– Ini tentang alasan mengapa saya tidak pernah mengajak istri saya agar mau mulai berolah raga –
Saya mengenal lari sebagai aktivitas rutin sejak 1997. Saya rutin dan berusaha lari terjadwal karena merasakan betul murah dan manfaatnya. Tentu saja saya pernah vakum lari, toh tetap kembali mengamplas aspal 🙂
Oiya saya tipe pelari hore-hore. Podium dan status jawara bukan tujuan. Pokok’e hepi. Itu ideologi saya. Melebihi Pancasila 😀
Saya lari ya lari saja, tidak ada yang mengajak-ajak. Apalagi jaman segitu, yang lari di sekitaran rumah di Jogja setelah subuh ya hanya 1-2. Pun begitu di GSP UGM. Bisa dibilang sepi jika dibandingkan dengan hiruk pikuk lelarian sekarang.
Saya mulai lari karena tergerak sendiri. Bukan karena omelan dokter, ingin kurusan, persiapan naik Cartenz, Everest atau lantaran kepingin menggigit medali Olimpiade 😛
EMPATI
Sedikit banyak, lari juga mempengaruhi bagaimana saya merespon, bersikap dan berempati pada orang lain, terutama dalam hal aktivitas, selera dan kecenderungan persepsi mereka tentang aktivitas olah raga.
Entah bagaimana detail prosesnya, saya memiliki pemahaman bahwa: seseorang (mungkin) akan merasa terintimidasi ketika diajak lari secara verbal. Meskipun ajakan lari itu sepertinya tak beda dengan ajakan aktivitas fisik lain dan disampaikan dengan cara halus, sepersuasif sekalipun.
Selain itu, seseorang akan merasa tertekan dan seperti ditodong dengan bombardir ajakan lari/olah raga lain. Mungkin karena sedari kecil, bagi kita di Indonesia, lari/olah raga lain diposisikan sebagai pelajaran sekolah semata. Bukan dikenalkan sebagai kegiatan yang rekreasional dan menyenangkan.
Atau, bahkan lari menjadi jenis hukuman. Telat atau alpa tidak mengerjakan PR: lari muterin lapangan di sekolah. Lari pun membeku jadi ingatan kolektif sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan.
AJAKAN
Ayo lari!
Ayo lari bareng!
Ayo mulai lari biar sehat…
Sekali lagi saya tidak menguasai ilmu atau teori persuasi. Tapi bagi saya, ajakan berolah raga secara verbal seperti di atas, justru (dapat) makin meredam kemungkinan yang bersangkutan mulai lari.
Apalagi jika seseorang itu sudah berusia remaja bahkan dewasa. Egonya main, coy! Makin disentil, justru makin ogah. Makin kita paparkan alasan-alasan (yang kita anggap obyektif dan ngilmiah) justru makin enggan.
…
MENGALIR
Kembali ke soal saya dan aktivitas lari. Saya tidak pernah memasang target atau memimpikan keluarga, istri dan anak turut menyukai lari.
Semuanya mengalir saja. Karena dari yang saya pahami: seseorang merasakan perasaan ‘tidak asik’, ‘tidak hepi’ jika diajak-ajak, didorong, disorong agar mau lari. Terintimidasi. Mungkin ada istilah lain, tak tahulah.
Lho kok sekarang istri saya mulai menyukai lari (meski dengan jadwal yang lompat-lompat) dan anak saya mulai lari-lari dari ruang depan-tengah? … itu terjadi dengan begitu saja:
– istri tiba-tiba ingin ikut pemanasan dan peregangan di suatu subuh.
– tiba-tiba ikut lari ketika saya ingin melaju di suatu sore.
– belakangan ketagihan circuit training 😀 😛
– si bocil menyeret tangan saya untuk main bola.
Yeahhh… saya tidak pernah mengajak mereka untuk berolah raga.
Saya juga tidak punya skema atau skenario yang sekiranya membuat mereka menyukai olah raga.
JUST…
Kalaupun mau dicari-cari, mungkin ini “cara” membuat mereka kepincut beraktivitas fisik: yang saya lakukan adalah MENUNJUKKAN. Just do it, just show it.
Bangun pagi, subuhan, lanjut lari.
Minggu sore, lari santai.
Posting progres jarak lari di Fesbuk, ceritain di blog. Semua mengalir.
Jika kemudian keluarga, kerabat, kawan turut berlari… saya yakin itu karena proses alamiah masing-masing. Kompilasi dari pengetahuan, informasi dan persepsi tentang hal-hal positif.
Mungkin ada influence dari sana-sini, tapi penentunya tetap diri sendiri. Kenakan sepatu, ikat talinya dan go!
…
Nah, kini jika panjenengan ingin orang-orang terdekat turut lari, basket, main bola, renang, yoga, sepeda’an maka saran saya adalah:
– ubah mindset dan cara pandang. Open mind!
– stop atau mulai kurangi ajakan verbal, termasuk ajakan di FB/twitter dll. Itu kagak menyenangkan buat mereka, bro sis!
– Lakukan saja olah raga kita. Tunjukkan. Contohkan. Biarkan berproses sendiri.
– Suka posting progres lari, foto selfie sepeda’an, di gym dll? Itu bagus sebagai award untuk diri sendiri. Syukur-syukur menulari. Lanjutkan! 🙂
– Don’t judge. Hindari menghakimi meskipun dengan bercanda sekalipun tentang fisik, berat badan, kemampuan lari, kecepatan, jarak tempuh, perlengkapan, sepatu dll, terutama bagi mereka yang mulai berolah raga, let they falling in love and shut up!
– sekali lagi: ubah mindset. Tak semua target habit tercapai oleh celotehan verbal. Beri contoh. Biarkan sekeliling menyerap.
Salam!
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.