Oleh: Eventus Ombri Kaho
Tidak
dapat dipungkiri bahwa kebudayaan daerah merupakan sebuah kekayaan hakiki yang
dapat membentuk karakter dasar kehidupan manusia. Kebudayaan manusia mengandung
berbagai nilai luhur yang dapat
menentukan eksistensi manusia itu sendiri. Melalui sebuah budaya, pribadi dan
cara hidup manusia bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang arif,
bijaksana, bermoral, dan bernilai. Dalam hal ini, boleh dikatakan bahwa
kebudayaan dapat melahirkan sekaligus
menunjukkan harkat, derajat, dan martabat manusia sebagai pribadi yang unik dan berbeda dengan ciptaan Tuhan
yang lainnya. Identitas itulah yang menentukan siapa sebetulnya subyek
tersebut. Identitas itu pun turut memengaruhi kemandirian dan self–awareness
dari pribadi tersebut misalnya dalam kebudayaan
orang Timor yang menjunjung tinggi budaya persahabatan penyerahan diri kepada
Yang Ilahi dalam dinamika hidup. Mereka mandiri dengan identitas itu, tanpa
campur tangan atau doktrinisasi dari mana pun. Maka wajar jika ada klaim bahwa ini adalah
suatu budaya yang original di dalam
masyarakat Timor dan Belu pada umumnya.
dapat dipungkiri bahwa kebudayaan daerah merupakan sebuah kekayaan hakiki yang
dapat membentuk karakter dasar kehidupan manusia. Kebudayaan manusia mengandung
berbagai nilai luhur yang dapat
menentukan eksistensi manusia itu sendiri. Melalui sebuah budaya, pribadi dan
cara hidup manusia bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang arif,
bijaksana, bermoral, dan bernilai. Dalam hal ini, boleh dikatakan bahwa
kebudayaan dapat melahirkan sekaligus
menunjukkan harkat, derajat, dan martabat manusia sebagai pribadi yang unik dan berbeda dengan ciptaan Tuhan
yang lainnya. Identitas itulah yang menentukan siapa sebetulnya subyek
tersebut. Identitas itu pun turut memengaruhi kemandirian dan self–awareness
dari pribadi tersebut misalnya dalam kebudayaan
orang Timor yang menjunjung tinggi budaya persahabatan penyerahan diri kepada
Yang Ilahi dalam dinamika hidup. Mereka mandiri dengan identitas itu, tanpa
campur tangan atau doktrinisasi dari mana pun. Maka wajar jika ada klaim bahwa ini adalah
suatu budaya yang original di dalam
masyarakat Timor dan Belu pada umumnya.
Masyarakat Belu, menyadari relasi antara manusia dengan Rai Klaran, Rai Kukun dan Ama Maromak. Kesadaran tersebut membentuk perilaku mandiri yang tercermin dalam adat istiadat yang mereka jalani. |
Orang
Belu yang tinggal di pulau Timor memiliki budaya dan kepercayaan asli. Maka mereka
selalu berusaha dan berjuang untuk menciptakan suatu kehidupan yang baik,
sejahtera,
dan bahagia
dalam dinamika keharmonisan hidup. Hal ini tampak dalam penghayatan konsep
Tri-relasi yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka. Konsep Tri-relasi itu
yakni pertama, orang Belu hingga saat
ini sangat menjaga dan menjunjung tinggi relasi dengan sesamanya yang ada di
sekitar mereka. Relasi ini terjadi di dunia nyata yang disebut mikrokosmos atau
Rai Klaran.[1]Kedua, orang Belu
menjalin relasi yang harmonis dengan alam semesta dan roh-roh nenek moyang yang
diyakini ada dan mendiami dunia yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra
manusia. Dunia ini dalam bahasa
Tetun Timor disebut Rai Kukun.[2]
Ketiga, mereka menjalin relasi dengan Wujud Tertinggi atau Ama Maromak
yang berada di dunia sakral,
jauh di atas lapisan langit ketujuh. Dunia ini disebut sebagai makrokosmos yang dalam
Bahasa Tetun Timor disebut Lalean.[3]
Belu yang tinggal di pulau Timor memiliki budaya dan kepercayaan asli. Maka mereka
selalu berusaha dan berjuang untuk menciptakan suatu kehidupan yang baik,
