Di Bawah Petala Langit
A
|
ku menikmati pagi dengan suguhan teh
hangat dan kripik kentang dari Riri. Aku merasa tubuhku lebih enakkan setelah
semalam tertidur pulas. Riri pergi ke taman bersama dengan teman-teman kampus.
hangat dan kripik kentang dari Riri. Aku merasa tubuhku lebih enakkan setelah
semalam tertidur pulas. Riri pergi ke taman bersama dengan teman-teman kampus.
“Sudah berapa lama aku tak pernah masuk
kampus?” tanyaku pada diriku sendiri. Sudah lama aku tak pernah menginjakkan
kaki ini di tempat yang menjadi titianku menuntut ilmu. Kampus yang dulu
menjadi mimpiku kala aku masih menjadi perempuan kampung yang polos tak tahu
apa-apa tentang gemerlapnya dunia kota.
kampus?” tanyaku pada diriku sendiri. Sudah lama aku tak pernah menginjakkan
kaki ini di tempat yang menjadi titianku menuntut ilmu. Kampus yang dulu
menjadi mimpiku kala aku masih menjadi perempuan kampung yang polos tak tahu
apa-apa tentang gemerlapnya dunia kota.
Ada kerinduan yang menjalar dalam diriku
tentang kampusku. Tempatku mengukir prestasi di awal semester. Namun, atas
kelalaian diriku yang tidak bisa mengfilter pergaulanku sehingga aku menjadi
mahasiswi yang tak lagi mementingkan studi melainkan hanya memikirkan uang.
Uang dan uang. Entah berapa kali sudah aku berdusta kepada ibuku yang di sudut
sana. Ibu yang selalu menanyakan kuliahku namun aku terus menerus berdusta
padanya dengan menyembunyikan tingkah lakuku yang busuk.
tentang kampusku. Tempatku mengukir prestasi di awal semester. Namun, atas
kelalaian diriku yang tidak bisa mengfilter pergaulanku sehingga aku menjadi
mahasiswi yang tak lagi mementingkan studi melainkan hanya memikirkan uang.
Uang dan uang. Entah berapa kali sudah aku berdusta kepada ibuku yang di sudut
sana. Ibu yang selalu menanyakan kuliahku namun aku terus menerus berdusta
padanya dengan menyembunyikan tingkah lakuku yang busuk.
“Iza, bagaimana kuliahnya nak?” tanya
ibuku kala itu melalui handphone milik teman kampungku. Aku hanya
menjawabnya dengan memutar balikkan fakta.
ibuku kala itu melalui handphone milik teman kampungku. Aku hanya
menjawabnya dengan memutar balikkan fakta.
Aku berjalan membuka jendela kamarku
sambil membawa teh hangat di tanganku. Aku meneguknya sambil berdiri dengan
pandangan yang terarah ke depan. Kembali sosok laki-laki yang menolongku
mengusik benak fikirku. Namun, aku menepisnya tapi semuanya sia-sia sebab ia
terlanjur bergelantungan di pelupuk mataku.
sambil membawa teh hangat di tanganku. Aku meneguknya sambil berdiri dengan
pandangan yang terarah ke depan. Kembali sosok laki-laki yang menolongku
mengusik benak fikirku. Namun, aku menepisnya tapi semuanya sia-sia sebab ia
terlanjur bergelantungan di pelupuk mataku.
“Mengapa bayangmu selalu hadir di saat
aku merasa sepi,” gumamku.
aku merasa sepi,” gumamku.
“Adakah tanda bahwa kita akan saling
mengenal? Ataukah hanya diriku saja yang terlalu berharap lebih? Namun, tak
bisa kupungkiri ada kecondongan dalam diriku untuk bertutur sapa denganmu. Aku
ingin mengenalmu lebih dekat lagi dan aku berharap engkau bisa menjadi temanku
dalam kesunyian yang selalu menderaku. Namun, siapakah aku?” aku berguming pada
diriku sendiri. Dan tersenyum sendiri kala mengingat pertemuanku yang singkat
dengannya. Pertemuan yang membuatku bangga dengan sosoknya yang menjaga
kehormatanku atau lebih tepatnya menjaga kehormatan perempuan. Saat semua
laki-laki yang aku temui tak ada rasa untuk menjaga kehormatan makhluk Allah
yang bernama perempuan. Melainkan mereka menjadikannya hanya sebagai pemuas
birahi mereka.
