mampado, mengatakan kepada adiknya Mampado: “Hai Mampado! Saya raso sudah puas rasanya kita mendiami daerah ini dari nenek-nenek sampai pada kita, tetapi kita masih tetap seperti perantau mendiami daerah ini karena kita sampai saat ini terutama engkau Mampado sebagai sebagai anak laki-laki tidak diberi gelar depati melainkan bergelar Rio. Sedangkan ayah kita dahulu datang dari Pulau Raman ke sini beliau membawa dua gelar yaitu DEPATI AGUNG dan DEPATI NALI.
Jadi sekarang sudah waktunya engkau menuntut gelar tersebut pada nenekmu Depati Telago (Depati Rencong Telang) di Pulau Sangkar. Seandainya engkau tidak mau menuntut gelar pusako tersebut, biarlah saya akan meninggalkan daerah ini kembali ke Pulau Raman tempat kelahiranku. Mampado pun mengabulkan permintaan kakaknya, beliau Menjawab: “Kalau begitu kata kakak, baiklah sekarang juga aku berangkat ke Pulau Sangkar”. Mampado pun berangklah ke Pulau Sangkar dengan keris di pinggang, menuntut gelar pusako sebagaimana yang dianjurkan dan dikatakan oleh kakaknya Meh Telok.
Setibanya di Pulau Sangkar di depan rumah neneknya Depati Telago dengan keris terhunus dia berseru: “Hai nakek! Hari ini kita membongkar pusako dan saya menuntut supaya saya diberi gerar Depati. Kalau tidak, akan aku hitamkan tiang panjang dan siapa yang menghalangi, itulah lawanku”. Mendengar permintaan cucunya, Depati Telago (kakek Mampado) melihat ke halaman dan nampaknya oleh Depati Talago cucunya yang bernama Mampado dengan keris tehunus sedang marah-marah.
Depati Talago minta supaya cucunya Mampado naik ke rumah untuk berunding dengan neneknya Depati Telago mengenai permintaan dari Mampado untuk mendapatkan gear Depati.
Mampado tetap tidak mau naik ke rumah nakeknya sebelum diberi gelar Depati. Karena melihat cucunya Mampado tidak mau naik ke rumah dan marahnya semakin menjadi-jadi, nakeknya pun merasa cemas pula, maka dengan tergesa-gesa diambilnya canang lalu dibunyikannya dan beliaupun berkata: “Hai seluruh penduduk Pulau Sangkar yang berado di larek bawah, dan hai penduduk Pulau Sangkar yang berado di larek deteh, denga Mampado ini diberi gelar, so iyo duo idak. Mendengar jawaban masyarakat serentak menjawab ‘Yo”, Depati Talago langsung mengajak Mampado naik ke rumah karena sudah diberi gelar dan mendapat pengakuan dari masyarakat. Dengan ini saya beri tahukan bahwa mulai dari saat ini Mampado saya beri gelar depati, yaitu Depati Anum yang mana Depati Anum ini boleh mengerat putus dan memakan habis dalam daerah Ujung Tanjung Muaro Danau (Lempur sekarang).
Setelah menerima gelar itu Mampado gelar Depati Anum, lalu naik ke rumah neneknya/nakeknya Depati Telago dan selanjutnya diadakan pula kenduri untuk peresmiannya menjabat gelar Depati Anum itu, dengan memotong kambing se ekor dan menghanguskan beras dua puluh.
Keesokan harinya setelah meminta izin dari nakeknya Mampado gelar Depati Anum pun berangkat kembali ke Lempur. Setelah sampai di Lempur lalu Mampado gelar Depati Anum langsung menemui kakaknya Meh Telok dan menceritakan pada Meh Teluk bahwa perjuangannya telah selesai, yaitu dia telah mendapat gelar Depati Anum.
Mendengar itu jangankan bergembira, melainkan masih bersedih hati karena ia tahu gelar pusako yang dibawa oleh ayahnya dari Pulau Raman bukan Depati Anum melainkan Depati Agung dan Depati Nali, maka lalu Meh Telok berkata pada Depati Anum: “jadilah dari pada idak”, artinya gelar yang dituntut bukan seperti yang diberikan. “Gelar pusako kita bukan Depati Anum melainkan Depati Agung”. Jika Depati Agung tidak kita miliki, saya tetap akan meninggalkan daerah ini”. Mendengar jawaban sindiran itu Mampado merasa tidak senang dan kesal. Mampado pun mempersiapkan diri untuk berangkat ke Pulau Sangkar untuk menuntut gelar Depati Agung. Se sampai di Pulau Sangkar Mampado dengan suara lantang di tengah halaman ‘mencak-mencak’ minta kepada Depati Talago untuk mendapatkan gelar Depati Agung. Depati Talago melihat ke halaman ternyata Depati Anum. Makanya Depati Talago menyapa cucunya: Hai Mampado, bahwa kamu sudah bergelar depati, tidak baik dan sumbang dilihat mato berunding di tengah laman, mai kito naik ke rumah berunding.