sejahtera,
dan bahagia
dalam dinamika keharmonisan hidup. Hal ini tampak dalam penghayatan konsep
Tri-relasi yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka. Konsep Tri-relasi itu
yakni pertama, orang Belu hingga saat
ini sangat menjaga dan menjunjung tinggi relasi dengan sesamanya yang ada di
sekitar mereka. Relasi ini terjadi di dunia nyata yang disebut mikrokosmos atau
Rai Klaran.[1]Kedua, orang Belu
menjalin relasi yang harmonis dengan alam semesta dan roh-roh nenek moyang yang
diyakini ada dan mendiami dunia yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra
manusia. Dunia ini dalam bahasa
Tetun Timor disebut Rai Kukun.[2]
Ketiga, mereka menjalin relasi dengan Wujud Tertinggi atau Ama Maromak
yang berada di dunia sakral,
jauh di atas lapisan langit ketujuh. Dunia ini disebut sebagai makrokosmos yang dalam
Bahasa Tetun Timor disebut Lalean.[3]
Konsep
tersebut dilatarbelakangi oleh sebuah filosofi kata Belu itu sendiri. Kata Belu
berarti sahabat, teman, kawan. Masyakat suku Belu adalah sekelompok orang yang
mendiami Kabupaten Belu yang
merupakan sebuah
kabupaten dalam wilayah
Provinsi Nusa Tenggara Timor (NTT). Wilayah Kabupatan Belu ini terletak pada bagian
tengah pulau Timor yang sekarang ini telah terpecah menjadi dua wilayah di
bawah negara berbeda, yakni daerah
Timor Barat, adalah wilayah negara Indonesia dan daerah Timor Timur, yang
sekarang ini dikenal dengan sebutan Negara Timor Leste. Wilayah Belu tersebut
hingga saat ini dibagi menjadi empat rumpun besar berdasarkan suku-suku yang
memiliki kesamaan budaya dan tradisi–tradisi tertentu. Ada empat rumpun budaya
terbesar yang mendiami pulau Timor yang menggunakan rumpun bahasa Tetun. Keempat rumpun
besar itu sebenarnya dibagi berdasarkan bahasa daerah yang dimilikinya, yakni daerah yang berbahasa
Tetun (Ema Fehan),
berbahasa Bunak (Marae), berbahasa Kemak,
dan berbahasa Dawan (khususnya Dawan R Manulea). Meskipun di Belu terdapat empat bahasa daerah, namun bahasa Indonesia telah
menjadi bahasa yang pemersatu yang digunakan dalam kehidupan sehari–hari.
Bahasa Tetun merupakan bahasa universal yang dapat diterima dan digunakan oleh
90% penduduk di kabupaten
Belu dan Malaka. Bahkan bahasa Tetun ini pun digunakan juga oleh masyarakat di negara Timor
Leste.
Berkat bahasa Tetun inilah maka orang Belu dan Malaka dapat disebut sebagai Ema
Tetun.
tersebut dilatarbelakangi oleh sebuah filosofi kata Belu itu sendiri. Kata Belu
berarti sahabat, teman, kawan. Masyakat suku Belu adalah sekelompok orang yang
mendiami Kabupaten Belu yang
merupakan sebuah
kabupaten dalam wilayah
Provinsi Nusa Tenggara Timor (NTT). Wilayah Kabupatan Belu ini terletak pada bagian
tengah pulau Timor yang sekarang ini telah terpecah menjadi dua wilayah di
bawah negara berbeda, yakni daerah
Timor Barat, adalah wilayah negara Indonesia dan daerah Timor Timur, yang
sekarang ini dikenal dengan sebutan Negara Timor Leste. Wilayah Belu tersebut
hingga saat ini dibagi menjadi empat rumpun besar berdasarkan suku-suku yang
memiliki kesamaan budaya dan tradisi–tradisi tertentu. Ada empat rumpun budaya
terbesar yang mendiami pulau Timor yang menggunakan rumpun bahasa Tetun. Keempat rumpun
besar itu sebenarnya dibagi berdasarkan bahasa daerah yang dimilikinya, yakni daerah yang berbahasa
Tetun (Ema Fehan),
berbahasa Bunak (Marae), berbahasa Kemak,
dan berbahasa Dawan (khususnya Dawan R Manulea). Meskipun di Belu terdapat empat bahasa daerah, namun bahasa Indonesia telah
menjadi bahasa yang pemersatu yang digunakan dalam kehidupan sehari–hari.
