Cerita inspirasi

Pemulung Kaya Menjadi Pengusaha Sampah


Profil Pengusaha John Peter

kisah pemulung kaya

Menjadi pengusaha sampah membuatnya tak hidup susah. Orang memanggilnya pemulung kaya, semua berkat pengalaman pahit berkecimpung  dengan sampah. Siapa John Peter (40 tahun) adalah pria asli kelahiran Tanah Karo, Sumatera Utara, merupakan anak kelima dari delapan saudara.

Ia hidup dikeluarga sederhana, kedua orang tuanya hanyalah petani kecil. Kehidupan mereka serba kekurangan tetapi orang tuanya selalu mengutamakan pendidikan anak- anaknya. Disisi lain, malah John kecil tidak menjadi anak yang penurut; dia sering kali kedapatan mencuri atau berjudi.

Mimpi Pemulung Jadi Kaya

 

Orang tuanya tak tahan akan kelakuannya. Mereka lalu memutuskan mengusir John kecil. Pada saat itu ia baru saja naik ke kelas 2 SMP, dia terpaksa keluar dari rumah berbekal seadanya. Dia hidup di tengah kota Cirebon, saat itu ia masih berumur 18 tahun dan luntang- lantung.

John selalu membawa sebuah koper kamanapun langkahnya berjalan. “Yang saya ingat hanya teman sekolah. Kepadanya saya berniat menitipkan koper,” ingatnya. Sesampainya di rumah sang teman, orang tua temannya justru tidak memperbolehkan dirinya untuk pergi dari sana.

Mereka keluarga keturunan TiongHoa yang baik hati. Ia tinggal di rumah kaluarga Hok Kwe Sin, selama dua tahun lamanya hingga lulus sekolah menengah. Di rumah itu, John belajar berbisnis agar menumbuhkan kedisiplinan dalam dirinya. Dia telah matang jiwa wirausahanya memilih mandiri.

John memutuskan untuk pindah ke kota Bandung. Dia lalu melanjutkan pendidikan tanpa bantuan siapapun. Mereka, keluarga Hok Kwe Sin sendiri, berbisnis gorengan dimana pembelinya hanyalah para tukang becak.

Dalam ketulusan hati mereka telah merubah sifat keras anak Batak. John yang keras kepala berjuang di tanah rantau. Setiap pulang sekolah, ia akan bekerja di sebuah tambal ban dan pulang hingga larut malam hari. Dia mengumpulkan upahnya sedikit- demi sedikit kemudian membangun bisnis tambal ban sendiri.

“Setiap libur, banyak teman sekolah menambal ban kendaraannya di tempat saya, saya tidak malu. Saya menyadari seperti itulah kondisi saya,” kata John percaya diri. Dia sudah meyakinkan dirinya, kelak hidupnya akan lebih baik dari teman- temannya.


Dia melanjutkan kuliah di jurusan kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia ikut aktif diberbagai kegiatan kampus serta memberi pelayanan di gereja. Memberikan pelayanan para gelandangan yang bekerja menjadi pemulung.

John terkejut mengetahui mereka bisa menghasilkan Rp. 200.000 dalam satu hari. Dia tak menyangka sampah kotor dan menjijikan bisa sangat menghasilkan. Dibenaknya juga tersirat bisnis semacam ini bertahan lama karena sampah pasti ada.

Pada tahun 1987, ia mengambil cuti kuliah dan memutuskan mengumpulkan sampah dari pemulung binaanya. Kala itu di pikirnya, timbul membandingkan harga gabah saat itu dikisaran Rp.600 per- kg, sedangkan harga sampah di tingkat pengepul bisa mencapai Rp.1000 per- kg.

John memutuskan mendalami bisnis tersebut tanpa harus keluar dari kuliah. Menurutnya, pengusaha itu harus visioner, punya penglihatan jauh kedepan, dan siap menghadapi tantangan bisnis. Ditambah  keyakinan akan kemampuan sendiri mewujudkan.

“Melihat perbandingan harga yang begitu besar, saat itu saya yakin bisnis ini menghasilkan potensi besar. Dan perlu diingat, untuk menjalankan modal ini tidak membutuhkan modal yang besar. Hanya dengan catatan, buang jauh- jauh rasa malu,” terangnya.

Orang tua yang mendengar anaknya menjadi pengepul rongsokan, mereka merasa tidak terima. John tetap bergeming meskin dilarang keras. Dia yakin bisnisnya akan menghasilkan besar. Dengan modal usaha 4 juta dari teman, dia kemudian menyewa tanah di Padasuka, Bandung.

