Novel Series (Motivasi)

Hidayah di Kaki Langit (Bag. 5)



Sebuah Pengakuan

“A
ku jatuh cinta, Ri.” Ujarku penuh jujur
pada Riri yang sedang mendengarkan lagu favoritnya. Ia tidak menanggapi
sedikitpun atas kejujuranku.
“Ri, aku jatuh cinta.” Ujarku untuk yang
kedua kalinya. Kali ini Riri hanya memandangku dan tak berkata apa-apa.
“Ri, kamu tidak senang yah kalau aku
mencintai seorang laki-laki?” kulihat Riri bergegas meninggalkanku. Namun aku
menarik tangannya untuk meluapkan perasaanku padanya agar rasa yang kudera ini
sedikit membuatku terbebas. Sudah beberapa hari ini bayangan dirinya selalu
menghantuiku. Ia terus mengekor pada diriku hingga aku terasa stress dibuatnya.
“Ri.” Panggilku sekali lagi.
“Ada apa denganmu Ri. Kenapa kamu tidak
mau mendengarkan curahan hatiku? Apakah aku punya salah dengan mu? Katakan Ri.
Katakan.” Lanjutku meminta Riri memberiku alasan sebab sikapnya yang apatis
terhadapku.
“Terus, aku harus merelakan kamu Za?”
tanya Riri dengan mimik serius. Aku heran dengan pertanyaan Riri. Merelakan?
Maksud dari perkataan Riri tak dapat kuinterpretasikan pada diriku.
“Maksud merelakan apa Ri?” tanyaku untuk
mencari tahu. Namun Riri bergegas meninggalkanku tanpa menjawab pertanyaanku.
Kudengar ia sedikit membanting pintu dan membuatku bertanya-tanya dalam hati.
“Ada apa denganmu Ri? Apakah kamu tidak
senang jika aku mencintai seseorang? Apa salahku Riri? Apakah perempuan seperti
kita tak ada hak untuk mencintai laki-laki yang baik?” tanyaku menerawang benak
fikir Riri. Namun tak ada jawaban atas pertanyaanku sebab Riri telah
meninggalkanku.
Kutepiskan semua rasaku terhadap apa yang
baru saja terjadi antara aku dan Riri sebab aku tidak ingin kebawa pikiran dan
membuatku tak mampu berbuat apa-apa. Sudah cukup rasanya aku tersiksa dengan
rasa cinta yang kupersembahkan pada dirinya yang tak kutahu pasti siapa ia
sebenarnya. Aku hanya tahu bahwa ia pernah menolongku. Ia pernah menjaga
kehormatanku yang hampir terhempas dan tercabit oleh laki-laki yang memandangku
sebelah mata.
“Kapan kita bertemu, duhai jiwa yang
kurindukan setiap malam-malamku?” ujarku penuh harap dengan diriku.
***
Riri berjalan tergesa-gesa menghampiri
Lukman yang tengah asyik bermadu kasih dengan kekasihnya.
“Man, aku mau bicara dengan kamu
sekarang.” Sejurus kemudian Riri menarik Lukman.
“Ada apa Ri? Apa yang membuatmu seperti
ini?” tanya Lukman yang melihat Riri mengatur nafasnya yang tak beraturan.
“Kamu kenal dengan laki-laki yang pernah
menolong Iza?”
“Aku tahu, kenapa Ri?”
“Aku ingin kamu beri ia pelajaran.” Ujar
Riri penuh amarah.
“Maksud kamu Ri?” tanya Lukman yang tak
mengerti dengan sikap Riri. Riri kemudian menjelaskan secara detail maksudnya
kepada Lukman. Ia hanya menganggukkan kepala tanda mengerti atas penjelasan
yang Riri tuturkan padanya.
“Jadi namanya Isbullah.” Gumam Riri.
“Okay, kalau begitu kamu tinggal tunggu
beres saja. Nanti malam kamu akan dengarkan kabar yang ingin kamu dengar.”
“Hahahahah” keduanya tertawa lepas.
Lukman kembali menuju tempat kekasihnya untuk berpamitan sebab akan menuju
tempat Isbullah, sementara Riri meninggalkan Lukman dengan penuh kebahagiaan.
“Itulah balasan buat kamu. Hahahaah”
kembali Riri tertawa menerawang apa yang akan diterima oleh Isbullah dari
Lukman.
Riri terus berjalan dan hilang dalam lalu
lalang kendaraan. Sementara di sudut jalan Pettarani Isbullah melirik
kanan-kiri lalu lalang kendaraan. Ia ingin menyebrang menuju lorong yang
menghubungkan dengan rumah kontrakannya.
