Artikel

Pendidikan, Bukan Sekolahan

 

Ariel Heryanto bersama Pramoedya Ananta Toer


Oleh: Ariel Heryanto

 

Pada hakekatnya, semua orang yang
hidup sebagai makhluk sosial adalah kaum terdidik. Termasuk mereka yang tak
pernah pegang pensil, tak pernah bersepatu, apalagi masuk halaman sekolah.
Pendidikan merupakan bagian dari anugerah Allah bagi kita secara gratis.

Jadi, mengapa pendidikan ternyata
dijadikan masalah besar dan berkepanjangan? Mengapa hampir setiap tahun ada
berita kaum terpelajar muda mengobrak-abrik gedung sekolah atau menghajar guru
dan kepala sekolah?

Terjungkir balik

Konon, pendidikan menjadi
persoalan besar gara-gara sekolah tampil dalam kehidupan sosial. Lalu
mengambil-alih dan memonopoli wewenang pendidikan dalam masyarakat. Paling
tidak, begitulah kata seorang cerdik-cendekia di seberang laut, yang menjadi
salah satu tanah-leluhur persekolahan. Jika pendapat itu benar, kita perlu
bersyukur. Sebab, di tanah air ini belum terlalu banyak sekolah. Yang perlu
diprihatinkan, mungkin, malah banyaknya orang di sekitar kita yang tergila-gila
pada sekolah.

Bising dan ruwetnya masalah
biaya, tenaga pengajar, gedung, dan buku untuk belajar, atau birokrasi, administrasi, dan akreditasi pada haekatnya bukan masalah pendidikan. Itu khas
masalah sekolahan, tetapi bisa menjadi penyakit bagi pendidikan ketika kegiatan
sosial di bidang pendidikan disrobot oleh sekolahan.

Dalam bahasa orang sekolah, apa
yang sebenarnya berupa masalah sekolahan kemudian dibilang sebagai masalah
pendidikan. Terjadilah penjungkir-balikan sejarah dan penyungsangan nalar serta
kesadaran besar-besaran.

Sampai-sampai mereka yang tidak
tersekolah, tapi terdidik, ikut-ikutan berpikir dan berbicara dengan bahasa
sungsang demikian.

Pengertian sekolah
diputar-balikkan dengan pengertian pendidikan. Perhatikan bagaimana orang-orang
sekolahan membicarakan diri mereka satu sama lain. Ketika berbicara tentang
biaya pendidikan yang bakal mereka nikmati, sebenarnya mereka bicara tentang
biaya persekolahan. Jenis sekolah dibilang jenis pendidikan. Tingkat sekolahan
terakhir yang mereka tempuh disebut sebagai pendidikan terakhir. Seakan-akan
pendidikan punya tanggal pendaftaran dan tanggal tamat belajar, seperti
sekolahan.

Dan yang paling keji dari ucapan
mereka adalah sebutan untuk sebagian besar warga desa atau warga bangsa yang
jauh dari pulau Jawa sebagal kaum “tak-terdidik”. Alasannya
sederhana, dan sembrono: mereka tak tersekolah!

Buat apa, demi siapa?

Tidak semua atau bahkan tidak
banyak kaum tersekolah yang berhati keji atau berniat jahat. Mungkin justru
sebaliknya, banyak di antara mereka yang secara tulus bercita-cita mulia.
Persoalannya, sejauh mana usaha mereka untuk mewujudkan niat mulia itu ditopang
oleh melembaganya persekolahan dalam masyarakat?

Bahasa orang sekolahan yang secara
lumrah memutar-balikkan pengertian sekolahan dan pendidikan memberikan
tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Jangan-jangan ini merupakan bagian luar dan terkecil
dari penyakit yang lebih gawat tapi terpendam atau tersamar. Sungguh gawat, jika
dengan bahasa dan praktek sosial besar-besaran kita menilai tingkat pendidikan seseorang
terutama berdasarkan tingkat sekolahnya.

Lebih gawat lagi, jika sebagian besar
warga masyarakat yang tak tersekolah ikut-ikutan percaya pada kebijakan penilaian
dan penghargaan semacam itu. Sampai-sampai meluasnya suatu ketahyulan bahwa
seseorang perlu bersekolah untuk menjadi orang yang berpendidikan. Soalnya yang
paling mendasar bukanlah karena kita tak punya banyak sekolah, biaya bersekolah
yang semakin tahun semakin tinggi, sementara banyak orang kita yang miskin. Bukan
soal-soal sesepele itu.

Soal yang paling mendasar ialah apa
yang terjadi di sekolah dan berkaitan dengan itu kemana arahnya kejadian-kejadian
di sekolah itu?

Di sekolah, anak-anak muda yang sehat
diajar belajar dengan setumpuk biaya (sebagian dari keringat rakyat), sederet
aturan dan kewajiban, dan yang terpenting lagi demi sederet tujuan. Biasanya tujuan-tujuan
itu berbunyi merdu-merayu. Tetapi di berbagai negerl, hasil nyata persekolahan
itu tidak tertuju sebagaimana pernah dirumuskan dengan merdu-merayu. Yang jelas,
anak-anak muda yang bersekolah biasanya hampir-hampir tak punya peluang untuk
ikut menentukan baik tujuan maupun cara dan bahan belajar mereka. Kebanyakan
orang tua mereka pun tidak. Hal-hal itu ditetapkan bagi mereka. Dengan sanksi dan
petuah-petuah pula bagi yang membangkang.