Bahasa Tetun merupakan bahasa universal yang dapat diterima dan digunakan oleh
90% penduduk di kabupaten
Belu dan Malaka. Bahkan bahasa Tetun ini pun digunakan juga oleh masyarakat di negara Timor
Leste.
Berkat bahasa Tetun inilah maka orang Belu dan Malaka dapat disebut sebagai Ema
Tetun.
Allah,
alam,
dan manusia merupakan sebuah konsep budaya yang membuat kata “Belu” itu kian utuh dan
integral. Konsep Tri-relasi dalam
masyarakat Belu
tersebut memiliki ruh yang dahsyat
yang membuat masyarkat Belu selalu percaya
bahwa tiga hal tersebut selalu ada di dalam kehidupan sehari hari. Konsep ini
bisa diamati pada tungku untuk masak dan tempat untuk menyimpan sesajen atau
dalam istilah orang Belu
adalah te’in tula.
alam,
dan manusia merupakan sebuah konsep budaya yang membuat kata “Belu” itu kian utuh dan
integral. Konsep Tri-relasi dalam
masyarakat Belu
tersebut memiliki ruh yang dahsyat
yang membuat masyarkat Belu selalu percaya
bahwa tiga hal tersebut selalu ada di dalam kehidupan sehari hari. Konsep ini
bisa diamati pada tungku untuk masak dan tempat untuk menyimpan sesajen atau
dalam istilah orang Belu
adalah te’in tula.
Tradisi Hamis Batar pada masyarakat Belu |
Kemanusiaan perlu dimurnikan
dalam sebuah konsep budaya yang jelas. Ketika saya masih berumur delapan tahun,
ibu saya selalu mengingatkan untuk memberikan sesuatu ke orang lain dalam
jumlah tiga. Mungkinkah karena itu menyimbolkan tiga elemen itu? Atau karena
konsep lain?
Pencarian akan makna itu, muncul sebuah pertanyaan yang paling hakiki, yakni
apakah saya sanggup untuk melebihi dua aspek lainnya? Konsep Tri-relasi
direalisasikan dalam kehidupan kebudayaan. Salah satu tradisi yang setiap tahun
dirayakan besar–besaran adalah tradisi
hamis batar. Tradisi hamis batar
adalah sebuah tradisi yang dilakukan
ketika jagung sudah mulai matang dan sebelum menjadi kering, yang harus dipersembahkan
kepada para leluhur terlebih dahulu. Praktiknya adalah setiap
kepala suku akan berkumpul untuk memutuskan tanggal dan hari yang tepat untuk
merayakan tradisi keagamaan
itu. Setelah diputuskan kapan akan dilaksanakan, maka langkah selanjutnya
adalah membersihkan setiap rumah adat. Ketika tiba hari yang telah ditentukan
oleh para kepala suku tersebut, maka setiap orang wajib membawa jagung muda
yang layak untuk dipersembahkan kepada para leluhur dan Super Being.