“Ini saatnya,” sambil menyebrangi jalan
utama yang sudah lengah oleh kendaraan. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa
sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Perasaanya tidak menentu dan tak tenang.
“Ada apa ini ya Allah? Mengapa aku
merasakan sesuatu yang tak karuan dalam hatiku.” Aduhnya dalam doa. Isbullah
menelusuri lorong kecil menuju rumahnya sambil terus menyebut asma Allah sebab
hatinya semakin tak karuan. Namun ia tidak tahu sebabnya. Sejurus kemudian
langkahnya terhenti takkala melihat Lukman beserta dengan kawannya sebanyak empat
orang menghadang langkahnya.
“Kamukan yang waktu itu memberikanku
bungkusan?” tanyanya sambil mengarah lebih dekat dihadapan Lukman.
“Iya memang kenapa?” ucap Lukman dengan
nada mengertak. Sontak Isbullah ciut dengan gertakan tersebut namun ia
melafazkan basmalah untuk memohon pelindungan darinya.
“Siapa nama pemilik bungkusan itu?”
tanyanya sekali lagi.
“Memang ada apa dengan pemilik bungkusan
itu? Aku pemilik bungkusan itu? Memang kenapa?” gertaknya dengan suara yang
lebih tinggi.
“Jadi kamu yang telah memberikan kami
sebotol wiski yang kamu bungkus dengan bungkusan besar itu agar kami tidak
mengetahuinya sehingga kami sudi menerimanya? Sementara dengan entengnya kamu
mengatakan bahwa yang memberikan bungkusan itu adalah perempuan yang aku bantu
waktu itu. Berarti kamu bohong.” Balik Isbullah dengan suara yang lebih sopan.
Namun Lukman tak bergeming dengan tutur sopan Isbullah. Bagi Lukman memberikan
pelajaran hari ini kepada Isbullah adalah tujuannya.
“Kenapa engkau melakukan ini pada ku? Apa
salah ku? Bukankah aku tidak mengenalmu sebelum pertemuan itu? Sebaiknya kamu
mengucapkan terima kasih sebab aku telah membantu temanmu?” tutur Isbullah
dengan perasaan geram yang ia tahan.
“Ahh,,, banyak bicara kamu,” seiring
dengan kalimat Lukman yang ia lontarkan seiring juga dengan pukulan yang ia
layangkan pada Isbullah dan tepat mengenai wajah Isbullah. Ia tersungkur dan
menjadi bulan-bulanan Lukman beserta dengan keempat temannya. Isbullah hanya
merintih dan terus menarik diri untuk membalas pukulan tersebut namun ia tak
berhasil sebab keempat teman Lukman memegangnya hingga tak berdaya sementara
Lukman dengan santainya melayangkan pukulan demi pukulan kepada Isbullah. Ia
merintih kesakitan di tengah gelak tawa Lukman dan temannya. Tuburnya mulai
memar dan tetesan darah segera keluar dari mulut dan hidung Isbullah.
Pandangannya mulai buram dan kemudia gelap tanpa ada sesuatu yang nampak dalam
pandangannya sementara kesadarannya terhenti dan tubuhnya tersungkur di tanah
dengan pakaian yang bersimbah darah. Dinding-dinding lorong mengiba melihat
penderitaan yang Isbullah alami namun ia tak dapat menolongnya. Kini  dinding itu hanya membisu sambil terus
melihat Isbullah tersungkur.
***
Aku telah kembali dari sebuah mini market
dekat dengan tempat kostku. Aku membeli keperluan area dapur sebab malam ini
Riri, Lukman dan Andri akan bertandang di tempatku. Mereka akan mengadakan
party. Ibu kostku tak lagi menghiraukan mereka sebab ia sudah tahu betul mereka
semua. Sejam ke depan mereka tiba di kostku. Kami sepakat kumpul setelah sholat
isya. Yah, seperti biasanya kami akan bercerita tentang apa yang menjadi
rutinitas dan pekerjaan malam yang kami lakukan dan ini sudah menjadi kebiasaan
setiap pekannya bagi kami dan tidak lengkap rasanya jika kami tinggal walau
sekali.
Aku membereskan kamar tidurku dan
mengecek semua keperluan dapur. Maklum hanya aku seorang yang tinggal di kost
tersebut. Aku menyewa satu rumah tak seperti mahasiswi lainnya yang memilih
kost yang bersekat-sekat beberapa kamar. Dan semua ini tidak memberatkanku
sebab penghasilanku dalam semalam sudah bisa membayar biaya rumah kontrakanku
selama setahun. Kemudian membereskan ruang tamuku yang akan kujadikan sebagai
sentral party kami berempat. Kugantungkan pewangi yang kubeli di mini market
tersebut. Semua aku tata layaknya sebuah party orang kaya yang aku lihat dalam
TV atau lebih tepatnya aku tata sebagaimana party orang-orang Barat. Ada rokok,
beberapa botol wiski, bungkusan kacang dan beberapa gelas kecil yang akan kami
gunakan.
