arsitektur fungsionalism

Keluar dari ‘Kotak’ Fungsionalisme Menuju Arsitektur Tanpa Batas


Sering kita mendengar istilah arsitektur fungsional
atau aliran arsitektur fungsionalisme. Dan terkadang kita pun sering menyebutkan
di dalam diskusi atau di kelas. Tapi apakah kita benar-benar memahami yang
dimaksud dengan arsitektur fungsionalism tersebut, atau masih sekedar ikut
menyebutkannya berdasarkan contoh yang ditunjukkan ke kita?

Tanpa bermaksud mengesampingkan adanya definisi yang otoritatif
atau yang sudah ada sebelumnya tentang arsitektur fungsionalism, saya ingin
membagi pandangan tentang apa atau bagaimana arsitektur fungsionalism ini berdasarkan
pengamatan langsung (boleh dibilang pengamatan sekilas) pada sebuah obyek
bangunan yang saya lihat di jalan ketika bersepeda.

Obyek bangunan yang saya lihat ketika bersepeda di
daerah Condong Catur adalah sebuah gudang dengan struktur bentang atap yang lebar
yang bagian atap dalamnya dapat dilihat dari jalan. Atap gudang itu disusun berselang-seling
antara atap tak tembus cahaya dan atap tembus cahaya dengan jarak tertentu. Ruang
yang dihasilkan di bawahnya terlihat cukup terang dengan pencahayaan dari atap.




Logika Prinsip

Prinsip fungsionalisme yang terdapat pada gudang ini
muncul ketika saya mulai berfikir begini: atap gudang ini tentu disusun selang-seling
sesuai ukuran lebar modul material atapnya dengan tujuan agar tidak perlu memotong
masing-masing material pada atap solid dan transparan. Dan itu bisa menjadi salah
satu kriteria fungsionalism, dimana material dipasang sesuai ukuran standar pabrikannya.
Kita mungkin perlu menyadari jika arsitektur fungsionalism sangat terkait
dengan fabrikasi dan standar ukuran material bangunan.

Usaha memasang atap gudang secara selang-seling untuk
memasukkan cahaya ini menghasilkan pola penutup atap yang berirama. Irama ini secara
simultan mudah diterima oleh akal dan dan dirasakan nilai estetikanya. Karena menghasilkan
sesuatu yang enak dilihat – atau setidaknya tidak mengganggu pandangan – maka fungsionalism
itu sendiri dianggap sebagai suatu keindahan hingga berlanjut menjadi sebuah konsep
estetika fungsional.

Dengan demikian fungsionalism adalah keindahan yang dihasilkan
dari perhitungan matematis, measurable dan estetika bentuknya mudah
dimengerti. Sehingga menjadi kewajaran jika bangunan fungsionalism umumnya berbentuk
dasar, seperti; kotak, persegi, kubus dan derivasi dari bentuk ini. Fungsionalism
juga mengindikasikan sedikitnya jumlah material bangunan yang terbuang atau tidak
terpakai selama pembangunan.


Baiklah. . . Sampai di sini mungkin kita bisa mengelaborasi
konsep estetika fungsionalism ini lebih jauh pada contoh kasus bangunan lain.



Fungsionalisme ‘Tingkat Lanjut’
Jika definisi arsitektur fungsionalism dititik-beratkan
pada perhitungan dan pengurangan material yang terbuang, maka mungkinkah Beekman
Tower di New York yang didesain Frank Gehry, yang memiliki raut fasad meliuk seolah-olah seperti 
tirai air yang mengalir dari puncak bangunan ke bawah, dapat kita sebut atau kategorikan
sebagai fungsionalism?
Kalau kita menggunakan definisi fungsionalism tadi,
yakni keindahan yang dihasilkan dari perhitungan matematis, measurable dan
estetika bentuknya mudah dimengerti. Maka kita lihat di sini, proyek Beekman
Tower dengan bentuk khas Gehry yang sekilas rumit ternyata mampu dikerjakan pelaksana
dengan perhitungan akurat dan teknik tinggi sehingga mencapai zero waste
material. Keindahan bangunan yg dihasilkan pun bisa dirasakan lewat liak-liuknya
sesuatu yg sebenarnya familiar, yakni (rembesan) air sehingga ini pun mudah diterima
oleh akal.

