E. Politisiana

Tipe-Tipe Budaya Politik dan Etika Politik


(dok gbr: kamaremang.wordpress.com)

Untuk mengetahui karakter budaya politik suatu bangsa, kita dapat mengukurnya melalui beberapa dimensi yaitu:

  • 1. Tingkat pengetahuan umum masyarakat mengenai sistem politik negaranya. Pengetahuan ini seperti sejarah, letak geografis, konstitusi negara, lembaga-lembaga negara, dll.
  • 2. Pemahaman masyarakat tentang struktur dan peran pemerintah dalam membuat kebijakan.
  • 3. Pemahaman mengenai penguatan kebijakan. Hal ini meliputi masukan opini dari masyarakat dan media kepada pemerintah.
  • 4. Sejauh mana partisipasi politik masyarakat dalam bernegara. Hal ini penting untuk mengetahui hak dan kewajibannya.

Tipe-tipe budaya politik dapat ditinjau berdasarkan:
1. Sikap yang ditunjukan
Pada tipe budaya ini budaya politik dibagi bersifat militan dan toleransi.

Budaya Politik Militan

Yaitu sikap politik seseorang yang menghendaki perubahan atau tindakan secara cepat, jika perlu dengan cara kekerasan. Budaya politik militan tidak memandang perbedaan sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi melihatnya sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi krisis, yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan peraturannya yang mungkin salah.

Budaya Politik Toleransi
Yaitu berpusat pada masalah/ide yang harus dinilai. Selalu membuka pintu untuk bekerjasama.

2. Berdasarkan orientasi politik

A . Budaya Politik Parokial

Budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat di katakan Parokial apabila frekuensi
orientasi mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati
nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi
tersebut.

Tipe budaya politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika
atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam masyarakat ini tidak ada
peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kyai,
atau dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang
bersifat politis, ekonomis atau religius. 
Ciri-ciri budaya politik parokial adalah sebagai berikut:

  • a. Budaya politik ini berlangsung dalam masyarakat yang masih tradisional dan sederhana.
  • b. Belum terlihat peran-peran politik yang khusus; peran politik dilakukan serempak bersamaan dengan peran ekonomi, keagamaan, dan lain-lain.
  • c. Kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan atau kekuasaan dalam masyarakatnya cenderung rendah.
  • d. Warga cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang luas, kecuali yang ada di sekitarnya.
  • e. Warga tidak banyak berharap atau tidak memiliki harapan-harapan tertentu dari sistem politik tempat ia berada.

B. Budaya Politik Subjek

Menurut Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrews (2000), budaya politik subjek menunjuk pada orang-orang yang secara pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan.


Ciri-ciri budaya politik subjek adalah sebagai berikut.

  • a. Warga menyadari sepenuhnya akan otoritasi pemerintah.
  • b. Tidak banyak warga yang memberi masukan dan tuntutan kepada pemerintah, tetapi mereka cukup puas untuk menerima apa yang berasal dari pemerintah.
  • c. Warga bersikap menerima saja putusan yang dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak boleh dikoreksi, apalagi ditentang.
  • d. Sikap warga sebagai aktor politik adalah pasif; artinya warga tidak mampu berbuat banyak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.
  • e. Warga menaruh kesadaran, minat, dan perhatian terhadap sistem politik pada umumnya dan terutama terhadap objek politik output, sedangkan kesa- darannya terhadap input dan kesadarannya sebagai aktor politik masih rendah.


C . Budaya Politik Partisipan

Menurut pendapat Almond dan Verba (1966), budaya politik partisipan adalah suatu bentuk budaya yang berprinsip bahwa anggota masyarakat diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif.

Budaya politik partisipan  ditandai dengan kesadaran politik yang sangat
tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota
masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi
penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai
mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam
membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam
proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada
peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan
dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima
atau menolak.