mengenal? Ataukah hanya diriku saja yang terlalu berharap lebih? Namun, tak
bisa kupungkiri ada kecondongan dalam diriku untuk bertutur sapa denganmu. Aku
ingin mengenalmu lebih dekat lagi dan aku berharap engkau bisa menjadi temanku
dalam kesunyian yang selalu menderaku. Namun, siapakah aku?” aku berguming pada
diriku sendiri. Dan tersenyum sendiri kala mengingat pertemuanku yang singkat
dengannya. Pertemuan yang membuatku bangga dengan sosoknya yang menjaga
kehormatanku atau lebih tepatnya menjaga kehormatan perempuan. Saat semua
laki-laki yang aku temui tak ada rasa untuk menjaga kehormatan makhluk Allah
yang bernama perempuan. Melainkan mereka menjadikannya hanya sebagai pemuas
birahi mereka.
“Tidakkah mereka mengerti perasaan istri
mereka? Tidak mereka merasa betapa aku pantas untuk diperlakukan seperti
anak-anak perempuan mereka? Tapi sudahlah tak ada gunanya aku mengugat mereka.
Toh, mereka sendiri telah membayar jasaku.” Akui diriku yang sempat mengugat
laki-laki yang bergelimang harta dan menghamburkannya di jalan yang haram.
mereka? Tidak mereka merasa betapa aku pantas untuk diperlakukan seperti
anak-anak perempuan mereka? Tapi sudahlah tak ada gunanya aku mengugat mereka.
Toh, mereka sendiri telah membayar jasaku.” Akui diriku yang sempat mengugat
laki-laki yang bergelimang harta dan menghamburkannya di jalan yang haram.
Aku meraba kembali ingatanku dengan.
Ingatan saat ia menatapku dengan iba untuk meyakinkan ku bahwa aku aman
dengannya. Sungguh pertemuan yang membuatku selalu merindu. Merindu dengan
suaranya yang santun dan beradab.
Ingatan saat ia menatapku dengan iba untuk meyakinkan ku bahwa aku aman
dengannya. Sungguh pertemuan yang membuatku selalu merindu. Merindu dengan
suaranya yang santun dan beradab.
***
“Silahkan bergabung mbak,” ajak salah
seorang dari teman Riri yang lesehan di bundaran pas di tengah taman kota.
seorang dari teman Riri yang lesehan di bundaran pas di tengah taman kota.
“Iya,” jawabku dengan apatis.
“Ngapain kamu dengan mereka Ri?” tanyaku
pada Riri saat kebingungan melanda diriku atas apa yang mereka bahas.
pada Riri saat kebingungan melanda diriku atas apa yang mereka bahas.
“Ini teman-teman kampus aku Za. Kami
sedang membahas masalah strategis tempat yang menjadi ladang duit kita nanti.”
Jawab Riri, yang membuatku mengerutkan kening.
sedang membahas masalah strategis tempat yang menjadi ladang duit kita nanti.”
Jawab Riri, yang membuatku mengerutkan kening.
“Maksud kamu Ri?”
“Yah seperti kita-kita lah,” ucap Riri
pendek.
pendek.
“Apa?” tanyaku tak percaya. Semua yang
ada melihatku sebab suaraku yang spontan mengagetkan mereka. Aku langsung
menarik diri dengan mereka sambil kupaksa Riri untuk ikut bersamaku. Pembahasan
mereka terhenti melihat tingkah yang kuperbuat pada Riri.
ada melihatku sebab suaraku yang spontan mengagetkan mereka. Aku langsung
menarik diri dengan mereka sambil kupaksa Riri untuk ikut bersamaku. Pembahasan
mereka terhenti melihat tingkah yang kuperbuat pada Riri.
“Yah silahkan dilanjut mbak.” Ujarku pada
mereka untuk menetralisir keadaan. Aku menarik lengan Riri dan membawa di
sebuah kursi panjang tepat di bawa petala langit yang tak ada dedaunan kelapa
yang menjadi atap. Hanya petala langit saja yang terhampar luas.
mereka untuk menetralisir keadaan. Aku menarik lengan Riri dan membawa di
sebuah kursi panjang tepat di bawa petala langit yang tak ada dedaunan kelapa
yang menjadi atap. Hanya petala langit saja yang terhampar luas.
