Lapor SPT

Keadilan Pajak Untuk Kita


 

Keadilan Pajak Untuk Kita
Opini: Keadilan Pajak Untuk Kita 

oleh: Herry Prapto
(Penyuluh Pajak Ahli Pertama KPP Pratama Bandung Cibeunying)

Catatan Ekstens –  “BAHAS pajak penghasilan yang 5 persen dong, hahaha.” Itulah jawaban yang aku terima saat menghubungi rekanku melalui aplikasi WhatsApp.

Aku langsung menangkap maksudnya. Ia membutuhkan penjelasan dariku untuk menjawab keraguan terhadap berita yang sedang trending itu. Berita itu menyebutkan bahwa gaji Rp5 juta dikenakan pajak dengan tarif 5 persen.

Sebagai orang media, sikapnya itu memang dibutuhkan untuk merespon setiap isu yang berkembang di masyarakat. Untuk menuntaskan rasa penasarannya, aku mengajaknya makan siang dan membahas isu itu.

Tarif PPh Wajib Pajak Orang Pribadi

Tahun 2022 menjadi tonggak sejarah baru bagi perhitungan pajak orang pribadi. Hal ini karena pemerintah dan DPR telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Banyak materi baru yang terkandung dalam undang-undang yang lahir pada masa pandemi Covid-19 tersebut. Salah satu pokok perubahan dalam UU yang tercantum dalam Lembaran Negara Nomor 246 tahun 2021 tersebut adalah terkait lapisan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi (pasal 17 UU PPh).

Sebelum berlakunya UU HPP, Pasal 17 ayat (1) UU PPh mengatur tarif PPh orang pribadi sebesar 5 persen dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak antara Rp0 sampai dengan Rp50 juta, di atas Rp50 juta sampai dengan Rp250 juta dikenakan tarif 15 persen, di atas Rp250 juta sampai dengan Rp500 juta dikenakan tarif 25 persen, dan di atas 500 juta dikenakan tarif 30 persen.

Melalui UU HPP, lapisan tarif sebagaimana disebutkan di atas mengalami perubahan. Hal ini mulai diterapkan sejak tahun pajak 2022.

Perubahan dimaksud yaitu pada lapisan tarif 5 persen yang kini dikenakan untuk Penghasilan Kena Pajak Rp0 sampai dengan Rp60 juta. Sementara tarif 15 persen baru dikenakan ketika penghasilan kena pajaknya di atas Rp60 sampai dengan Rp250 juta.

Perubahan juga terjadi untuk lapisan tarif 30 persen Jika sebelumnya dikenakan atas penghasilan kena pajak di atas Rp500 juta, kini berlaku sampai dengan penghasilan kena pajak Rp5 miliar saja. Sementara penghasilan kena pajak Rp5 miliar ke atas dikenakan tarif baru sebesar 35 persen. Dengan adanya tarif baru ini, tarif PPh OP Indonesia berada pada posisi tertinggi di Asean, bersama Vietnam, Thailand, dan Filipina (DDTC, 2022).

Penghasilan yang Kena Pajak dan Tidak Kena Pajak

Jika diperhatikan, penulis menyebutkan bahwa penghasilan yang dikenakan PPh adalah Penghasilan Kena Pajak. Dengan kata lain, Penghasilan Kena Pajak adalah penghasilan wajib pajak yang menjadi dasar untuk menghitung PPh (Dasar Pengenaan Pajak). 

Untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak, penghasilan bruto dikurangi dulu dengan biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, lalu dikurangi lagi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Besaran PTKP ini pun bervariasi tergantung dengan status perkawinan dan tanggungan wajib pajak orang pribadi tersebut. Bagi wajib pajak orang pribadi sendiri diberikan PTKP sebesar Rp54 juta. Jumlah tersebut akan ditambah sebesar Rp4,5 juta jika wajib pajak berstatus kawin dan/atau memiliki tanggungan keluarga sedarah atau semenda dalam satu garis keturunan yang lurus serta anak angkat. Jumlah tanggungan keluarga ini maksimal 3 orang.
Dari beberapa berita dan komentar yang beredar, adanya asumsi seolah-olah negara mengenakan pajak dari penghasilan bruto langsung dikalikan tarif PPh. Hal itu tidaklah tepat. Perubahan lapisan tarif terendah penghasilan kena pajak (Rp0 sampai dengan Rp60 juta sebesar 5 persen) justru menguntungkan masyarakat yang memiliki penghasilan menengah ke bawah.

Sebagai contoh, jika seorang karyawan memiliki penghasilan (gaji) sebesar Rp5 juta perbulan atau setahun Rp60 juta, anggap saja biayanya Rp0, dan status wajib pajak single tanpa tanggungan (PTKP-nya Rp54 juta), maka pajak yang dikenakan hanya atas penghasilan Rp6 juta (Rp60 juta-Rp54 juta). Angka Rp 6 juta inilah yang dikalikan tarif PPh sebesar 5 persen. Sehingga diperoleh PPh per tahun sebesar Rp 300 ribu. Jika dihitung per bulan, maka Rp 300 ribu dibagi 12 bulan yaitu 25 ribu sebulan.

Dalam kondisi ini, baik sebelum maupun setelah UU HPP berlaku, pajak yang harus dibayarkan nilainya sama. Tidak ada perubahan apapun.

Jika penghasilan karyawan tersebut naik, misalnya, menjadi Rp 120 juta setahun dan PTKP–nya tetap (Rp 54 juta setahun), maka sebelum UU HPP berlaku, PPh yang harus dibayar sebesar Rp 4,9 juta. Setelah UU HPP, PPh yang harus dibayar justru turun menjadi Rp 3,9 juta. Bukankah ini lebih menguntungkan?

Hal lain yang mungkin luput dari perhatian publik adalah lapisan tarif paling atas sebesar 35 persen bagi wajib pajak yang memiliki penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar.

Dalam ketentuan sebelumnya (UU PPh), golongan super kaya di Indonesia ini menikmati tarif yang sama (30 persen) dengan yang memiliki penghasilan di atas Rp500 juta. Padahal kita telah sepakat bahwa pemungutan pajak harus dilakukan dengan adil (tax equality), sesuai dengan kemampuan dan penghasilan dari wajib pajak. Semakin besar penghasilan dan kemampuan yang diterima, sudah seharusnya dia akan membayar pajak lebih tinggi.

Tujuan perubahan ketentuan pajak demi menciptakan keadilan tersebut seharusnya mendapat dukungan semua pihak. Dan penambahan lapisan tarif progresif tersebut merupakan implementasi asas keadilan pajak seperti yang selama ini kita idam-idamkan. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.


Artikel ini telah ditayangkan di JabarEkspres.com pada Jumat, 6 Januari 2023. Editor: Eriek Taopik

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top