Perbedaan fungsionalisme Beekman Tower dengan
fungsionalisme arsitektur berbentuk kotak atau persegi hanya terletak pada perhitungan
pemasangan materialnya yang tidak sesederhana misal, atap gudang tadi. Perhitungan
matematikanya jauh lebih rumit, lebih spesifiknya pada perhitungan algoritma. Karena
itu, saya menyebutnya sebagai fungsionalisme ‘tingkat lanjut’.


Arsitektur Tanpa Batas
Artinya apa di sini? Saya kira kita tidak bisa keterusan
menyebut arsitektur yang fungsionalism itu hanya berdasarkan ciri bentuknya yang
kotak saja. Fungsionalisme boleh jadi adalah kebenaran dalam arsitektur yang
menjadi pegangan atau tujuan si arsitek. Tapi bentuk kotak jangan menjadi sesuatu yang dogmatis
yang selalu dikaitkan dengan fungsionalism. Karena dampaknya arsitektur tidak
akan berkembang ‘tanpa batas’ kalau fungsionalism selalu berakhir di desain dengan
bentuk kotak. Arsitektur semacam ini menjadi cliché, dan fungsionalism sekedar menjadi
jargon.

Kenyataannya ada juga bangunan yang kalau dilihat dari bentuk,
orang lekas menyebutnya fungsionalism, namun ternyata di lapangan terpaksa memotong
material yang menghasilkan sisa, seperti pernyataan terbuka dari pengalaman Achmad
Djuhara dalam eksperimen rumah baja.




Arsitektur fungsionalisme erat dengan filosofi desain Luis Sullivan, yakni ‘bentuk mengikuti fungsi’ atau ‘form follows function’. Tapi saya kira Sullivan tidak pernah secara gamblang dalam filosofinya menyebutkan bahwa bentuk yang dimaksud itu adalah bentuk persegi atau kotak. Kalau pun pada prakteknya bentuk bangunan Sullivan adalah kotak atau persegi baik dari denah dan bentuk masanya, mungkin karena situasi jaman itu yang baru memungkinkan untuk menciptakan bentuk dan ruang yang demikian.


Kalau kita bawa ‘bentuk mengikuti fungsi’ ini kepada obyek di luar arsitektur, misalnya sepatu, maka kita akan menemukan ada jenis sepatu casual yang dipakai untuk santai, sepatu lari yang digunakan untuk lari, atau sepatu gunung untuk mendaki. Ada berbagai jenis sepatu dengan bentuk yang berbeda-beda karena fungsinya yang berbeda. Bahkan setiap merek sepatu mengeluarkan model yang berbeda untuk sebuah sepatu casual. Maka di sini kita bisa melihat contoh yang lebih kongkrit dari ‘bentuk mengikuti fungsi.’


Artinya bentuk yang dihasilkan dari respon terhadap fungsi dapat beragam. Dan tidak ada bentuk dominan untuk sebuah fungsi, seperti contoh model-model sepatu casual dari merek yang berbeda tadi. Jadi menurut saya kita sebaiknya tidak terjebak pada fungsionalisme dengan bentuk tunggal seperti kotak atau membuat bangunan berbentuk kotak karena alasan fungsionalisme. Apalagi alasan dibalik itu karena faktor males mengolah bentuk dan ruang saja. 


Saya tidak menentang fungsionalisme tapi justru ingin membersihkannya dari males fikir kreatifitas. Bagi saya fungsionalisme itu merupakan konsep yang masih abstrak. Tidak serta merta diartikan bentuk kotak. Fungsionalisme itu masih membutuhkan pemikiran kreatif untuk mematerialisasikannya ke dalam wujud bentuk. Saya kira selalu ada celah untuk memaknai fungsionalisme dari sekedar bentuk kotak.
.

.

Di akhir, saya ingin menyentil diri kita dengan
pertanyaan, dimana fungsionalisme mu saat ini berada, apakah di level gudang atau di level Gehry?

Bacaan lebih lanjut:

  1. Wastu Citra, Y.B. Mangunwijaya. ‘arsitektur barat dan filsafatnya’
  2. Towards New Architecture, Le Corbusier, ‘the engineer’s aesthetic and architecture.’

Gambar: Beekman Tower, NY/newyorkbygehry.com


Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Paling Populer

To Top