“Yang kamu maksud dengan kita-kita adalah
mereka juga berprofesi malam dengan menawarkan tubuh mereka? Sama seperti yang
kita lakukan selama ini?” tanyaku untuk meyakinkan diriku.
mereka juga berprofesi malam dengan menawarkan tubuh mereka? Sama seperti yang
kita lakukan selama ini?” tanyaku untuk meyakinkan diriku.
“Iya,”
“Kok bisa Ri?”
“Maksud kamu Za?” ucap Riri yang tidak
mengerti pertanyaanku. Aku membalikkan badannya sehingga tepat berhadapan
denganku sambil memegang kedua pundaknya.
mengerti pertanyaanku. Aku membalikkan badannya sehingga tepat berhadapan
denganku sambil memegang kedua pundaknya.
“Tidakkah engkau melihat penampilan
mereka? Penampilan mereka tidak mencermikan perempuan hina melainkan perempuan
yang bermartabat dan suci. Mereka tidak seperti kita yang berpenampilan yang
memang mengundang laki-laki hidung belang untuk menggoda kita sebab itu memang
senjata kita. Senjata untuk menaklukkan hati mereka Ri. Tapi mereka? Mereka
berbeda sekali Ri.” Paparku pada Riri sambil meyakinkannya.
mereka? Penampilan mereka tidak mencermikan perempuan hina melainkan perempuan
yang bermartabat dan suci. Mereka tidak seperti kita yang berpenampilan yang
memang mengundang laki-laki hidung belang untuk menggoda kita sebab itu memang
senjata kita. Senjata untuk menaklukkan hati mereka Ri. Tapi mereka? Mereka
berbeda sekali Ri.” Paparku pada Riri sambil meyakinkannya.
“Hahaha…..” Riri hanya tertawa.
“Iza kamu terlalu polos untuk hal seperti
ini. Tidakkah kamu tahu mereka? Mereka sudah lebih duluan dari pada kamu.
Mereka bisa memanipulasi diri mereka sekendaknya. Kamu jangan terlalu percaya
dan menilai sesuatu dari luarnya saja Za, sebab penampilan luar tidak menjamin
apa yang ada dalam diri kita. Yang terselubung dalam hati kita masing-masing.
Ini pelajaran buat kamu Za, bahwa segala sesuatu tidak dapat dinilai dari satu
sisi saja melainkan dari semua sisi. Setelah itu baru kita mengambil kesimpulan
terhadap sesuatu tersebut.” Lanjut Riri yang membuat aku tercengang dengan
penuturannya. Aku melirik ke arah mereka. Ke arah perempuan-perempuan yang
berkumpul untuk membahas cara mereka menghidupi dirinya dengan mengadaikan
mahkota kesuciannya.
ini. Tidakkah kamu tahu mereka? Mereka sudah lebih duluan dari pada kamu.
Mereka bisa memanipulasi diri mereka sekendaknya. Kamu jangan terlalu percaya
dan menilai sesuatu dari luarnya saja Za, sebab penampilan luar tidak menjamin
apa yang ada dalam diri kita. Yang terselubung dalam hati kita masing-masing.
Ini pelajaran buat kamu Za, bahwa segala sesuatu tidak dapat dinilai dari satu
sisi saja melainkan dari semua sisi. Setelah itu baru kita mengambil kesimpulan
terhadap sesuatu tersebut.” Lanjut Riri yang membuat aku tercengang dengan
penuturannya. Aku melirik ke arah mereka. Ke arah perempuan-perempuan yang
berkumpul untuk membahas cara mereka menghidupi dirinya dengan mengadaikan
mahkota kesuciannya.
“Aku ke sana dulu Za, tidak enak aku
dengan mereka.” Pamit Riri sambil meninggalkanku yang masih menunduk memikirkan
apa yang baru saja Riri ucapkan padaku.
dengan mereka.” Pamit Riri sambil meninggalkanku yang masih menunduk memikirkan
apa yang baru saja Riri ucapkan padaku.