Depati Anum lalu menyampaikan maksud pada Depati Talago bahwa disamping gelar Depati Anum ia sudah sandang, minta kepada nakeknya pula agar gelar seko Depati Agung dapat pula dibawa ke Lempur. Depati Telago menyatakan tidak berkeberatan, asal saja sanggup memenuhi segala syarat-syaratnya antara lain:
1. Untuk membawa gelar Depati Agung, maka Mampado harus memotong kerbau seekor dan menghanguskan beras seratus. (inilah dasar selanjutnya bahwa di Kelembagaan Adat Alam Lekuk 50 Tumbi hanya Depati Agung saja yang dilantik dengan syarat: “naik di atas kepala kerbau, dan turun di atas kepala kerbau dan menghanguskan beras seratus gantang”
2. Upacara pemberian gelar itu diadakan di Pulau Sangkar dengan mengundang Depati Telago dan kembarkannya, Depati IV Alam Kerinci, Depati Sribumi Putih mewakili dari Serampas, Depati Parwo Menggalo mewakili Alam Sungai Tenang, dan Depati Mudo mewakili Daerah Lolo dan untuk menghadiri peresmian itu.
Depati Anum menyanggupi memenuhi segala syarat-syarat tersebut di atas, hanya saja hari peresmiannya akan ditentukan setelah Depati Anum sampai di Lempur.
Setelah perundingan selesai, Depati Anum minta diri untuk kembali ke Lempur. Sesampainya di Lempur Depati Anum menceritakan pada Meh Telok, bahwa apa yang dicita-citakan oleh Meh Telok sudah terpenuhi, cuma menunggu hari peresmiannya saja lagi. Meh Telok sangat bergembira mendengar kabar tersebut, maka Meh Telok pun mengadakan persiapan untuk hari peresmian Depati Agung. Mampado menyampaikan pada kakaknya tidak usah susah-susah nian. Untuk syarat kerbau, “kerbau nakek aku sa padang di Pulau Sangkar”. Untuk beras, “bilik buto nakek aku banyak ugo di Pulau Sangkar”. Untuk alat-alat lain, “saudaro induk aku banyak di Pulau Sangkar”. Artinyo kito tinggal berangkat bae ke Pulau Sangkar.
Setelah diberikan gelar, pada acara “tugeh depati”, Meh Telok sebagai saudara perempuan yang pertamo memberi minum santan kalapo kepada Mampado, kemudian baru diikuti oleh saudara Mampado “sapadin upak, sapadin, nakek, sapadin nino, dan selanjutnya ke atas.
Setelah Depati Agung dibawa ke Lempur, kemudian Depati Talago menyadari bahwa konsekuensi pemberian gelar depati harus pula diikuti oleh pernyataan daerah kekuasaan (otonomi). Maka Depati Telago mengundang mengundang depati-depati yang berada di Pulau Sangkar (wilayah pamuncak tuo), Tamiai (wilayah depati Muaro Langkap), pamuncak tengah (Depati Sribumi Putih), pamuncak bungsu (Depati Parwo Menggalo) melakukan pertemuan di Pulau Sangkar pada waktu itu.
Rundingan hanya membicarakan dimana batas wilayah yang akan diberikan kepada Mampado (Depati Agung). Depati Talago (Depati Rencong Telang) memimpin rapat penentuan wilayah yang akan diberikan kepada Depati Agung, nanti di dalam wilayah Depati Agung dapat memakan habis mengerat putus. Dalam rapat itulah disepakati wilayah-wilayah Depati Agung yang disebut ‘Ingat-inang Depati Agung’. Seluruh Depati dari masing-masing wilayah Pamuncak Nan Tigo Kaum dan Depati Muaro Langkap menyepakati batas-batas wilayah Depati Agung.
Wilayah yang telah disepakati oleh kakek-kakek beliau, maka yang dianut oleh Mampado adalah pemberian antara nakek dengan cucu (cucong). Artinya dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah apo yang diberikan oleh kakek kepada cucu untuk ditarik kembali, malah kakek memberi kesempatan kepada cucong untuk membuka ladang sebanyak dan seluas mungkin.
Maka kesepakatan itu dinyatakan dalam bentuk pernyataan adat bahwa Wilayah Kekuasan Adat Mampado (Alam Lekuk 50 Tumbi) itu tidak diberi atau mempunyai batas administratif yang jelas antara hitam di atas putih. Batasnya hanya dibunyikan dibatasi oleh larek “rumpun kunyit”. Artinya bisa diasak (dianjak) kapan saja. Misal cucong (Mampado) ingin berladang dan bersawah (meneruko) di wilayah Adat Pamuncak nan Tigo Kaum dibolehkan secara adat, namun wilayah kakek nak diperluas atau diambil kembali dari Mampado, tidak mungkin dibenarkan secara adat.
Itulah dilakukan oleh keturunan Mampado sampai sekarang, mereka tetap mengakui dan menghormati wilayah kakek-buyut dan sering pula minta izin secara resmi kepada masing-masing pamuncak untuk menumpang berladang atau bersawah. Hubungan kekeraban ini tidak pernah pudar dan begitulah pengakuan secara adat terhadap keistimewaan Hak Adat Cucong. Cucong dari Depati Talago, Cucong dari Depati Muaro Langkap, Cucong dari Depati Sribumi Putih – Serampas) dan Depati Parwo Menggalo dari Sungai Tenang.