Ciri-ciri budaya politik partisipan adalah sebagai berikut:

  • a. Warga menyadari akan hak dan tanggung jawabnya dan mampu mempergunakan hak itu serta menanggung kewajibannya.
  • b. Warga tidak menerima begitu saja keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin tetapi dapat menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik keseluruhan, input, output maupun posisi dirinya sendiri.
  • c. Anggota masyarakat sangat partisipatif terhadap semua objek politik, baik menerima maupun menolak suatu objek politik.
  • d. Masyarakat menyadari bahwa ia adalah warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis.
  • e. Kehidupan politik dianggap sebagai sarana transaksi, seperti halnya penjual dan pembeli. Warga dapat menerima berdasarkan kesadaran, tetapi juga mampu menolak berdasarkan penilaiannya sendiri. 

D. Etika Politik

Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik: merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitas watak politisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”.

Etika Politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan. Etika politik mutlak diperlukan bagi perkembangan kehidupan politik. Etika politik merupakan prinsip pedoman dasar yang dijadikan sebagai fondasi pembentukan dan perjalanan roda pemerintahan yang biasanya dinyatakan dalam konstitusi negara (Dharma Setywan Salam: 2006). 

Di Indonesia Eika Politik dan Pemerintahan diatur dalam Ketetapan MPR RI No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam Ketetapan tersebut diuraikan bahwa etika kehidupan berbangsa tidak terkecuali kehidupan berpolitik merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.

Rumusan tentang etika kehidupan berbangsa ini disusun dengan maksud untuk membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.
Dalam TAP MPR tersebut juga dinyatakan bahwa Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.

Budaya politik yang baik harus didasarkan pada etika politik yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Etika politik merupakan tata nilai, sopan santun, atau ukuran baik buruknya tingkah laku/perilaku politik baik dalam suprastruktur maupun infrastuktur politik. Budaya politik merupakan kunci untuk memahami sistem politik. 
Satu Suara untuk Masa Depan Indonesia
(dok: www.fokal.info)

Etika politik bersumber pada tata nilai sosial dan budaya dan sistem politik negara yang bersangkutan. Oleh karena itu etika politik yang berlaku di negara liberal seperti AS dan negara-negara Eropa akan berbeda dengan negara Komunis, ataupun Pancasila. Etika politik dalam sistem negara demokrasi akan menjunjung harkat dan martabat manusia baik secara sosial maupun individual, dan menumbuhkan dialog, diskusi, serta konsultasi. 

Etika politik dalam sistem demokrasi yang baik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menegakan konstitusi sehingga tercipta supremasi konstitusi.
2. Menegakan rule of law sehingga tercapai negara hukum.
3. Menegakan open management sehingga tercapai partisipasi masyarakat secara efektif.
4. Penyelenggaraan pemilu yang luber, jujur, dan adil.
5. Menghormati adanya organisasi politik sehingga terwujud mekanisme demokrasi yang sehat.
6. Mewujudkan pers yang bebas dan bertanggung jawab.

Sri Sultan HB X

Etika
politik yang bersifat umum dan dibangun melalui karakteristik
masyarakat bersangkutan amat diperlukan untuk menampung
tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal.
Jadi etika politik lebih bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan
moral. Akibat luasnya cakupan etika politik itulah maka seringkali
keberadaannya bersifat sangat longgar, dan mudah diabaikan tanpa rasa
malu dan bersalah. Ditunjang dengan alam kompetisi untuk meraih jabatan
(kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa malu dan
merasa bersalah bisa dengan mudah diabaikan.



Akibatnya ada dua hal: pudarnya nilai-nilai etis yang sudah ada, dan
tidak berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan moralitas publik.
Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu berkembang menjadi budaya
permisif, semua serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa atau
belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh, karena untuk membuka
seluas-luasnya upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah
(Sri Sultan Hamengku Buwono. Etika Politik dan Penerapannya: 2013).

Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_politik
Rini Setyani dan Dyah Hartati. PKn Kelas XI. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdiknas.
http://www.setneg.go.id


Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top