Banyak anak muda bersekolah yang
membenci baik bahan pelajaran mau pun cara/aturan belajar yang diwajibkan kepada
mereka. Pengajar pun biasanya tak lepas dari rangkaian kebencian itu. Anak-anak
muda semacam ini bukan pemalas atau berandalan, tapi berotak sehat dan berjiwa segar.
Mereka melihat kegiatan belajar di sekolah itu tak cocok dengan persoalan hidup
sehari-hari mereka dan tak membantu mereka memecahkan persoalan hidup yang
nyata di sekitarnya,

Mereka diajar belajar mencintai apa
yang sesungguhnya mereka benci.

Kadang-kadang dipaksa mencintai
hal-hal yang ingin mereka hindari itu. Mereka bisa menjadi pemalas atau berandalan
jika pemaksaan itu gagal.

Sekolah mungkin tak bergembira
menyaksikan peristiwa-peristiwa tersebut. Tetapi tekanan terbesar bagi sekolah bukan
untuk memecahkan soal-soal demikian. Perhatian utama sekolah ialah melancarkan
ketertiban dan administrasi persekolahan: jumlah guru dan ruang kelas yang cukup,
jam kosong sesedikit mungkin, jumlah lulusan semaksimal mungkin.

Keberadaan dan kelangsungan nasib
sekolah sangat ditentukan oleh kelengkapan dan kelancaran soal-soal semacam
itu.

Hasil nyata kelancaran dan
ketertiban persekolahan biasanya ditujukan pada apa yang disebut lapangan kerja.
Ini tidak dengan sendirinya terbatas pada usaha perdagangan, tapi berbagai
macam. Jika sekolah mengabdikan jasanya pada lapangan kerja, maka sekolah juga
berarti mengabdikan jasa pada mereka yang menguasai lapangan kerja dan mereka
yang diuntungkan oleh sistem kerja yang berlaku dalam masyarakat itu.

Sekali lagi, kaum muda bekas tersekolah
itu hampir-hampir tak punya pilihan mandiri tentang jenis, tujuan, dan cara
bekerja mereka bagi kebahagiaan sendiri. Mereka cenderung melakukan tugas
kerja, seperti sebelumnya dengan tugas sekolah, sebagai beban hidup yang mereka
benci.

Angka ujian dan ijazah

Anak-anak muda berebut tempat belajar
di sekolah, untuk kemudian diajar hal-hal yang tak mereka suka tetapi penting bagi
tersedianya tenaga kerja yang dibutuhkan penguasa lapangan kerja. Tentu saja
anak-anak muda itu tidak merasa sedang berebut menjadi calon tenaga keria yang bakal
diperalat oleh dunia kerja. Justru sebaliknya, mereka merasa sedang memperebutkan
alat untuk mencapai gengsi, pangkat, dan gaji tinggi.

Seperti juga banyak kaum penganggur
muda tak bersekolah yang berlomba memperebutkan lowongan kerja sebagai buruh rendahan.
Mereka tidak merasa berlomba menjadi pendukung sang juragan yang berusaha memperkokoh
kekuatan dengan memeras tenaga buruhnya.

Bagi kaum muda yang bersekolah,
alat untuk mendapatkan tujuan mereka adalah ijazah yang diperolehnya dengan cicilan
angka ujian. Kaum muda yang bernalar dan realistis tidak mencari ilmu atau pendidikan
di sekolah. Dongeng tentang ilmu dan pendidikan hanyalah hiasan pidato pengajar
sewaktu ada upacara di sekolahan.

Itu sebabnya, kita mungkin tak mendengar
berita dari wartawan tentang mengamuknya siswa atau mahasiswa yang dikecewakan oleh
ilmu dan pendidikan yang disediakan sekolah. Kaum muda sering dikecewakan oleh
mutu pengajaran di sekolah, tapi mereka tak mau dan memang tak perlu buang-buang
waktu untuk mengamuk soal itu.

Mereka membayar sekolah, berpura-pura
patuh aturan sekolah dan menghapal bahan pelajaran yang mereka maki-maki untuk
mengejar angka ujian dan ijazah akhir.

Itu sebabnya, berita rutin yang kita
dengar setiap akhir tahun ajaran ialah mengamuknya sebagian siswa dan mahasiswa
gara-gara nilai ujian dan ijazah. Mendapatkan nilai tinggi dalam ujian, dan
kemudian menggondol ijazah, adalah harapan terpenting bagi mereka. Bukannya ilmu
dan pendidikan. Harapan kaum tersekolah itu tidak datang dari langit. Tapi justru
persis datangnya dari sekolah yang melembaga dalam masyarakat, serta iming-iming
penguasa lapangan kerja. Itulah soal terbesar yang membedakan sekolahan dari pendidikan!

“Jangan cari ilmu di sini”,
kata seorang mahaguru kepada seorang mahasiswa di kampusnya. “Di sini
tempatnya cari ijazah. Carilah ilmu di luar sana. Tanpa pendaftaran. Tanpa bayar.
Tanpa jadwal.”

Ariel Heryanto, sosiolog

Sumber: Suara Merdeka, Selasa, 6 Mei 1986

Comments

Paling Populer

To Top