Jagung itu kemudian dimasak pakai sasanan (periuk). Sasanan yang dimaksudkan di sini adalah sasanan dari
tanah liat alias wajan. Alasan utama untuk memakai wajan ini adalah karena
masakannya jauh lebih gurih dan tidak ada bahan kimia. Alasan
berikutnya ialah karena wajan selalu dibuat dari tanah liat dan tanah sebagai
bagian
dari kosmologi. Langkah selanjutnya ketika semua masyarakat sudah memasak dan
mempersembahkan kepada para leluhur dan Super Being itu, maka saatnya
jagung dipersembahkan di setiap kuburan (terutama untuk keluarga) dan setelah
disimpan di kuburan,
semua orang punya hak untuk mengambil jagung muda yang tadi dipersembahkan di
kuburan tersebut. Jagung yang dipersembahkan masih dalam keadaan mentah. Setiap
orang yang sudah diinisiasi dalam ritual di rumah adat wajib mengikuti acara hamis batar. Karena proses inisiasi itu
melibatkan para leluhur, maka perjanjian itu harus cara ini, maka mereka tidak
boleh makan jagung muda selama masa di mana jagung masih muda.
dalam sebuah konsep budaya yang jelas. Ketika saya masih berumur delapan tahun,
ibu saya selalu mengingatkan untuk memberikan sesuatu ke orang lain dalam
jumlah tiga. Mungkinkah karena itu menyimbolkan tiga elemen itu? Atau karena
konsep lain?
Pencarian akan makna itu, muncul sebuah pertanyaan yang paling hakiki, yakni
apakah saya sanggup untuk melebihi dua aspek lainnya? Konsep Tri-relasi
direalisasikan dalam kehidupan kebudayaan. Salah satu tradisi yang setiap tahun
dirayakan besar–besaran adalah tradisi
hamis batar. Tradisi hamis batar
adalah sebuah tradisi yang dilakukan
ketika jagung sudah mulai matang dan sebelum menjadi kering, yang harus dipersembahkan
kepada para leluhur terlebih dahulu. Praktiknya adalah setiap
kepala suku akan berkumpul untuk memutuskan tanggal dan hari yang tepat untuk
merayakan tradisi keagamaan
itu. Setelah diputuskan kapan akan dilaksanakan, maka langkah selanjutnya
adalah membersihkan setiap rumah adat. Ketika tiba hari yang telah ditentukan
oleh para kepala suku tersebut, maka setiap orang wajib membawa jagung muda
yang layak untuk dipersembahkan kepada para leluhur dan Super Being.
Jagung itu kemudian dimasak pakai sasanan (periuk). Sasanan yang dimaksudkan di sini adalah sasanan dari
tanah liat alias wajan. Alasan utama untuk memakai wajan ini adalah karena
masakannya jauh lebih gurih dan tidak ada bahan kimia. Alasan
berikutnya ialah karena wajan selalu dibuat dari tanah liat dan tanah sebagai
bagian
dari kosmologi. Langkah selanjutnya ketika semua masyarakat sudah memasak dan
mempersembahkan kepada para leluhur dan Super Being itu, maka saatnya
jagung dipersembahkan di setiap kuburan (terutama untuk keluarga) dan setelah
disimpan di kuburan,
semua orang punya hak untuk mengambil jagung muda yang tadi dipersembahkan di
kuburan tersebut. Jagung yang dipersembahkan masih dalam keadaan mentah. Setiap
orang yang sudah diinisiasi dalam ritual di rumah adat wajib mengikuti acara hamis batar. Karena proses inisiasi itu
melibatkan para leluhur, maka perjanjian itu harus cara ini, maka mereka tidak
boleh makan jagung muda selama masa di mana jagung masih muda.
Uma mane, rumah adat masyarakat Belu, tempat pelaksanaan tradisi Hamis Batar |
Konsep
ini membuat orang Belu pada umumnya menjadi pribadi–pribadi yang semakin tahu
siapa identitas mereka. Ada dua aspek refleksi yang paling penting, yakni:
ini membuat orang Belu pada umumnya menjadi pribadi–pribadi yang semakin tahu
siapa identitas mereka. Ada dua aspek refleksi yang paling penting, yakni:
1. Aspek
personal-komunal
personal-komunal
Apa
yang dimaksud dengan aspek personal?
Maksud utama dari aspek personal-komunal tersebut adalah sikap untuk
mempertahankan identitas kebudayaan di tengah arus modern yang semakin canggih
sekaligus menghilangkan identitas “siapa
aku sebenarnya”.