Setelah gelar Seko Depati Anum dan Gelar Seko Depati Agung dibawa ke Lempur, dan setelah selesai peresmiannya, Depati Agung pun mengadakan musyawarah dan rapat degan masyarakat bahwa ajum arah cukup dilakukan oleh Mampado gelar Depati Agung dan Depati Anum untuk wilayah ‘Ujung Tanjung Muaro Danau” tanpa harus selalu menghadap ke Pulau Sangkar. Untuk mencukupi sandang gelar yang dapat dibawa ke Lempur, maka secara bertahap dijemput ke wilayah-wilayah pamuncak, Tamiai dan Lolo. Anak tertua beliau adalah Besi dianjurkan untuk menjemput gelar sandang untuk beliau ke Pulau Sangkar. Setelah persiapan adat dan atas nama lembaga adat yang sudah terbentuk yaitu Lembaga Adat Alam Lekuk 50 Tumbi Lempur menyerahkan carano sireh (panyiren) kepada Depati Talago untuk dapat diizinkan membawa gelar salah satu depati dari Pulau Sangkar. Dalam perundingan di rumah gedang Pulau Sangkar ditetapkan bahwa gelar yang akan diberikan kepada Besi adalah Depati Anggo Rajo, dengan syarat bahwa Besi harus “memotong kambing seekor dan menghanguskan beras 20 gantang” dan dikukuhkan di rumah adat Pulau Sangkar sewaktu acara Kenduri Seko. Pada waktu itu juga disepakati bahwa gelar tersebut akan menjadi gelar ‘bungo sekaki kembang duo’.
Pada waktu awal berdirinya pemerintahan adat Mampado gelar Depati Anum, jumlah keluarga yang ada dalam wilayah ‘ujung tanjung muaro danau’ hanya sebanyak 50 Tumbi atau keluarga, makanya disepakati pula dalam kerapatan adat yang dipimpin oleh Depati Agung yang berkesimpukan menyebutkan daerah ‘ujung tanjung muaro danau’ sebagai wilayah Adat “LEKUK 50 TUMBI LEMPUR”.
Untuk mengisi pemerintahan adat itu maka dianjurkan untuk menjemput gelar ke wilayah-wilayah asal (Pamuncak Tuo, Pamuncak Tengah, Pamuncak Bungsu, Tamiai, dan Lolo). Artinya lembaga adat itu harus mempunyai pemimpin, pembantu pimpinan, depati dan nenek mamak yang mewakili dua dusun (Lempur Bagian Mudik dan Lempur Bagian Hilir). Gelar pertama yang dijemput sesudah terbentuknya lembaga adat Lekuk 50 Tumbi adalah Besi (orang tuo hitam) anak dari Mampado menjemputnya ke Pulau Sangkar. Gelar adat yang diberikan kepada beliau adalah Dapati Anggo Rajo (Depati Anggo), gelar itu bisa digunakan di dua tempat yaitu di Pulau Sangkar dan di Lempur. Di Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur gelar Depati Anggo disebut sebagai Depati Anggo Mulai Jadi melekat selamanya di lembaga adat Lempur tanpa harus menjemputnya kembali ke Pulau Sangkar kalau waktu pemakaiannya sudah habis, cukup ‘ngulo panyiren’ di lembaga adat Lekuk 50 Tumbi Lempur.
Demikian seterusnya, satu persatu gelar-gelar depati yang marsyal dan kembang rekan depati beserta gelar nenek mamak itu dijemput ke daerah asal depati yang akan disangkutkan di rumah gedang Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur. Semenjak itu Depati Agung dengan kekuasaan yang telah didapatnya satu persatu anak jantan yang sudah mampu untuk memimpin kaum dianjurkan untuk mendapatkan gelar, gelar tersebut secara terus-menerus dijemput dari wilayah induk (Pulau Sangkar, Tamiai, Serampas, Sungai Tenang dan Lolo) untuk di bawa ke Alam Lekuk 50 Tumbi Lempur. Di samping membentuk kelembagaan depati di dalam wilayah Lekuk 50 Tumbi Lempur juga dibentuk pendukung atau kembang rekan (kemerkan) depati dan ninek mamak yang dilingkup dalam pemerintahan adat Lekuk 50 Tumbi Lempur. Kelembagaan pemerintahan adat itu dengan perincian sebagai berikut. Depati dan sepuluh, ninik mamak nan berenam dan Lantak Depati Agung sebagai pucuk pimpinan, dibantu oleh Depati Sukobrajo sebagai cermin yang tak kabur dan Dapati Anum sebagai Mangkuk Karang Setio.
Depati nan sepuluh ini dibagi pula menjadi dua bagian yaitu depati nan berenam untuk Lempur Bagian Mudik dan depati nan berempat untuk Lempur Bagian Hilir, ninik mamak yang berenam juga dibagi dua yaitu nenek mamak nan batigo untuk Lempur Bagian Mudik dan nenek mamak nan batigo untuk Lempur Bagian Hilir. …* (tamat)
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.