Kicauan burung kudengar dengan merdu
sementara angin berselingkuh dengan wajahku yang mengelusku penuh mesra. Aku
melirik kanan dan kiri melihat di sekelilingku. Tak lagi ramai sebab mentari
kini menghujamkan sinarnya yang membuat kulit terasa panas. Aku berpindah
tempat menuju pohon rindang. Kuingin menikmati taman kota ini di bawah petala langit
dan di bawah pohon rindang.
sementara angin berselingkuh dengan wajahku yang mengelusku penuh mesra. Aku
melirik kanan dan kiri melihat di sekelilingku. Tak lagi ramai sebab mentari
kini menghujamkan sinarnya yang membuat kulit terasa panas. Aku berpindah
tempat menuju pohon rindang. Kuingin menikmati taman kota ini di bawah petala langit
dan di bawah pohon rindang.
“Dan, kita ketemu saja di masjid, sebab
masih ada buku yang hendak aku beli.” Suara itu kedengar dengan jelas. Suara
yang tidak asing lagi. Suara yang membuatku merindu. Merindui sosoknya yang
tidak pernah kutahu siapa namanya. Aku menoleh dan kulihat ia tepat berada di
belakangku. Sosok laki-laki itu tepat di belakangku menunggu mobil angkot yang
akan menghantarnya ke tempat ia tuju.
masih ada buku yang hendak aku beli.” Suara itu kedengar dengan jelas. Suara
yang tidak asing lagi. Suara yang membuatku merindu. Merindui sosoknya yang
tidak pernah kutahu siapa namanya. Aku menoleh dan kulihat ia tepat berada di
belakangku. Sosok laki-laki itu tepat di belakangku menunggu mobil angkot yang
akan menghantarnya ke tempat ia tuju.
Aku mencuri pandang untuk melihat
wajahnya.
wajahnya.
“Wajah yang selalu kurindukan.” Bisikku
pada hatiku yang bergetar. Bergetar sebab sesuatu yang membuatku senang melihat
sosoknya.
pada hatiku yang bergetar. Bergetar sebab sesuatu yang membuatku senang melihat
sosoknya.
“Duhai jiwa yang kurindui, adakah engkau
merinduiku pula di sudut sana? Di sudut hatimu yang dalam. Adakah juga namaku
di sudut hatimu seperti aku yang selalu memberikan tempat untuk namamu di sudut
hatiku. Duhai jiwa yang kuharapkan, adakah engkau juga mengharapkan diriku?
Adakah engkau menginginkan diriku yang seperti ini. Diri yang sudah lama
berselimut kelam sementara dirimu selalu berselimut cahaya. Cahaya Tuhan yang tidak
ada untuk diriku yang hina ini. Duhai jiwa yang kurindui.” Hatiku berbisik
tentang kerinduan hingga aku tak mampu mengalihkan pandanganku dari wajahnya.
Aku benar-benar telah mencintainya dan meluapkan semua rasaku hanya untuk
dirinya seeorang. Di bawa petala langit aku memandangi dirinya. Memandangi
laki-laki dengan cinta dan kerinduan yang bersatu padu. Saat ini hanya petala
langitlah yang menjadi saksi atas diriku yang benar-benar mencintai sosok
laki-laki yang tak kutahu siapa namanya. Namun ia ada tepat di belakangku.
merinduiku pula di sudut sana? Di sudut hatimu yang dalam. Adakah juga namaku
di sudut hatimu seperti aku yang selalu memberikan tempat untuk namamu di sudut
hatiku. Duhai jiwa yang kuharapkan, adakah engkau juga mengharapkan diriku?
Adakah engkau menginginkan diriku yang seperti ini. Diri yang sudah lama
berselimut kelam sementara dirimu selalu berselimut cahaya. Cahaya Tuhan yang tidak
ada untuk diriku yang hina ini. Duhai jiwa yang kurindui.” Hatiku berbisik
tentang kerinduan hingga aku tak mampu mengalihkan pandanganku dari wajahnya.
Aku benar-benar telah mencintainya dan meluapkan semua rasaku hanya untuk
dirinya seeorang. Di bawa petala langit aku memandangi dirinya. Memandangi
laki-laki dengan cinta dan kerinduan yang bersatu padu. Saat ini hanya petala
langitlah yang menjadi saksi atas diriku yang benar-benar mencintai sosok
laki-laki yang tak kutahu siapa namanya. Namun ia ada tepat di belakangku.
***
BERSAMBUNG …

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.