Setelah semuanya kurasa cukup, aku
kembali rehat sambil membayangkan sosok laki-laki yang selalu mengusik hatiku.
Namun kutepis berkali-kali sebab bukan waktu yang tepat bagiku. Dedaunan
berjatuhan oleh terpaan angin di depan rumah kontrakanku dan burung-burung
bertengger pada dahannya. Mereka mengusik kesunyianku untuk melihat mereka. Aku
menuju di depan halaman rumah menikmati syahdunya angin yang mengiring ranjakan
mentari yang sebentar lagi  tenggelam.
Untuk beberapa saat aku menikmatinya
hingga alunan panggilan Tuhan telah berlalu. Aku beranjak kembali meneliti
sebuah keperluan partyku yang sebentar lagi berlangsung namun kali ini aku
tidak terlalu bersemangat. Entahlah apa yang menyebabkan semuanya. Apakah
membayangkan wajahnya membuatku lebih ingin berlama-lama dibandingkan dengan
menikmati party sepanjang malam? Semuanya kulebur menjadi satu. Membayangkan
wajahnya dan menunggu saat tibanya party. Aku duduk termenung dengan benak
fikirku yang telah melanlang buana dalam ilusiku. Hingga semuanya buyar oleh
gelak tawa ketiga temanku yang berada di depan pintu rumahku.
“Riri, Andi dan Lukman.” Terkahku. Namun
terkaanku kali ini tidak salah sebab suara gelak tawa itu selalu mendampingiku
setiap pekannya di rumah ini.
“Silahkan masuk. Aku tidak kunci kok.”
Anjurku tanpa beranjak dari tempatku berdiam. Mereka membuka pintu rumahku
dengan gelak tawa yang masih terdengar dan membuatku penasaran sebab gelak tawa
mereka yang penuh bahagia.
“Aduh, kayak bahagia benar ini malam
sampai-sampai gelak tawa kalian hampir merobohkan rumahku.” Candaku pada mereka
untuk mengetahui sebab datangnya gelak tawa dari teman-temanku.
“Tidak ada kok Za, hanya saja kami
bahagia sebab kita bisa kumpul lagi dan mengadakan party ini.” Jawab Andri.
“Masa?” tanyaku mengoda mereka. Sebab aku
tahu pasti ada yang mereka sembunyikan padaku.
“Iya Za, kami jujur kok, hanya itu saja.”
Lanjut Lukman membenarkan ucapan Andri.
“Tapi tidak seperti biasanya kalian
se….” belum lagi kalimatku kuteruskan, Riri telah menyelaku.
“Sudahlah yang jelas malam ini kita party
sampai puas. Kita party sepanjang malam.” Sela Riri sambil mengambil botol
wiski yang telah kusiapkan di atas meja.
“Kamu benar Ri, malam ini malam kita. Ini
malam kebagiaan kita jadi hilangkan semua beban yang ada dalam diri kita. Kita
party.” Lanjut Lukman dengan semangat yang mengebu-gebu. Kami kemudian duduk
melingkar memulai percakapan dan membahas rutinitas dan pekerjaan kami. Sambil
sesekali kami meminum wiski yang aku tuangkan dalam gelas kecil itu. Aku tidak
selera malam ini. Aku tidak berminat untuk minum malam ini. Ada rasa muak yang
aku rasa.
“Kamu tidak minum Za?” tanya Andri padaku
sambil menuangkan minuman wiski pada gelasnya.
“Tidak,” jawabku pendek sambil melangkah
ke beranda rumah.
“Aku ke beranda dulu. Aku ingin menikmati
malam.” Pamitku pada mereka bertiga.
“Siip.” Jawab Andri dan Lukman serempak
sambil menaikkan tangan jempol mereka. Aku meninggalkan mereka dan menuju
beranda rumah. Hembusan angin malam menampar wajahku kala kubuka pintu rumah.
Hawa sejuk menusuk kulitku yang tak terlindungi oleh kain. Namun akun
membiarkannya. Aku duduk berselonjoran sambil memandang langit yang bertabur
bintang. Aku tenggelam dalam indahnya malam. Sesekali kulihat kunag-kunang
berterbangan lima meter dari hadapanku. Ingin rasanya aku menangkapnya dan
menikmatinya dalam tanganku. Namun aku berfikir bahwa ia juga punya hak untuk
hidup. Ia juga punya hak untuk bebas melangkah ke mana saja yang ia mau.