Pluralitas membuat setiap individu semakin tidak percaya dengan budayanya,
terutama identitas yang melekat pada dirinya. Dengan kata lain kemunduran atas
pengakuan identitas itu semakin menghilangkan sebuah pengakuan akan identitas
yang seharusnya sudah mandiri. Prinsip inilah yang dipegang teguh oleh
masyarakat Belu. Kesadaran diri dan kemandirian menjadi sebuah pilar besar dari
sebuah kebudayaan. Orang Belu punya kesadaran yakin dan percaya bahwa hidup mesti
ada dasar yang kuat baik itu kemandirian, kesadaran diri, atau kepekaan.
Aspek-aspek itu pada akhirnya akan menciptakan suatu kehamonisan dalam dinamika
hidup. Dan itulah sesungguhnya hidup. Makna kemandirian bagi orang Belu adalah
ketika identitas mereka melebur dalam keberagaman tanpa menghilangkan identitas
mereka. Kesadaran diri bahwa identitas mereka unik dan berbeda dengan yang lain
menjadi aspek untuk menciptakan sebuah relasi yang kemudian mereka sebut sebagai belu
yang artinya sahabat.
yang dimaksud dengan aspek personal?
Maksud utama dari aspek personal-komunal tersebut adalah sikap untuk
mempertahankan identitas kebudayaan di tengah arus modern yang semakin canggih
sekaligus menghilangkan identitas “siapa
aku sebenarnya”.
Pluralitas membuat setiap individu semakin tidak percaya dengan budayanya,
terutama identitas yang melekat pada dirinya. Dengan kata lain kemunduran atas
pengakuan identitas itu semakin menghilangkan sebuah pengakuan akan identitas
yang seharusnya sudah mandiri. Prinsip inilah yang dipegang teguh oleh
masyarakat Belu. Kesadaran diri dan kemandirian menjadi sebuah pilar besar dari
sebuah kebudayaan. Orang Belu punya kesadaran yakin dan percaya bahwa hidup mesti
ada dasar yang kuat baik itu kemandirian, kesadaran diri, atau kepekaan.
Aspek-aspek itu pada akhirnya akan menciptakan suatu kehamonisan dalam dinamika
hidup. Dan itulah sesungguhnya hidup. Makna kemandirian bagi orang Belu adalah
ketika identitas mereka melebur dalam keberagaman tanpa menghilangkan identitas
mereka. Kesadaran diri bahwa identitas mereka unik dan berbeda dengan yang lain
menjadi aspek untuk menciptakan sebuah relasi yang kemudian mereka sebut sebagai belu
yang artinya sahabat.
2. Aspek
antropologis-relijius
antropologis-relijius
Aspek
antropologis dan relijius
menjadi dua faktor yang juga penting di dalam kebudayaan orang Belu. Sudah
seharusnya setiap kebudayaan memiliki dua aspek ini. Kesadaraan diri orang Belu
akan kehadiran orang lain dan Super Being menjadi sangat penting di
dalam dinamika kehidupan sehari-hari. Kemandirian
mereka sebagai subjek akhirnya tampak dalam perilaku mereka setiap saat. Sedangkan
kesadaran diri yang tampak nyata adalah dalam kegiatan kebiasan relijius dan konsep yang
dihayati, yakni bahwa kosmos adalah ”aku” dan ”aku” adalah kosmos. Maka
kepemilikan kosmos adalah sebuah korelasi panjang yang saling
menyatu.
antropologis dan relijius
menjadi dua faktor yang juga penting di dalam kebudayaan orang Belu. Sudah
seharusnya setiap kebudayaan memiliki dua aspek ini. Kesadaraan diri orang Belu
akan kehadiran orang lain dan Super Being menjadi sangat penting di
dalam dinamika kehidupan sehari-hari. Kemandirian
mereka sebagai subjek akhirnya tampak dalam perilaku mereka setiap saat. Sedangkan
kesadaran diri yang tampak nyata adalah dalam kegiatan kebiasan relijius dan konsep yang
dihayati, yakni bahwa kosmos adalah ”aku” dan ”aku” adalah kosmos. Maka
kepemilikan kosmos adalah sebuah korelasi panjang yang saling
menyatu.