Mendirikan Pabrik

Dia mendirikan empat bilik untuk tempat tinggal para pemulung binaan. Tidak lama bisnisnya menghadapi hambatan besar justru dari pemulung itu sendiri. “Tapi saya lupa karakter mereka,” kata John.

Para pemulung binaanya ternyata malah berbuat curang terus- menerus. Mereka akan mengambil sampah yang telah ditimbang, kemudian dimasukan di esok harinya, sehingga mereka tidak perlu besusah payah mencapai target.

Dari sinilah, John harus menderita kerugian sampai 2,2 juta. Dengan sisa modal itu, ia pindah ke Cikutra, Bandung. Ia memutuskan tinggal bersama pemulung dibinanya. Tujuannya tak lain hanyalah agar bisa mengetahui pola pikir mereka.

John hidup dan makan bersama mereka tidak hanya sekedar mencari untung saja. Sejak saat itu pula mereka mulai tidak mencuri lagi. Mereka mulai merasakan dirinya sebagai bagian dari hidup mereka. Tahun pertama, bisnisnya masih menguntungkan. Dia mengaku mendapatkan omzet sekitar 18 juta perbulan.

Ia mulai berpikir ke dapan, memilih tidak lagi menjual ke bandar lain. Dua tahun kemudian, John membeli sebuah alat penggiling sampah plastik menjadi biji plastik. Harga jual biji plastik ternyata lebih mahal.

Harga biji plastiknya bisa dijual Rp.8.500 per- kg, dimana ketika masih berbentuk sampah Rp.400 per- kg. Dia melanjutkan omzetnya tumbuh menjadi Rp.800 juta hingga Rp.1,2 miliar per- bulan, dengan keuntungan bersih 10 persen.

John juga mulai aktif berekspansi, tidak hanya sibuk berbisnis sampah. Dia juga berbisnis membuka apotik, pabrik pupuk organik, bahkan menjadi kontraktor perumahan juga. Dia jadi kontraktor perumanan Santosa di Cipamokolan, Bandung, didekat pabrik pengolahan sampahnya.

Kesuksesan membawanya menjadi pembicaraan berbagai surat kabar. Dia bahkan mendapatkan sebuah tawaran modal dari Mandiri Business Banking. Sejak saat itu John resmi menjadi nasabah bank tersebut.

“Modal yang saya terima benar- benar saya gunakan untuk menjalankan roda bisnis. Saat menerima kucuran modal, saya sudah memiliki mesin pengolahan sampah dan sarana pendukungnya hingga tempat usaha. Jadi, saya berani menerima untuk bermitra dari Mandiri Business Banking sehingga kredit modal bisa digunakan secara optimal,” terangnya.

Dia menggunakan nama Pake Group, sebuah grup berbagai bisnis baik pengolahan sampah atau bisnis lain. Ia berhasil membuat biji plastiknya menjadi primadona. Pembeli membeli biji plastik miliknya untuk berbagai hal seperti pembuatan plastik, tali rafia, alat- alat rumah tangga, dan produk lain.

Ayah dari Yediza dan Ishak ini merasakan betul rasanya mencari sampah di jalanan. Dia hanya terus berprinsip harus jadi orang kaya, dan bekerja keraslah tujuannya.

“Saya berpikiran, jika jadi pekerja, meskipun lulusan dari kampus ternama, tidak akan menjadi jaminan akan menjadi orang kaya. Di pikiran saya hanyalah begaimana cara menjadi orang kaya,” imbuhnya.

Bukti ucapan ini adalah ilmunya menganai sampah plastik. Pemulung kaya yang menjadi pengusaha sampah. Dia ahli membedakan sampah plastik yang dikumpulkan. Pabriknya mengolah empat jenis plastik yaitu jenis Polypropelene (PP), polystrealene (PS), polivinylchlorida (PVC), dan polyethylene (PE).

Dia belajar membedakan jenis plastik per- satu yang membutuhkan waktu cukup lama. Secara fisik PPC dan PS akan tenggelam dalam air, PS dan PP terapung dalam air. PE terasa lembut dan lentur. Bisnisnya tidak pernah merugi loh, tetapi sering menemui kegagalan yang artinya tidak berjalan.

Dia mencontohkan bisnisnya di Singapura, yaitu bisnis bawang dan mobil, hingga menjadi pelajaran besar baginya lagi. Gagal bukan berarti berdarah- darah asalkan kamu pandai mengakali. Itu semua menjadi pembelajaran buat bisnis ke depan.


Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top