“Oh malam, sudikah kiranya engkau
menyampaikan pesan cintaku padanya? Melalui angin yang berhembus menembus kulit
hingga ke pori-pori hingga ia menjalar dalam hatinya dan merasakan betapa besar
cinta yang kupersembahkan padanya. Oh malam, titahkanlah pada bintang dan
rembulan untuk menyampaikan selaksa cintaku padanya hingga aku tak tersiksa
oleh perasaan cinta yang terus menderaku dalam tidurku,” kembali hatiku
menuliskan syair-syair abstrak tentang cinta pada malam. Namun, apa yang ia
tuliskan aku hanya berharap besar bisa menjadi sebuah kenyataan. Kenyataan
bahwa cintaku bersatu dengan cintanya.
Kunang-kunang malam itu telah berlalu dan
samar kudengar binatang malam mengalurkan iramanya sebagai persembahan pada
dewi malam yang duduk malam di atas sana. Di atas rembulan.
“Iza,” panggil Riri yang tepat berdiri
tepat di belakangku.
“Riri,” gumamku yang kaget dibuatnya.
“Sejak kapan kamu berada di sini Ri?
Bukannya kamu bersama dengan mereka di dalam?” tanyaku untuk menenangkan diriku
atas kemunculan Riri yang tiba-tiba.
“Baru saja Za,” jawab Riri dengan bau
wiski yang menyengak dari mulutnya. Namun, bau itu sudah biasa aku cium jadi
tak membuatku merasa ingin mengeluarkan isi perutku.
“Iza,” Riri memanggilku sambil memelukku
dengan erat. Aku menarik diri dalam kebingunganku atas sikap Riri yang kuanggap
aneh.
“Kamu kenapa Ri?”
“Aku mencintaimu Za.” Ujar Riri sambil
menatapku dengan serius. Aku shock dengan penuturan Riri. Aku tak habis fikir
dengan Riri. Riri yang selama ini aku kenal baik dan sudah kuanggap sebagai
saudariku sendiri. Namun, aku menepis fikiranku tentang Riri.
“Mungkin kamu mabuk Ri, jadi ngomongnya
tidak karuan,” kataku pada Riri sambil berdiri untuk meninggalkannya di beranda
rumahku.
“Tidak Za. Aku tidak mabuk, aku sadar dan
sangat sadar dengan apa yang aku ucapkan. Aku mencintaimu Za.” Kembali Riri
mengatakannya dan membuatku semakin tidak fikir dengan jalan fikran Riri. Mana
mungkin seorang perempuan menyukai sesama jenisnya. Sesama perempuan.
“Aku mencintaimu Za,” Riri kembali
mengakuinya untuk yang ketiga kalinya untuk meyakinkanku. Namun, aku tidak
percaya denga hal ini dan tak ingin menanggapinya. Aku meninggalkan Riri namun
ia kembali memelukku dengan sangat erat.
“Aku sudah lama menyukaimu Za. Sudah sangat lama
perasaan ini kusimpan hanya untukmu. Hati tersayat Za kala kau mengatakan bahwa
kamu jatuh cinta pada seorang laki-laki. Kala itu engkau menyayat hatiku dengan
pengakuanmu. Aku mencintaimu. Aku tidak menyukai lawan jenis Za. Biarkan
cintaku ini terbalas oleh cintamu dan kita akan merajutnya dengan penuh
kebahagiaan.” Papar Riri. Namun, pengakuan Riri membuatku semakin tercengah dan
muak dengan dirinya. Aku merasa jijik dengannya malam ini dan kuingin menjauh
darinya. Ia ingin mencium bibirku namun dengan gerak cepat aku menghindar.
“Kenapa Za? Kamu tidak suka?” tanya Riri sambil
melepaskan pelukannya.
“Tidakkah kamu berfikir Ri, bahwa tidak ada yang
merestui hubungan sesama jenis sebab ini sudah melewati batas kita sebagai
manusia. Binatang saja tidak pernah menyukai sesama jenisnya Ri, apalagi kita
yang sebagai manusia yang punya akal dan fikiran. Kamu sadar Ri, gunakan akalmu
dan fikir semuanya baik-baik.” Aku meninggalkan Riri dan tidak memandang
wajahnya sedikitpun. Aku hanya mendengarnya memanggil-manggil namaku, namun tak
kuhiraukan. Pengakuan Riri benar-benar membuatku jijik dan ingin memuntahkan
seluruh isi perutku. Kini aku baru tahu kenapa pagi tadi Riri bertanya padaku
bahwa apakah ia harus rela. Sebuah pengakuan yang membuat seluruh tubuhku kaku
dan menyebabkan aliran darahku terhenti sejenak.
***
 BERSAMBUNG …

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top