Masyarakat Belu kaya akan sebuah kebudayaan yang berlimpah makna filosofis. Semua aspek kehidupan selalu
dikaitkan dengan aspek
filosofis. Semua dapat dijelaskan dengan rasional. Bukankah itu kinerja dari
filsafat? Orang Belu kini tidak lagi menjadi objek tapi menjadi subjek di dalam
mempertontonkan kebudayaan yang kaya akan nilai antropologisnya sekaligus aspek
relijiusnya.
Refleksi yang mendalam ini membuat orang Belu menjadi human being yang
memiliki perjuangan yang tak kunjung selesai. Mereka masih bisa bertahan dengan
konsep tersebut walaupun dunia semakin modern, dan egoisme yang mulai merasuki
kehidupan banyak orang. . Orang Belu tetap menjadikan
kata belu sebagai sebuah identitas untuk menjalin kerjasama yang baik, serta rasa perhatian terhadap
sesama,
lingkungan,
dan Super Being. Zaman modern
menamai konsep ini sebagai kolaborasi.
dikaitkan dengan aspek
filosofis. Semua dapat dijelaskan dengan rasional. Bukankah itu kinerja dari
filsafat? Orang Belu kini tidak lagi menjadi objek tapi menjadi subjek di dalam
mempertontonkan kebudayaan yang kaya akan nilai antropologisnya sekaligus aspek
relijiusnya.
Refleksi yang mendalam ini membuat orang Belu menjadi human being yang
memiliki perjuangan yang tak kunjung selesai. Mereka masih bisa bertahan dengan
konsep tersebut walaupun dunia semakin modern, dan egoisme yang mulai merasuki
kehidupan banyak orang. . Orang Belu tetap menjadikan
kata belu sebagai sebuah identitas untuk menjalin kerjasama yang baik, serta rasa perhatian terhadap
sesama,
lingkungan,
dan Super Being. Zaman modern
menamai konsep ini sebagai kolaborasi.
[1] Rai Klaran terdiri dari
dua suku kata Rai yang artinya tanah dan Klaran yang artinya tengah. Rai Klaran adalah sebutan untuk Bumi, tempat hidup dan
dunia hidup manusia yang nyata. Di sebut sebagai Rai Klaran karena memakai konsep “ langit-bumi- di bawah
bumi “.
dua suku kata Rai yang artinya tanah dan Klaran yang artinya tengah. Rai Klaran adalah sebutan untuk Bumi, tempat hidup dan
dunia hidup manusia yang nyata. Di sebut sebagai Rai Klaran karena memakai konsep “ langit-bumi- di bawah
bumi “.
[2] Rai
Kukun kalua ditrejamahkan secara
harafiah berarti suatu dunia yang gelap. Tetapi dalam konteks Bahasa
kepercayaan asli orang Belu, Rai Kukun dipahami sebagai dunia yang berbeda dengan
dunia manusia. Dunia ini tidak diplihat dengan panca indra manusia. Rai Kukun diyakini sebai tempat berdiamnya
makhluk-mahkluk halus seperti jin – jin,
dan roh – roh arwah nenek moyang yang telah meninggal dunia.
Kukun kalua ditrejamahkan secara
harafiah berarti suatu dunia yang gelap. Tetapi dalam konteks Bahasa
kepercayaan asli orang Belu, Rai Kukun dipahami sebagai dunia yang berbeda dengan
dunia manusia. Dunia ini tidak diplihat dengan panca indra manusia. Rai Kukun diyakini sebai tempat berdiamnya
makhluk-mahkluk halus seperti jin – jin,
dan roh – roh arwah nenek moyang yang telah meninggal dunia.
[3] Laean
adalah suatu dunia yang melebihi Rai
Klaran dan Rai Kukun. Lalean
adalah suatu dunia yang berada di
atas sana dan dihuni oleh Wujud Tertinggi.
adalah suatu dunia yang melebihi Rai
Klaran dan Rai Kukun. Lalean
adalah suatu dunia yang berada di
atas sana dan dihuni oleh Wujud Tertinggi.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.